49. Sebuah Jawaban

2.9K 207 23
                                    

     "Diana, kamu mau jadi teman hidup aku di dunia sampai ke surga?"

     Rabbi, apa aku bermimpi? Ini hari yang selalu aku tunggu. Meski memang Faiq ku rasa telah begitu menyakitiku. Namun ternyata cintaku ini mendahului rasa sakit itu. Ingin saat ini juga aku katakan "IYA!"

     Pandanganku tertunduk. Wajah yang cerah berubah menjadi mendung. Teringat kembali akan kalimat yang pernah Faiq katakan,

     "Apa Fatimah minta kepastian pada Ali?"

     Sejak itu aku tak mau lagi meminta kepastian apapun darinya. Aku hanya bisa menunggu meski entah dimana ujung penantian itu. Aku pun tak tahu siapa yang sebenarnya aku tunggu. Faiq memang. Namun aku tak pernah tahu takdir apa yang telah digariskan untukku.

     "Aku mau kasih kamu ini, Faiq." Tuturku sembari merogoh isi tasku.

     Diana & Abdullah

     Sebuah kartu undangan pesta pernikahan.

     Faiq, kamu terlambat.

     Tak ada lagi cerah di wajahnya. Tertunduk dan muram.

     "Aku terlambat." Tuturnya begitu memilukan. Aku hanya diam. "Kapan dia melamar kamu?" Tanyanya lagi mungkin menghabiskan rasa penasarannya.

     "Minggu lalu." Sahutku. Ya. Minggu lalu aku menerima dirinya sebagai calon suamiku. Hanya seminggu persiapan pernikahan kami. Katanya lebih cepat lebih baik.

     "Minggu lalu?" Tanya Faiq tak percaya. "Andai aku pinang kamu sebelum dia." katanya lagi. "Kenapa kamu gak bilang sama aku waktu kamu dipinang dokter itu?! Kenapa kamu gak nunggu aku? Kenapa kamu ga nanya sama aku? Kamu gak tau aku akan kembali?!" Air matanya tergenang dipelupuk matanya dan hampir terjatuh. Ku lihat dia marah. Kecewa. Kesal. Sedih. Aku hanya diam mendengarkan semua pertanyaan "kenapa?" darinya. Hingga aku akhirnya hanya mampu balik bertanya,

     "Apa Fatimah juga minta kepastian dari Ali?"

     Pria yang sampai saat ini aku cintai hanya terdiam. Mungkin dia ingat kalimat itu adalah dia yang mengajari.

     Hening sesaat, hingga aku tak tahan lagi berada di hadapannya. Maka aku hanya berlalu darinya. Dan dia, tak sedikitpun memutar tubuhnya padaku. Hanya mematung. Dan tak tahu lagi.

     Aku hanya terus melangkah keluar dari Caffe ini. Air mataku berderai sudah walau tak terdengar isakan di sela napasku.

     Aku sudah meminta kepastian itu, Faiq. Selama apapun aku akan menunggu jika memang kamu akan kembali padaku. Kamu salah jika kamu bilang aku tak menunggumu. Andai kamu tahu, aku habiskan waktuku hanya untuk menunggumu yang abu-abu itu. Andai aku tahu kamu memang berniat kembali, tak mungkin aku menerima pinangan lelaki manapun.

     Maafkan aku, Faiq. Aku juga kira kamu membenciku. Aku lelah mengejarmu. Kau pun mungkin muak melihatku terus berlari ke arahmu. Hingga selama ini aku hanya diam menunggumu datang padaku. Tak kunjung juga. Jika aku berkata aku akan pergi, memang kamu akan menahan ku? Maka aku tak pernah mau lagi memberitahu mu saat aku beranjak pergi. Tak ku sangka kamu kembali, namun terlambat.

     Faiq, aku hanya putri dari seorang narapidana. Bukan putri ustadz seperti ayahmu. Apalagi putri dari seorang Nabi. Maafkan aku tak sebaik Fatimah. Aku hanya perempuan akhir zaman yang awam dalam memperlakukan cinta.

*****

     Terlambat. Memang terlambat sudah. Aku terlalu lama membuatnya menunggu. Seminggu yang lalu, orang tuaku telah mengizinkan ku untuk menikah. Namun aku terus saja sibuk menghitung situasi. Meragu pada diriku sendiri. Mempertimbangkan terlalu banyak hal. Memperhitungkan segala hal. Terlalu lama mengambil keputusan.

Fatimah Di Akhir Zaman Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang