Aku hidup di tengah lingkungan yang ... yaahh ... kautahu sendirilah bagaimana hiruk-pikuk dan hingar-bingar ibu kota. Ayahku adalah seorang pensiunan TNI. Ibu adalah wanita kalem yang setia dengan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Aku adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Terang saja aku bak seorang putri dalam istanaku. Apa pun yang aku mau, pastilah dituruti oleh kedua orangtuaku. Kecemburuan? Tak pernah ada dalam sejarah keluargaku. Kami semua hidup begitu rukun. Jauh dari kata cemburu, kedua kakakku justru begitu memanjakanku juga. Dan aku selalu bahagia memiliki mereka.
Hari ini, orangtuaku sedang pergi memancing. Jadi, kakak pertamaku -Raisa- mengantarku sekolah. Sekalian dia berangkat kuliah. Seperti biasa, kami bercanda dan tertawa sepanjang jalan. Hingga tiba di sekolah, kepalaku terbentur pintu mobil. Kak Raisa hanya tertawa sembari mengelus kepalaku.
“Tugasnya udah selesai?” tanyanya dengan mata jeli penuh kebahagiaan. “Udah dong!” sahutku antusias.
“Ok! Nanti Kak Ryan jemput kamu, ya?” ujarnya dan aku hanya mengacungkan ibu jariku sembari tersenyum lebar, lalu Kak Raisa pun memacu mobilnya.
Rasa bosan menyeruak dari dalam hati, menjalar dan menyebar hingga seluruh tubuh. Tatapan sayu menutupi mata jeliku. Ah, bosan rasanya.
“Di! Lu kok diem aja, sih?” Sahabat baikku—Monik—menepuk kuat lenganku.
“Mon! Sakit, ih!” keluhku.
“Yaelah gitu doang sakit.”
Aku tak menghiraukannya. Aku hanya kembali pada duniaku.
“Bosen gue,” sahutku sembari menopang dagu dengan tanganku.
“Payah lu!”
“Bukan payah! Bete gue!”
“Kenapa?”
“Gue udah semaleman ngerjain tugas makalah ini, gurunya malah ga masuk.”
“Haha .... Lu ambil hikmahnya, lah! Lu jadi punya jam kosong. Jujur, deh! Semua pelajar pasti justru lebih suka jam kosong ketimbang hari libur.”
“Kantin, yuk!” bisik Monik di telingaku. Mataku terbelalak tanda setuju.
Namaku Diana. Aku gadis berbilang tiga belas berdarah etnis Tionghoa. Banyak orang yang mengira aku bukan seorang muslim karena wajah orientalku. Namun, walaupun muslim aku sendiri tidak tahu apa aku sudah atau belum menjadi muslimah yang baik. Yang aku tahu hanya kewajiban-kewajiban seorang muslim yang umum diketahui orang-orang. Ilmu agamaku sedikit memang. Entah. Kautanya peranan orangtuakuorangtua? Agaknya mereka juga sama denganku. Yang lebih sering Papa ajarkan padaku adalah rasa nasionalisme yang tinggi. Untuk sekolah, kini duduk di bangku kelas tujuh. Semua orang di kelas mengenalku adalah seorang yang aktif. Hiperaktif mungkin. Super aktif! Apalah itu. It's their call. Intinya, aku adalah seorang yang tak mau diam, mudah bergaul, dan senang berbicara. Aku adalah seorang ekstrover.
Tepat di bibir pintu, aku nyaris saja menabrak Ibu Kepala Sekolah kami—Ibu Toni. Mataku terbelalak begitu terkejut dibuatnya.
“Hayo mau ke mana?” tanyanya.
“Anu ... mau ke ... toilet, Bu,” sahut Monik gelagapan.
“Ayo, masuk dulu!” katanya lagi.
Mataku tertuju pada seorang siswa yang baru saja aku lihat wajahnya. Ia berdiri tepat di samping Ibu Toni. Lantas, aku dan Monik menurut saja.
Seperti kelas biasanya. Begitu melihat guru atau kepsek, tentu saja seisi kelas yang hirukpikuk kembali ke tempat duduk semulanya.
“Ke mana ini gurunya?” tanya Ibu Toni.
“Sakit, Bu,” semua sepakat dalam satu jawaban.
“Ya sudah. Anak-anak, kita punya teman baru di sini. Silakan, Nak! Perkenalkan diri kamu,” ujar Ibu Toni.
Aku hanya memperhatikan setiap kata dari murid baru itu. Aku dengar desah suaranya. Dan ... oh! Namanya adalah Muhammad Faiq Al-Faruqi. Dia berasal dari Padang. Kebetulan sekali, ada kursi kosong tepat di samping kiriku. Ketika itu, aku hanya menggigit ujung penaku sembari melihatnya berjalan, lalu menempati kursi yang kosong itu. Faiq hanya meleparkan senyum dari sudut bibirnya. Aku membalas senyumnya, tetapi sekenanya saja.
