Ya, Rabb. Hanya Engkau yang berhak menghakimiku. Hanya Engkau yang paling mengenaliku. Bahkan lebih dari diriku sendiri. Wahai Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Dekat.
Dua hari. Telah dilewati Faiq di rumah sakit ini. Wanita itu masih disana. Akalku masih teringat percakapan malam itu. Kalimatnya amat terngiang jelas di telingaku.
Wanita ini terus saja berceloteh bak seorang hakim yang serba tahu dan berhak memberiku penilaia, tak mau mendengar apa kataku.
"Saya bukan pacar Faiq lagi, Kak." Tuturku.
"Aduh saya kaget loh. Pengen nangis saya tahu Faiq punya pacar. Kan gak boleh pacaran. Kenapa gak nikah aja sih?"
"Belum siap dari segi ilmu kak."
"Nah! Itu setan tuh." Sahutnya begitu mengejutkanku. "Tau setan kan?" telunjuknya mengarah padaku. "Setan tuh luar biasa." Katanya lagi. Aku hanya diam. "Belum mampu nikah kok malah pacaran?" Tuturnya lagi. Tak ku jawab saja. Percuma. Tak akan di dengarkan. "Yah... Kamu kan keliatannya mengerti agama. Kamu pasti lebih tahu lah hal-hal macam ini." Wanita itu sejenak berhenti bicara. Lantas berkata lagi, "Kamu orang sini kan? Kapan-kapan jalan-jalan yuk, shalihah." Lantas dia berhenti dengan ocehannya. Perhatiannya tersita oleh aktifitasnya mengunggah foto di sosial media.
"Kak, kalo boleh nanya kenapa kakak upload foto-foto kakak? Bukannya itu gak boleh ya? Gimana kalau ada cowok yang ga berhak lihat wajah kakak dia save foto kakak? Lalu dia bebas lihat wajah kakak? Kakak gak takut?"
Aroma khas obat melintas sana sini di depan hidungku. Sebagian terhirup masuk ke dalam rongga pernafasanku. Dari kejauhan ku lihat Faiq tengah asyik dengan laptopnya.
Faiq, untuk apa kamu bekerja sekeras ini? Hingga dalam keadaan sakit pun kamu terus saja bekerja.
"Bu Nisa, beberapa hari ini saya dirawat. Maaf ya? Tugas agenda pimpinan yang sudah Ibu kerjakan jadi sia-sia." Rupanya nama wanita itu adalah Nisa.
"Oh iya, Pak. Gak papa."
"Gimana agenda seminar dengan Pak Simon? Sudah dibatalkan?"
"Sudah, Pak."
Berat sekali kaki ini untuk melangkah. Aku sungguh tak mau muncul di hadapan Faiq. Bagaimana aku harus bersikap? Ah. Sayangnya Dokter Intan sedang tak ada di sini. Lagipula Faiq tetap pasienku. Sama seperti yang lain yang harus kutangani dengan baik.
Ah. Jangan. Aku tak bisa muncul. Faiq tak boleh tahu aku bekerja disini.
"Pak Faiq tahu? Saya ketemu pacar bapak." Ujar Nisa tiba-tiba. Kedua mata Faiq nampak hendak melompat dari tempatnya.Ya Allah. Wanita itu!
"Pacar? Siapa?" Tanya Faiq.
"Dokter Diana." Dari kejauhan, ku lihat Faiq hanya mematung. "Tapi saya gak suka dia, Pak." Tutur wanita itu. Faiq hanya diam. "Dia tuh ya, gak punya adab banget deh. Bicara sama yang lebih tua gak ada sopan santunnya. Dinasihatin bukannya terima kasih malah gitu jawabnya. Minimal apa gitu, basa basi busuk lah. Ini enggak. Padahal orang banyak yang susah cari ilmu. Ini dikasih tahu malah ngelunjak. Saya ini anggota DKM lho. Harusnya dia bersyukur saya nasihatin."
"Mungkin nasihat Ibu Nisa ini agak nyelekit, jadi dia kurang bisa menerima nasihat ibu." Tutur Faiq.
Faiq, aku bermuka masam padanya karena dia menjelek-jelekan kamu padaku. Hingga aku yang dikatakan tak punya adab. Mengapa kamu masih menanggapi celotehan wanita itu dengan baik? Tak marah kah kamu? Tak sakit kah hatimu?
![](https://img.wattpad.com/cover/89975025-288-k693210.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatimah Di Akhir Zaman
SpiritualHighest Rank (08/18): #1 in #teenlove #2 in #teenromance Aku hanyalah gadis extrovert yang hidup di akhir zaman. Gaya hidup membuatku terbiasa dengan hingar bingar dunia. Lalu aku bertemu dia. Pria introvert sederhana yang taat beragama. Hingga cint...