Lagi-lagi, pemandangan gadis mungil di hadapanku tengah asyik dengan ayunannya. Seperti anak kecil yang sedang bahagia bermain ayunan dengan ayahnya. Imut sekali. Lucu. Tamara. Tertawa begitu manis setiap kali aku mendorong ayunannya.
"Lagi, kak! Lagi!" Serunya disela tawanya. Seperti anak kecil. Manja sekali.
"Haha. Awas ya? Kakak dorong lebih kenceng lagi nih."
"Ah! Kakak! Pelan-pelan!" Serunya. Namun justru membuatku ambigu dengan suaranya. Seketika nafasku memburu. Jantungku berdegup kencang. Ingin aku langsung membawanya ke dalam.
Ah! Apa yang aku pikirkan?
"Kak?" Lembut suaranya memecah pandangan kosongku. "Kok berhenti?" Lanjutnya lagi lantas aku hanya berdehem.
"Enggak. Gapapa." Sahutku.
Gadis ini hanya tersenyum sangat manis lalu memberiku isyarat untuk mendorong ayunannya lagi. Sambil habis-habisan aku menahan diri untuk membawanya lalu melakukan perbuatan yang mungkin akan ku sesali.
Entah. Apa sebenarnya yang aku rasakan. Tak ada cinta untuk Tamara. Sungguh. Aku hanya kasihan. Aku hanya merasa aku perlu untuk tetap bersamanya. Aku perlu menikahinya. Karena aku berhutang untuk bertanggung jawab karena telah menidurinya. Tak ada cinta. Hanya tanggung jawab. Jujur hatiku hanya terisi Diana. Kekasih sahabatku sendiri. Sahabat yang bodoh yang selalu menyakiti gadis yang justru aku dambakan cintanya.
Semakin aku melihat betapa dalamnya Diana mencintai Faiq, semakin aku berangan mendapatkan cinta itu untukku. Tapi kenapa? Bukankah cinta setulus Diana pada Faiq telah ku dapatkan dari Tamara?
"Di, gua harap gua bisa nemuin cinta kayak lo cinta Faiq. Gua harap gua bisa nemuin peempuan yang cinta sama gua seperti lo cinta sama Faiq."
Ujarku kala itu. Lalu apa sekarang?
*****
Aroma khas ruangan ujian. Para calon dokter ini tengah mempersiapkan ujian mereka. Banyak juga rupanya peserta ujian ini, ada sekitar empat puluh orang. Dan hanya ada lima orang saja yang akan meraih beasiswa itu. Aku tak banyak berharap mendapatkan beasiswa itu. Kalau aku dapat tak apa, aku tak kan senang. Kalau tak dapatpun tak apa, aku tak kan sedih.
"Semangat dokterku. ♥" Isi pesan Faiq yang tiba-tiba muncul.
"Makasih :)" Jawabku.
"Jangan lupa bismillah." Katanya lagi.
Bismillah? Faiq mengingatkanku dengan bismillah?
Entah lantas apa yang mengusik ketenanganku dengan saran Faiq itu. Namun setiap dia mengingatkanku akan Rabb-ku, ada rasa takut yang hinggap dalam hatiku.
Tak ku balas pesannya. Aku hanya menyapu seisi ruangan dengan pandanganku. Sebagian berdiskusi tentang ujiannya, sebagian membaca bukunya, sebagian asyik dengan ponselnya. Lalu, seketika menjadi hening dan semua pandangan tertuju pada satu arah: pengawas ujian.
"Selamat pagi." Ujar lelaki paruh baya dengan kaca matanya yang bertengger itu.
"Pagi." Sahut seisi ruangan.
"Hari ini kita akan menjalani tes seleksi untuk beasiswa kuliah kedokteran di salah satu universitas di Singapore. Saya yakin Anda semua sudah mepersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Maka, saya percaya tak akan ada yang berlaku curang di ruangan ini. Karena jika peserta didapati berbuat curang, maka peserta langsung kami diskualifikasi." Ujarnya lantas menyapu seisi ruangan dengan tatapan tajamnya. "Baiklah, sebelum saya membagikan soal, saya akan bacakan standar operasional dari tes hari ini. Saya harap Anda semua menyimaknya dengan baik." Lanjutnya lagi.
Lelaki tua itu mulai membacakan satu persatu peraturan pelaksanaan ujian ini. Lantas membagikan kertas soalnya.
