34. Ajari Aku untuk Membencimu

4.1K 245 20
                                    

     Semangkuk sup yang tak panas lagi tersaji di depanku. Dingin. Seperti Faiq. Karena telah lama aku hanya mengoceknya dengan sendok.

     Ah. Aku benar-benar kehilangan selera makanku beberapa hari ini.

     Yang ku rasa adalah sakit. Kadang ingin aku lupa. Maka aku tidur. Tapi percuma. Sakit itu mampu ku bawa hingga ke dalam mimpi.

     Hingga semua berpengaruh pada kesehatanku.

     Kedua mata kosong yang membengkak dengan kantung mata yang turun. Kau pasti jijik melihat sikapku yang begini hanya karena seorang lelaki. Namun apa daya? Faiq duniaku. Begitu kehilangan dia aku merasa aku kehilangan segalanya. Bahkan jika kau tawarkan padaku dunia dan seisinya untuk menukar Faiq, maka aku akan menolak dunia itu.

     Faiq, perasaan ini terlanjur kuat untuk ditebas. Terlanjur tumbuh untuk dibunuh. Terlanjur manis untuk ku tepis.

     "Ah... Bagaimana ini? Aku ke dokter aja jalan kaki. Mana ada uang buat nebus obat?" Ujarku pada diriku sendiri saat itu.

     Ya. Semalam demamku cukup tinggi. Saat ini pun masih demam pula. Saat ini ada obat yang harus ku beli. Namun kau tahu sendiri, uangku hanya tersisa untuk membayar kontrakan dan makan sehari-hari. Jika aku beli obatnya, mungkin aku tak akan makan sampai Kak Ryan dan Kak Raisa mengirimku uang. Dan tak mungkin juga aku meminta uang lagi pada mereka. Baru saja uang dari mereka aku pinjamkan untuk Faiq.

     Mungkin beasiswa Faiq sudah turun.

     "Assalamu'alaykum?" Sapa Faiq di sebrang sana.

     "Wa'alaykumussalam." Sahutku.

     "Ada apa lagi, Di? Kamu gimana mau move on? Kamu masih aja hubungi aku." Ujarnya dengan ketus.

     "Aku cuma mau nanyain beasiswa kamu. Udah turun belum?"

     "Udah. Kenapa?"

     "Aku butuh uang, Iq. Buat nebus obat. Boleh aku tagih uang aku di kamu?"

     "Ya. Nanti aku kirim. Udah ya?"

     Tuuut....

     Bahkan dia tak bertanya aku sakit apa.

     Hari ke hari terus berlalu. Tak ada pesan apapun dari Faiq. Bukan kirimannya yang aku tunggu. Sekali saja dia tanyakan bagaimana keadaanku. Tak sudi kah? Atau kabari padaku kapan dia bisa mengirim uangnya. Aku sangat perlu.

     "Kalau gitu, gak apa apa. Aku udah beli cincin itu untuk kamu. Meskipun kamu gak terima cinta aku, aku harap kamu mau terima cincinnya walaupun gak akan kamu pakai." Ujar Kak Randy saat itu.

     Aku teringat. Aku masih punya cincin dari Kak Randy yang bisa ku jual.

     Peluhku berjatuhan. Terik matahari cukup membakarku dengan sentuhan cahayanya. Aku beruntung masih memiliki cincin dari Kak Randy ini.

Fatimah Di Akhir Zaman Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang