Gema azan subuh memecah heningnya malam yang mencekam. Suara itu saling bersahutan di sana sini. Zahra menggoyang-goyangkan tubuhku. Susah payah aku membuka mataku yang terasa begitu lengket dan berat. Lalu Zahra hanya membisikan sebuah nyanyian.
“Uni Diana... Bangunlah... Bangun... Malam sudah lewat. Waktunya salat.”
Namun aku tak menghiraukannya. Lalu ia berkata, “Uni Na. Uda Faiq sedang azan. Bagun. Tak mau dengar?” maka aku langsung terperanjat lalu mencoba mendengarkan suara seorang muazin yang begitu aku cintai. Zahra hanya tertawa kecil.
Walau tampak menutupi apa yang sedang telingaku lakukan dengan bangun dan bersikap seperti biasa, aku masih bisa begitu menikmati setiap untaian kata mulia merdu yang keluar dari Faiq. Alam seakan takzim menjawab. Aku seakan berada sendiri di dunia ini, dan hanya ditemani oleh lantunan azan Faiq saja. Tapi tak lama rasanya. Hanya seperti beberapa detik saja. Ah, aku semakin jatuh cinta.
Selepas sembahyang, aku mengajak Zahra pergi ke pasar untuk membeli bahan masakan hari ini. Sepanjang perjalanan hingga sampai di pasar hingga sampai lagi di rumah, Zahra tak ada hentinya mengajakku berbicara. Bak teko yang terisi air mendidih. Panas. Namun aku lebih panas lagi!
Desa yang asri menawarkan kedamaian. Sungai jernih membelah desa. Kicau burung saling bersahuta. Sang raja siang masih malu-malu untuk naik.
Pagi itu, aku asyik memasak dengan Zahra. Menu kita hari ini spesial untuk Ummi. Penuh dengan gizi penambah darah. Faiq dan Kak Ryan juga ikut membantu. Atau mungkin tepatnya hanya merecoki. Suasana dalam dapur begitu penuh dengan kebahagiaan. Mungkin seperti inilah setiap harinya jika aku telah sah menjadi permaisuri dalam hidup Faiq. Ah, indahnya.
“Faiq? Abbi sama Ummi mau bicara.” Ujar Abbi Rahman di bibir pintu dapur. Faiq mengekorinya menuju kamar orang tuanya. Lantas kami bertiga kembali memasak.
“Uni Na, di mana tadi bawang putihnya?” Tanya Zahra.
“Oh iya! Tadi ketinggalan di ruang tamu! Aku ambil dulu ya?” ujarku.
Beberapa langkah keluar dari dapur. Aku tiba disamping pintu masuk kamar orangtua Faiq yang terbuka. Di sana aku mendengar suara wanita sedang terisak memilukan.
“Faiq cinta dia, Abbi.” terdengar suata Faiq begitu parau.
Mereka lagi bicarain aku ya? Batinku. Lalu aku kembali mencuri percakapan mereka.
“Nak, Abbi baru akan bercerita sekarang. Dulu pun Abbi sama. Abbi pernah punya kekasih. Setahun lamanya Abbi menjalankan hubungan dengannya. Sampai saat Abbi datang untuk melamarnya, Abbi ditolak oleh keluarganya. Karena Abbi orang tak punya. Mereka beralasan Abbi belum siap berumah tangga. Mereka menyuruh Abbi berpisah dengan gadis itu. Untuk mempersiapkan diri. Abbi menurut. Tapi tak lama kemudian, gadis itu mengirimi Abbi surat. Dia meminta Abbi untuk melupakannya. Karena dia sudah menikah. Keluarganya menjodohkan dia dengan orang yang lebih berada. Walau tak mau, tak cinta, dia terpaksa menurutinya sampai dia juga jatuh sakit. di sana Abbi begitu terpukul. Abbi rasanya hampir kehilangan kewarasan Abbi. Tapi, keluarga Abbi mencarikan gadis lain. Ibumu. Akhirnya Abbi menikah dengan Ibumu. Awalnya Abbi tak menerimanya, tapi kalau sudah jodoh Abbi terima saja.” tutur Abbi Rahman. Tak ada suara lagi yang kudengar selain isak tangis Umma.
“Faiq, tak ada yang tahu siapa jodohmu. Untuk apa kamu biasakan bersama sekarang? Jika suatu hari nanti kalian tak pernah bisa bersatu karena Allah tak mentakdirkan kalian sebagai jodoh? Sakit nantinya, Faiq.” ujar Abbi Rahman lagi.