Jauh di Barat sana, Padang, mungkin Faiq sedang mendoakanku. Dan aku malu-malu pada Rabb-ku mengatakan,
"Bismillah..." Sembari menghela nafas berat. Seolah beban ini memberatkan paru-paruku.
Ucapan bismillah yang penuh dengan rasa malu. Tak adil rasanya aku melibatkan Dia, yang selalu ku khianati Cinta-Nya, dalam doaku.
*****
Di ujung Barat Nusantara, rasa bersalah memenuhi dadaku. Setiap hela nafas yang keluar mungkin adalah beban itu.
Aku begitu bahagia membahagiakan Diana. Namun bagaimana dengan Rabb-ku? Ketika aku menduakan cintaku. Aku pun begitu takut dengan hubungan terlarang ini. Tapi aku juga takut Diana seperti itu lagi. Dan tak ku sangka, ketakutanku tentang Diana melebihi ketakutanku tentang Rabb-ku.
"Ya Rahim, ampuni aku."
Andai aku bisa menikahinya sekarang juga. Aku bisa membuatnya bahagia tanpa harus mencurangi-Nya Tapi bisakah? Mengingat masih banyak urusanku untuk keluargaku yang harus aku selesaikan. Akulah harapan mereka. Ibuku sakit, ayahku masih belum bekereja, adik-adik kecilku masih perlu sekolah. Mana mungkin aku mampu menikah sekarang?
Saat ini Qisthi sedang sekolah. Pagi tadi dia amat bersemangat sekolah karena dia akan membeli buku paket pelajaran yang belum dimilikinya. Katanya, selama ini dia hanya meminjam buku paket temannya lalu menyalin isinya untuk mengerjakan tugasnya. Pagi tadi aku memberinya sedikit uang dari beasiswa kuliahku untuk membeli bukunya. Dan betapa indahnya aku melihatnya begitu bahagia.
Ku lanjutkan menjemur pakaian-pakaian ini di belakang rumahku. Cukup banyak aku mencuci pagi ini. Aku harap suatu saat aku bisa membelikan mereka mesin cuci.
"Astaghfirullah!"
Sesuatu berdenting keras seperti kaca yang pecah terdengar dari kamar kedua orang tuaku. Lantas aku menghambur memburu suara itu.
Rupanya ibuku menjatuhkan gelasnya.
"Umi? Umi tak apa?" Tanyaku sembari menatap wajah kesayanganku penuh kecemasan.
"Umi baik-baik saja, Faiq." Sahutnya begitu lemah. "Tadi Umi mau minum, tapi gelasnya jatuh."
"Ya sudah. Faiq ambilkan yang baru ya, Mi? Sebentar." Ujarku lagi lantas menghambur ke dapur. Lalu kembali dan menyerahkan segelas air pada ibuku.
Pecahan kaca berserakan di lantai kamar tidur orang tuaku. Ku rasakan, wanita mulia ini menatapku, yang sedang membersihkan pecahan kaca, penuh kasih.
"Yaa Bunaya." Ujarnya merdu sembari membelai rambutku. Aku menatapnya, "Bagaimana hubunganmu dengan Allah sekarang, Nak?" Tanyanya kemudian dengan senyuman terbaiknya.
"Baik, Mi." Sahutku. Dia hanya tersenyum. Sementara aku melanjutkan membersihkan pecahan kaca ini sambil mengumpat.
Pembohong! Aku sendiri padahal mengkhawatirkan hubungaku dengan-Nya. Maafkan aku, Mi.
Lantas aku hendak berlalu untuk membuang pecahan kaca ini. Namun di bibir pintu, bibir ibuku terbuka dan bersuara. Kata-katanya bak menyambar hatiku.
"Lalu Diana bagaimana?"
*****
Assalamu'alaykum warahmatullah penikmat kisah Fatimah di Akhir Zaman! XD
Seneng banget hari ini bisa up lagi ternyata. Gangguan tekhnisnya sudah diperbaiki. Hehehe.
Selamat mengikuti kembali kisah ini ya. Jangan lupa vomment!
Terima kasiiiih.... ;)
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatimah Di Akhir Zaman
SpiritualHighest Rank (08/18): #1 in #teenlove #2 in #teenromance Aku hanyalah gadis extrovert yang hidup di akhir zaman. Gaya hidup membuatku terbiasa dengan hingar bingar dunia. Lalu aku bertemu dia. Pria introvert sederhana yang taat beragama. Hingga cint...