Hari demi hari berlalu. Kehadiran Faiq di kelas kami agaknya tidak memberikan pengaruh. Terang saja. Manusia sependiam dia pasti tak kan ada yang sadar kehadiran atau ketidakhadirannya. Pasti sama saja. Tak ada suara. Hingga kami tahu, agak sulit membuatnya berbicara. Kalau kauajak dia berbicara, dia hanya akan menjawab dengan anggukan atau gelengan kepala. Kalaupun ada jawaban yang membuat dia terpaksa untuk berbicara, dia pasti hanya menjawab sekenanya saja. Dia, introver sejati!
Sore itu, aku dan teman-teman mengerjakan tugas bersama di rumahku. Faiq yang kebetulan satu kelompok denganku juga pasti ikut.
“Kalian, di dapur ada makanan, ambil sendiri aja bisa, ya?” ujarku yang tengah serius mengerjakan tugas. Monik langsung saja berlalu ke dapur. Faiq diam saja memainkan penanya.
“Faiq, kok diem, sih? Ambil aja cemilan di dapur. Jangan malu-malu! Maaf, ya, aku gak ngambilin. Nanggung ini,” ujarku sembari terus mengerjakan tugas itu; sementara Faiq hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Lantas, aku mengangkat kepala.
“Kamu tuh kenapa, sih? Kok tiap ditanya irit banget jawabnya?” tanyaku sembari meletakan pena. Dia hanya tersenyum.
Gemas rasanya. Aku selalu saja gagal membuatnya bicara. Manusia ini benar-benar berbanding terbalik denganku yang ekstrovert, tapi aku tak akan menyerah membuatnya berbicara. Manusia seperti dia justru membuatku begitu penasaran untuk membuatnya berbeda. Karena terkadang, sifat introver justru membuatnya tampak begitu jutek dan cuek. Padahal, aku yakin; jika kita bisa membuatnya nyaman, dia pasti adalah seorang yang menyenangkan.
Aku coba memancingnya agar Faiq mau memulai percakapan terlebih dulu. Yang harus aku lakukan adalah membuatnya bertanya-tanya. Maka, pagi itu aku meletakkan gantungan kunci berbentuk boneka kecil. Ukurannya mungkin hanya lima sampai tujuh sentimeter saja. Kemudian, aku meninggalkan sepucuk surat di bawahnya. Tertulis:
Hai, Faiq! Cari tahu siapa yang menyimpanku di meja ini. Salam kenal!
Dari balik jendela, aku memperhatikannya membaca surat kecil itu, lalu mempermainkan gantungan kunci boneka beruang menggemaskan itu. Wajahnya menoleh ke kiri dan ke kanan. Dan matanya menyapu seisi ruangan kelas, berhasil menangkapku sedang memperhatikannya dari balik jendela. Terang saja aku terkejut, lalu pura-pura tak sedang memperhatikannya. Lantas, dia mempermainkan gantungan kunci itu lagi.
Hhhh ... selamat. Tinggal kita lihat, apa dia bakal tanya siapa yang nyimpan itu sama orang seisi kelas atau enggak, batinku.
Hari-hari terus berlalu. Sore itu sepulang sekolah, aku telah selesai dengan kegiatan ekstrakulikuler paskibra. Kebetulan juga Faiq baru saja keluar dari masjid. Dia adalah sekretaris dari eskul Dewan Remaja Masjid.Kemudian, kami sedikit berbicara di sana sembari aku menunggu Kak Ryan menjemput. Aku masih saja penasaran untuk membuat Faiq menjadi seorang yang sesungguhnya. Atau mungkin itrover adalah dirinya yang sesungguhnya. Ah! Tapi, aku yakin dia punya sisi menyenangkan juga. Semakin penasaran, aku terus bertanya banyak hal padanya. Sedikit ada kemajuan. Kali ini jawabannya tidak hanya mengangguk atau menggeleng saja. Tentu. Pasalnya, pertanyaan yang aku lontarkan bukanlah pertanyaan yang meminta jawaban ya atau tidak.
“Kamu hobinya apa, sih?” tanyaku.
“Menggambar.” katanya masih singkat. Yah, setidaknya dia mau mengeluarkan suaranya.
“Oh, iya? Gambar apa?”
“Komik.”
“Keren! Sejak kapan?”
“Sejak SD.”
“Oh, ya?” sahutku dan dia hanya mengangguk.
“Aku jadi pengen bisa gambar juga,” ujarku lagi, berharap Faiq akan memberiku saran tentang musik. Namun, ternyata Faiq hanya tersenyum.
“Hei! Kalo kita kolaborasi keren kali, ya?” seruku iseng. Lagi-lagi, Faiq hanya tersenyum. Yah. Salah bicara aku. Dia jadi mengangguk lagi. Lantas, aku coba alihkan pembicaraan.
“Oh, iya. Kamu tuh pindahan dari Padang, ya? Di Padang ada apa aja, sih?”
“Ada ... banyak.”
“Iya, apa aja?”
“Ya sama aja kayak di sini. Cuma di sini lebih ramai.”
Nah, aku berbangga! Ada sembilan kata yang keluar dari bibirnya.
“Gitu, ya? Kamu itu berapa bersaudara?” tanyaku lagi.
“Lima,” katanya.
“Wow! Ibu kamu hebat juga, ya? Dia pasti perempuan yang kuat,” kataku kagum dan dia hanya tersenyum kecil.
“Kamu anak ke berapa?” tanyaku.
“Pertama.”
“Oh. Gimana rasanya jadi anak pertama?”
“Ya ... gitu ... rasanya ... aku adalah pimpinan dari adik-adikku. Aku harus bisa kasih contoh yang baik buat mereka. Rasanya aku punya tanggung jawab yang lebih dari anak yang lain, tapi kadang aku sebal juga karena rasanya anak pertama gak sedimanja anak terakhir.”
Aku terdiam. Aku semakin senang. Dia mulai mau bercerita.
“Menurut aku, jadi anak pertama juga istimewa kok,” ujarku.
“Iya? Kenapa?” tanyanya.
“Coba bayangin ketika kamu jadi orangtua suatu hari nanti. Gimana perasaan kamu waktu anak pertama lahir dari istri kamu? Itu pasti momen paling ditunggu-tunggu mereka, kan? Mereka pasti seneng banget, kan? Punya pengalaman pertama jadi orangtua. Dan pertama itu rasanya pasti istimewa,” tuturku dan Faiq kali ini tertawa agak lebar. Baru pertama kali ini aku melihatnya tertawa.
“Haha .... Iya iya. Beda sama anak kedua, ketiga, dan seterusnya, ya? Gak kaget dan sensasinya kayak ... ‘Oh? Anak kedua saya udah lahir?’ Udah aja. Hahaha.” Aku hanya ikut tertawa bersamanya, lalu tawa kami terhenti.
“Emang, kamu berapa bersaudara?” tanyanya.
Wow. Kemajuan yang luar biasa. Sekarang dia yang balik bertanya, batinku. “Aku tiga bersaudara,” jawabku singkat agar dia bertanya lagi.
“Kamu anak keberapa?”
“Aku anak terakhir.”
“Oh. Anak bungsu, ya? Enak, ya?”
“Haha .... Biasa aja.”
Mulai saat itu, agaknya aku berhasil membuat Faiq tidak merasa canggung denganku. dia juga tidak akan menjadi seorang yang introver lagi. Setidaknya di depanku, sebelum di hadapan orang lain.
Satu hal yang saat itu membuatku kagum pada Faiq; saat melihatnya bersujud dengan begitu khidmatnya. Aku hanya melihatnya dari belakang. Entah apa, ada sesuatu dalam hati ini. Mungkin aku kagum padanya. Melihatnya sembahyang dan bersujud.
“Kamu gak salat, Di?” tanya Faiq selesai salat.
“Aku ... gak bawa mukenanya,” sahutku.
“Itu ada mukena,” ujarnya menunjuk pada sebuah lemari berisi mukena.
“Aku lagi datang bulan, Faiq,” elakku.
“Oh. Ngomong kek!”
Aku hanya tertunduk. Dalam hati mengumpat. Aku sama sekali tidak sedang datang bulan. Entah. Aku hanya malas salat saja.
Seiring berjalannya waktu, rasanya Faiq semakin menjadi seorang yang menyenangkan. Walau mungkin hanya denganku. Kali ini, dia memiliki sahabat. Aku, Monik, dan Rava. Entah mengapa, seperti keluarga saat bersama mereka. Terlebih Faiq. Bagi dunia mungkin dia adalah orang yang jutek, cuek, dan dingin. Namun, saat bersama kami, dia adalah orang gila. Haha.
Banyak hal aneh yang kita lakukan bersama. Memasukkan pena ke hidung, makan es krim dengan saus, berteriak di bawah guyuran hujan, mengerjai satu sama lain, dan banyak lagi.
Masa jaya putih biruku ditemani oleh manusia unik perantau dari Padang. Halo Muhammad Faiq Al-Faruqi.____________________________________
Assalamu'alaikum, fine people!
Hallo!
Fatimah di Akhir Zaman hadir kembali!!
Siapa yang masih penasaran sama kisahnya? Ikuti terus ya? Author akan publis semua partnya sampai tamat! Jangan lupa Vomment! XD
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatimah Di Akhir Zaman
SpiritualHighest Rank (08/18): #1 in #teenlove #2 in #teenromance Aku hanyalah gadis extrovert yang hidup di akhir zaman. Gaya hidup membuatku terbiasa dengan hingar bingar dunia. Lalu aku bertemu dia. Pria introvert sederhana yang taat beragama. Hingga cint...