Apa maksud Abbi Rahman? Dia ingin memisahkan aku dengan Faiq? Batinku menjerit terluka.
“Itu kemungkinan terpahitnya. Kalau dia jodohmu alhamdulillah. Tapi kalau bukan, sakitnya tak akan tertahan, nak.” ujar Abbi Rahman lagi.
“Tapi kami saling mencintai, Abbi. Faiq tak mungkin tinggalkan dia.” Tutur Faiq.
“Faiq, obat jatuh cinta hanyalah menikah.” ujar Abbi Rahman lagi.
“Faiq ingin menikahi Diana, Bi.”
“Faiq... Diana itu berbeda dengan kita. Kita hanya orang pinggiran. Apa yang akan kita beri padanya? Apa kamu mampu memanjakan dia seperti yang dilakukan oleh keluarganya? Kita hanya orang kecil, apa yang akan kita beri pada Diana?” tutur Abbi Rahman begitu menghujam hatiku tiada ampun.
“Lagi pula kamu masih kuliah, Faiq. Selesaikan dulu lah kuliah kalian. Ummi pasti sangat bangga pada Diana jika dia mau menunggumu hingga kamu siap menikahinya.” Ujar Umma.
“Faiq, antarkanlah mereka pulang.” ujar Umma sembari menangis.
Air mataku meleleh sudah. Bendungan pada kelopak mataku tak sanggup lagi menahan bulir air hingga berseluncur bebas di pipiku. Aku berlari kembali ke dapur sembari terisak. Agaknya suara pijakan dan tangisanku cukup terdengar ke dalam kamar sana. Aku tak peduli. Aku hampiri Kak Ryan.
“Kak! Aku mau pulang!” rengekku pada Kak Ryan.
“Lho? Ada apa, Di? Kok kamu nangis?” tanya Kak Ryan. Zahra hanya melihatku agak terkejut.
“Aku mau pulaaaaang.” rengekku lagi.
“Uni Na, kenapa?” Tanya Zahra. Aku tak menjawannya. Aku hanya menatap Kak Ryan.
“Oke oke. Kita pulang. Yuk. Yuk. Jangan nangis ya?” Ujar Kak Ryan sembari memegangi pundakku dan membereskan barang-barang kami.
Aku keluar menyeret koperku dengan mata yang masih menangis. Faiq ada di sana terkejut lalu berkata, “Diana? Kamu mau ke mana?”
“Kita mau pulang.” Jawab Kak Ryan.
“Kenapa kamu menangis?” tanya Faiq. Aku masih bungkam begitu enggan bersuara. Jika saja ini bukan di rumah Faiq dan tidak sedang disaksikan ayah dan adik Faiq, aku pasti akan menjelaskan perasaanku yang terluka oleh orang tuanya.
“Faiq, kita malu di sini. Kita mau pulang.” Ujar Kak Ryan begitu tenang. Tak ada satupun yang bersuara. Termasuk Abbi Rahman. Entah karena sifat introvertnya yang membuatnya tak bisa berbicara, entah karena dia tak suka padaku dan ingin aku segera pulang.
“Om, saya sama adik saya pamit dulu. Maaf kami sudah merepotkan.” Kak Ryan pamit mencium tangan Abbi Rahman dan tak berkata-kata ceroboh. Saat itu aku hanya menundukkan wajahku sedalam-dalamnya. Lalu pulang.
Sepajang rute penerbangan aku hanya menangis tiada henti. Kak Ryan pun tak henti menenangkanku.
Mengapa orangtua Faiq begitu takut aku tak akan menerima putranya? Aku mencintai Faiq. Segala kelebihan dan kekurangannya. Bahkan andai Faiq datang untuk menikahiku walau hanya membawa dirinya dan baju yang dipakainya adalah satu-satu benda yang dimilikinya, aku akan tetap menerimanya. Karena aku yakin harta benda akan menyusul mengikuti perjuangan bahtera kita. Yang terpenting hanyalah bersama lewati semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatimah Di Akhir Zaman
EspiritualHighest Rank (08/18): #1 in #teenlove #2 in #teenromance Aku hanyalah gadis extrovert yang hidup di akhir zaman. Gaya hidup membuatku terbiasa dengan hingar bingar dunia. Lalu aku bertemu dia. Pria introvert sederhana yang taat beragama. Hingga cint...