Izinkan aku menghirup udara segar tanah air ini. Kupijakkan kedua kakiku diatas bumi pertiwi. Aku pulang. Lebih awal memang. Hatiku begitu berdebar. Tak berubah. Seperti biasanya. Aroma kerinduan jelas melekat dengan udara sore ini. Memaksa menyelusup masuk ke dalam rongga pernapasanku lalu membuncah memenuhi dadaku. Kerinduan yang hendak aku cairkan dengan sebuah pelukan. Kubayangkan mata sayu syahdunya menatap teduh wajahku. Mata indah yang selalu berkaca-kaca begitu melihat kepulanganku. Ulasan senyum manis merekah indah pada bibirnya. Kutatap wajah bahagianya. Namun sedikit tawar. Tersadar betapa dalam duri tajam yang telah aku tancapkan dalam hati gadis kesayanganku.
Masih mungkinkah dia tengah berlari kemari seperti biasanya? Untuk menjadi orang pertama yang menyambut kepulanganku.
Layar ponselku berkedip. Hatiku berdebar.
Mungkinkah itu pesan dari Diana?
Seketika hatiku seperti terjatuh dari tempatnya. Ternyata bukan. Itu hanya sinyal daya ponselku yang melemah. Tak lama lagi, pasti mati.
Meski selama ini kami berkomunikasi cukup baik, seolah tak pernah terjadi apapun. Tak mungkin dia mau menemuiku lagi.
Kuhempaskan tubuhku di atas kursi kosong itu. Menundukkan wajah. Mendung mungkin tergantung pada wajahku. Sendu. Entah apa. Aku merasa ada seseorang yang memperhatikanku. Ketika kutolehkan wajah penasaranku, samar-samar terlihat wanita berbalut gaun merah jambu memalingkan wajahnya, bahkan seluruh tubuhnya dari hadapanku. Tak kuhiraukan saja. Lantas menaruh ponselku ke dalam ransel. Sialnya, ret sletingnya sedikit macet. Menyulitkanku untuk membukanya.
“Assalamu’alaikum?” Sapa seorang gadis di sampingku. Suaranya. Aku amat mengenalnya.
“Wa’alaikumussalam.” Aku berdiri lalu memutar tubuhku.
Diana.
Gadis itu di sini. Di hadapanku. Bersamaku. Menatapku. Dengan balutan gaun merah jambu. Rupanya, gadis tadi yang memalingkan wajahnya adalah Diana. Manis sekali.
Mungkinkah... Dia mengganti cara berpakaiannya? Menanggalkan semua jeans ketatnya? Mulai mengumpulkan helai-helai kain hijab?
Gadis itu menatapku. Tak berubah. Senyumnya masih merekah. Wajahnya terlihat begitu bahagia berjumpa denganku. Seperti dulu.
Kamu selalu terlihat sama setiap ketemu aku. Batinku.
Namun, gadis ini bak terhalangi oleh dinding tebal yang tak tertembus. Yang memisahkan duniaku dan dunianya. Adalah bagian pelukan nampak mengasingkanku. Tak ada pelukan seperti biasanya. Mengingatkan akan keterasinganku.*****
Diana
Jingga tumpah di ujung cakrawala. Indah. Menawan. Dihiasi dengan kombinasi warna keunguan. Mempesona. Tak seperti biasanya. Kali ini senja begitu indah terasa. Biasanya, senja penuh warna jingga dan ungu ini, terlihat seperti abu-abu dan gelap. Tak ada yang berkilauan. Mungkinkah? Karena senja kali ini Faiq ada di sampingku? Meski aku tak bisa lagi memeluknya lagi, meraih bahunya, menggenggam jemarinya, atau sekadar menatap mata indahnya. Tapi roti bakar yang aku makan ini kenapa begitu enak?
Hei, Faiq. Senja hari ini indah, kan? Roti bakar itu juga enak, kan? Iya, kan?
“Enak?” Lelaki itu menatapku dan bertanya dengan suara yang lembut.
“Mmmm.... Enak banget! Kayaknya aku belum pernah makan roti bakar seenak ini. Mmm... Liat coklatnya. Mmmm....” Jawabku dengan mulut yang masih penuh dengan roti bakar.
Kenapa kamu begitu kejam? Kamu pergi tanpa pamit, lalu kamu menghilang bagai ditelan bumi, lalu kamu tiba-tiba kembali dengan senyum dan tatapan yang masih sama. Tapi, kenapa aku begitu menurut? Terdiam saat melihat punggungmu yang semakin menjauh itu sangatlah sulit. Tetap menunggu entah berapa lama saat kamu menghilang meski itu sakit. Lalu kamu kembali tapi selalu aku terima dan menyambutmu.
Sang raja siang mulai malu-malu berpamitan. Detik-detik sebelum ia tertelan di ufuk barat sangat cantik. Lalu, tersisalah gelap dan debur ombak. Hanya suara debur ombak. Senyap. Aku tak tahu lagi harus bicara apa.
“Gimana kuliah kamu, calon dokter?” tanya Faiq.
“Kuliah aku... Biasa aja sih. Cuma hari ini aku bolos. Padahal ada tugas yang aku kerjain semaleman dan harus aku kumpulin hari ini.”
“Kok?”
“Habisnya kamu bilang kamu lagi di Jakarta. Aku yakin kamu pasti ada di bandara. Ya aku susulin.” Faiq hanya memanggut. Aku tahu, jawabanku terlalu tidak wajar. Tapi apa peduliku saat ini?
“Kamu sendiri?” Tanyaku kemudian.
“Yah... Monoton.”
“Masih introvert?”
“Kayaknya udah terlanjur mendarah daging. Hehe.”
“Gak asik!” Faiq hanya tertawa kecil.
“Terus gimana tinggal di Dubai? Betah?” tanyaku lagi.
“Betah sih. Tapi kalo udah mau pulang, ya gak betah.”
“Terus kamu ngapain pulang? Bukannya ini masih pertengahan semester?”
“Iya. Aku ada berkas yang harus aku urusin di sini. Jadi aku pulang dulu. Lusa juga aku balik lagi ke Dubai kok.”
“Kamu cuma tiga hari di sini?”
“Iya. Besok seharian aku beresin berkas yang aku butuhin.”
Jadi, cuma hari ini? Besok kamu sibuk, lalu lusa kamu pergi? Faiq. Senja selalu terasa istimewa karena selalu ada yang menunggu. Kamu, tak perlu jadi senja. Jadilah Faiq, aku di sini selalu menunggu.*****
Assalamu'alikum my dear readers.
Author mau tanya gimana sejauh ini dengan kisahnya?
Author tunggu banget komentarnya ya?
Yuk baca lalu tinggalkan jejak. Don't be silent reader. Ok? 😆Special thanks buat yang udah boom vote. Ehehe. Vinda sama Icha. 😙
Follow terus dan tinggalkan jejak agar kisah ini terus up! 😁
Terima kasih.
Much love
Tasha
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatimah Di Akhir Zaman
SpiritualHighest Rank (08/18): #1 in #teenlove #2 in #teenromance Aku hanyalah gadis extrovert yang hidup di akhir zaman. Gaya hidup membuatku terbiasa dengan hingar bingar dunia. Lalu aku bertemu dia. Pria introvert sederhana yang taat beragama. Hingga cint...