tiga

1.4K 107 6
                                    

Keesokan harinya, seperti biasa aku dijemput Andin pagi-pagi. Hari ini gak telat kok. Malahan jam 7 pagi kita udah sampek di sekolah. Ceritanya sih mau belajar tapi nyatanya malah nonton Drama Korea bareng Anya. Ujung-ujungnya malah nangis.

Tak sadar bel sekolah berbunyi. Aku pun menutup laptop, dan mengeluarkan buku pelajaran. Huh! Hari menyebalkan. Pelajaran pertama matematika dengan guru paling killer sejagad raya. Masa diberi waktu 5 menit buat belajar terus langsung ulangan. Ini nggak adil.

Akhirnya bel istirahat berbunyi. Betapa leganya kami semua. Aku pun berdiri dari bangkuku sambil membawa beberapa buku.

"Rel, mau kemana?" tanya Afga tiba-tiba.

"Ngembaliin buku."

"Mau ditemenin?"

"Nggak usah."

"Oke."

Aku pun berjalan keluar kelas menuju perpustakaan. Sesampaiku di perpustakaan, aku langsung mencatat namaku dan pergi mengembalikan buku-buku ke raknya.

'Anjir gak sampek.' batinku kesal karena raknya terlalu tinggi. Aku berusaha menjinjitkan kakiku. Tapi hasilnya nihil.

Hingga tiba-tiba seseorang muncul dari balik rak. Dan itu Alvaro.

"Pagi Aurel..."

"Mau dibantu?" tanyanya lalu mengambil buku yang tadinya kupegang dan meletakkannya di atas rak.

"Makasih." balasku.

"Aku penggemar rahasiamu lo"

"Jadi kamu yang kirim pesan kemarin?"

"Bisa dibilang gitu sih."

"Dapet nomerku darimana?"

"Dari temen."

"Siapa?"

"Yang nanya."

"Serius kali." ucapku sebal dengan tingkah Alva yang nggak jelas gini.

"Gitu aja marah."

" TUA!" tambah Alva lalu lari keluar perpustakaan sambil ketawa sendiri.

"Dasar lo!" aku memilih untuk menahan diam dan kembali ke kelas.

'Awas lo Va kalo ketemu gue cincang lo abis-abisan.' batinku kesal dalam hati.

Sambil berjalan menuju kelas. Sesampainya disana, anak-anak menatapku heran karena wajahku yang cemberut.

"Napa lo Rel?" tanya Anya tiba-tiba.

"Nothing."

"Eh by the way lo udah milih ekskul belom? Hari ini terakhir ngumpulin." ucap Andin mengingatkanku.

"Gue osis."

"Kalo gue sama Anya Paskibra, Afga osis, Andin Teater." ucap Adit sambil memainkan pulpennya.

"Ciee sama an sama Afga." ucap Andin dengan muka yang lagi-lagi menjengkelkan.

4ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang