Enam tahun sudah cinta itu aku sirami dan pupuk hingga tumbuh bersemi begitu indahnya. Pagi itu di hari Minggu, Faiq begitu asyik membaca novel kesukaannya—Sherlock Holmes. Semula kuayunkan kedua kakiku di tepi kolam renang.
“Faiq, aku mau tanya,” ujarku bangkit dari tepi kolam, lalu duduk di sampingnya.
“Hmm? Apa?” sahutnya sembari membelai rambutku.
“Kenapa sih perempuan itu harus pakai hijab? Kan yang penting hatinya baik. Orang banyak yang berjilbab kelakuannya gak bener,” tanyaku, lalu Faiq hanya tesenyum.
“Di, kebetulan sebelum ke sini aku beli cokelat,” ujarnya, lalu menunjukkan dua batang cokelat favoritku. Lantas, Faiq membuka salah satu bungkusnya.
“Sepanjang jalan, aku bawa cokelat ini. Dalam keadaan kayak gini. Menurut kamu, cokelat mana yang bakal aku kasih buat kamu?” tanyanya. Aku hanya terdiam kebingungan.
“Yang ... ini?” sahutku sembari menunjuk salah satu cokelat yang masih tertutup rapi.
“Kenapa?” tanyanya lagi.
“Ya ... emang, kamu bakal kasih aku yang ga ada bungkusnya? Gimana kalau sepanjang jalan kena debu?”
“Nah! Karena aku sayang kamu, makanya aku kasih kamu yang terbaik. Cokelat yang terjaga dari debu jalanan karena bungkusnya yang berlapis-lapis itu buat kamu, ujarnya sembari menyerahkan cokelat yang masih terbungkus rapi itu. Aku hanya terdiam.
“Kamu lebih suka cokelat yang terbungkus, kan?” tanyanya, lalu aku hanya memanggut manggut.
“Soal yang penting hati daripada hijab, mereka sama pentingnya. Malah kadang pasti seseorang malu mau bertingkah kurang baik karena penampilannya. Kalaupun ada yang bertingkah jelek padahal dia pakai hijab, kita lihat hijabnya. Setidaknya dia mungkin sedang memperbaiki diri,” jelasnya lagi.
“Don't judge a book by it's cover,” sahutku.
“But, every book needs cover,” sahutnya. Sejak itu, Faiq selalu aku jadikan tempat untuk bertanya tentang agama. Dia pun selalu mampu menjawabnya dengan baik. Jika dia tak tahu jawaban pastinya, dia pasti menjawab, “Wallahu a'lam. Nanti aku cari tahu lagi jawaban pastinya.”
Bulan lalu, Faiq berkata dia hendak melayangkan formulir pendaftaran mahasiswa baru di kampus ternama di Dubai. Berat memang. Sempat aku menanyakan pertanyaan-pertanyaan tanda keberatanku. Namun, jiwa perantau memang sudah melekat dalam dirinya. Itu cita-citanya. Dubai adalah mimpinya. Mana mungkin aku menghalanginya? Maka meski sakit, aku tetap mendukungnya.
Hingga tiba hari itu. Keberangkatan Faiq ke Dubai. Menyisakan jarak dan kerinduan. Muhammad Faiq Al-Habsyi, hendak merantau sendiri di tanah suci. Semoga selalu ada dalam lindungan-Nya.
“Di, kamu baik-baik di sini, ya? Aku akan pulang sebentar lagi. Aku pulang setahun sekali. Kamu jangan sedih. Kamu nikmati hari-hari penantian kamu. Kamu pernah bilang aku ga perlu jadi senja buat bisa merasa spesial karena ada yang nunggu, kan?” tuturnya begitu lembut dengan matanya yang hangat menatapku.
“Di sana pasti banyak perempuan yang jauh lebih baik dari aku.” Kristal bening tak tertahan lagi ku bendung, maka ia meluncur bebas di pipiku.
“Banyak. Pasti banyak, tapi aku kan cuma cinta sama kamu. Aku ke sana kan untuk perjuangin kamu. Bukan yang lain. Kamu percaya itu, kan?” Jemarinya menghapus luncuran air mataku. Aku hanya mengangguk.
“Aku juga percaya sama kamu. Kamu pasti selalu nunggu aku di sini,” senyumnya indah memesona.
“I'll miss you more, ujarku sembari memeluknya.
“Me too.”
Lantas, aku teringat pada isi tasku.
“Faiq, aku ada sesuatu buat kamu,” ujarku sembari merogoh isi tasku.
“Ini.” Aku menyerahkan satu kotak yang menurutku terlah dibalut rapi dan cantik oleh kertas kado.
“Apa ini?” Senyumnya menyakitkanku, karena mungkin itu akan menjadi pemandangan langka bagiku.
“Kamu buka aja nanti, ya?” sahutku.
Dia terdiam sejenak, lalu berkata, “Makasih. Nanti aku buka.”
“Oh, iya, Di. Aku mau tanya.” Faiq nampak merogoh isi kantung celananya.
“Kamu tau ini?” Faiq menunjukkan gantungan kunci boneka beruang kecil yang aku berikan enam tahun yang lalu. Terang saja aku terkejut.
“Beruang ini ... masih kamu simpan?” tanyaku dan Faiq tersenyum.
“Mana mungkin aku buang? Jadi, benar ini dari kamu?” Giginya berjajar rapi di hadapanku.
“I ... iya.” Aku malu-malu. Dia tertawa kecil.
“Kenapa kamu kasih beruang ini sama aku? Waktu itu kamu udah suka sama aku, ya?” tanya Faiq setengah menggodaku.
“Enggak! Waktu itu aku cuma pengen liat kamu nanya ‘hei, kamu tau gak siapa yang nyimpen ini di atas meja aku?’ Ke orang-orang. Habisnya kamu pendiem banget. Cuek banget,” tuturku.
“Oh. Kamu ngarepnya aku nanya sama kamu, ya? Jadi, aku duluan yang nyapa kamu?” Dia semakin gencar menggodaku.
“Sama sekali enggak!” seruku dan ia tertawa begitu lepas. Aku tersenyum. Mengingat kapan lagi aku akan menikmati tawanya ini?
“Sampai kapan pun, aku bakal simpan simbol sederhana ini,” katanya lagi, lalu hening.
“Ku juga punya sesuatu buat kamu.” Faiq merogoh isi tasnya. Tak banyak bicara dia hanya memakaikan sehelai pashmina di atas kepalaku. Menutupi sebagian rambutku, lalu tersenyum.
“Kamu lebih cantik kalau gini,” katanya lagi.
“Di, kamu ganti penampilan kamu, ya? Jangan pakai celana pendek lagi. Jangan pakai baju minim lagi. Jangan ikutin tren Jakarta. Aku khawatir kamu diganggu laki-laki aneh di luar sana. Dan aku gak bisa jaga kamu. Pakai baju yang tertutup, ya?” tutur Faiq.
“Tapi, ....” Aku hendak mengelak, tetapi terpotong oleh kalimat Faiq.
“Sshhh ... pokoknya, jangan buat aku takut dengan kamu pakai pakaian minim, ya? Jadilah cokelat manis yang terjaga dari debu. Ya? Please.”
Aku tertunduk. Menangis.
“Kalau gitu kenapa kamu harus pergi? Banyak Universitas bagus di Jakarta. Kenapa kamu harus ke sana? di sini kamu bisa jaga aku.”
Faiq tidak menjawab. Dia hanya memelukku dan berkata,”Maaf.”*****
POV Faiq
Hamparan kapas putih bersih terbentang luas di atas sini. Aku begitu berharap dapat berlari di atasnya bersama kekasihku itu. Mengingat Diana, aku segera menengok pada kotak berupa kado yang masih ada di tangannya yang diberikan oleh Diana sekitar satu jam yang lalu.
Begitu perlahan aku membuka kertas kado itu. Begitu hati-hati seolah takut merusaknya.
Apa ini? Ah, paling boneka lagi. Atau bingkai foto sama foto kita, batinku saat itu. Berhasil terbuka. Terdapat sepucuk surat kecil di dalamnya.
Dear, Love. Ini cuma hadiah kecil. Surat cinta dari Allah. Rajin-rajin dibaca, ya? Tambahin juga hapalannya. Love, Diana.
Aku merogoh isi kotak itu. Ternyata isinya adalah ... mushaf.
Jauh dari dugaanku. Aku hanya menghela napas lalu berbisik, Diana. Dia beda.
*****
POV Diana
Faiq. Jam-jam pertama tanpanya. Berat rasanya. Namun, sesekali jarak memang perlu adanya. Bagai kalimat tanpa spasi, bagaimana kita bisa membacanya? Bagai Raja Siang yang menyinari bumi dari kejauhan. Bagaimana jadinya jika keduanya berdekatan? Kali ini lenganku tak cukup jauh untuk memeluknya, tapi doaku pasti mampu meraihnya, menembus ruang dan waktu, serta melaju sekencang angin.
Bulan-bulan berlalu. Rasa dan percayaku tak berubah sedikit pun. Faiq pernah berkata ia ingin menjadi senja yang selalu ditunggu, tapi bagiku menunggu itu seindah senja. Masa singkat yang berharga. Meski pahit terasa dalam penantian, pastilah agar kita dapat merasakan betapa manisnya saat pertemuan. Bak berdiri sendiri di tepi pantai ini. Terpaan angin begitu mengusikku, membisikkan kabar-kabar mengerikan tentang Faiqku.
“Kapan dia pulang?”
“Dia pasti pulang membawa kekasih barunya.”
“Kamu yakin, Di? Orang deket aja bisa aja mendua, tiga, empat. Apalagi jauh?” Tak banyak aku menjawab. Aku yang lebih mengenal siapa Faiq.
Faiq, cepatlah pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatimah Di Akhir Zaman
EspiritualHighest Rank (08/18): #1 in #teenlove #2 in #teenromance Aku hanyalah gadis extrovert yang hidup di akhir zaman. Gaya hidup membuatku terbiasa dengan hingar bingar dunia. Lalu aku bertemu dia. Pria introvert sederhana yang taat beragama. Hingga cint...