11. Angin

4.7K 267 3
                                    

Aku masih setia berdiri di tempat menyedihkan ini.  Tempat yang menjadi saksi bisu penantian panjangku. Melemparkan pandangan sejauh mungkin pada kertas biru bergelombang maha luas di hadapanku. Rasa lelah menjalar di tubuhku. Nyaris tumbang rasanya kedua kakiku. Tatapan sendu tertuju pada butir-butir pasir lembut, wajahku kembali tertunduk. Bulir demi bulir kristal tak kuasa kutahan telah meluncur bebas. Bibir yang telah aku gigit untuk menahan segalanya mendesis lirih. “Aku lelah....”
Harapan memaksaku untuk bertahan.  Kugantikan isi ruang yang terasa sesak dengan udara segar. Kulepaskan luka itu yang setiap saat dapat saja kembali. Kedua jemariku setia menyeka air di pipi. Kuberanikan diri untuk mengangkat dagu. Senyum pahit yang berubah dengan senyum ketulusan. Tahan. Sembunyikan. Jangan rasakan.
Semilir angin menakutiku. Meragukanku pada kerang kesayanganku. Menerbangkan bunga yang indah yang mampu membuatku tersenyum kembali walau aku ragu. Datang pula cukup banyak kerang yang lain dari dorongan ombak.
Semilir angin berbisik padaku bahwa kerang-kerang itu memiliki segalanya, mampu membuatku bahagia berdansa dengan cintanya. Memilih. Hanya itu yang perlu aku lakukan pada mereka. Aku hanya mengalihkan pandanganku ke laut lepas. Isyarat aku tak akan memilih satupun di antara mereka, jika itu bukan kerang yang kutunggu.
Angin itu kembali agar setidaknya aku mencoba. Aku tetap menolaknya.
“Bagaimana jika kerang itu tidak akan sampai padamu? Bagaimana jika kesetiaan kamu itu berbuah sia-sia? Jangan terlalu berharap pada abu-abu! Tak jelas hitam atau putihnya. Tak jelas pula harapannya. Yang pasti ada di depan matamu.” Bisik angin itu.
“Setidaknya itu akan menjadi kebodohan terindah bagiku.”
Banyak pula yang datang mendekat. Ini hanya bagian luka kecil dari kata penantian.
Seperti pantai yang tak pernah menyerah dan berpaling dari lautan meskipun ombak selalu memukulinya. Selagi laut pun tidak meninggalkan pantai, ombak berdampingan dengan pasir. Begitu pula aku.
I will be right here waiting for you.

*****

Pria berpostur tubuh sempurna. Berparas menawan. Tengah asyik bersama laptopnya dalam kantin sana. Kacamata bertengger pada hidung mancungnya, justru menambah pesonanya sebagai Mahasiswa yang jenius. Segelas lemon tea menemani dirinya. Calon dokter ini, tak lama lagi wisuda. Kudengar kabar dia akan melanjutkan ke jenjang S2. Randy namanya. Kakak tingkatku. Anak tunggal dari seorang dosen di Fakultas Ilmu Budaya kampus ini. Ayahnya seorang pimpinan di Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan. Tak heran juga berwajah tampan. Randy putra blasteran Jerman dan Sunda. Tak heran juga banyak wanita yang mendambakannya untuk dijadikan kekasih hatinya.
Sikapnya yang sopan, ramah, murah senyum, suka menolong. Terkadang membuat teman-temanku salah pengertian. Beberapa di antara mereka bersikukuh bahwa Randy menyukaiku. Karena dia sangat baik padaku.
“Ha! Mana mungkin? Dia emang baik sama semua orang.” Elakku biasanya.
Segelas milk shake membasuh rasa haus ini. Kali ini aku tengah berkumpul untuk mendiskusikan satu tugas kuliah. Yang entah tugas apa. Rasanya aku tak ingat. Randy salah satunya yang ada di antara kami.
Teman-teman yang lain entah pergi ke mana. Satu persatu menghilang. Ke toilet, memesan minuman lagi. Keadaan seolah mendukungku untuk berdua dengan Randy. Segelas milk shake telah habis bermuara dalam perutku. Sesuatu berkilau di dasar gelas kaca ini. Kecil. Melingkar.
Sebuah cincin.
Kukorek isi gelas ini. Mencoba mencungkil cincinnya.
Sebuah cincin dalam gelasku?
Randy yang semula asyik dengan bukunya, rupanya tengah mmemerhatikanku lamat-lamat. Senyumnya manis tergaris dalam bibir tipisnya.
Mungkinkah?
“Di, seumur hidup aku, aku belum pernah coba-coba menyatakan cinta sama perempuan manapun kecuali aku bener-bener serius. Aku gak mau menjalani cinta lalu gagal di tengah jalan karena permainan cinta. Dan sekarang, aku rasa aku udah nemu orang yang tepat untuk aku seriusin.” Ujarnya begitu membuatku berdebar. Randy lantas menghela napas berat.
“Di, aku cinta kamu. Kamu mau jadi istri aku?” Tanyanya dengan mata yang lurus dan tegas. Tak kusangka. Tak percaya. Seorang idola kampus berniat menikahiku?
“Di?” sapanya lagi memecah lamunanku.
“Eh? Yaa?” Tanyaku tak percaya.
“Aku cinta kamu. Kamu mau gak menikah denganku?” Tanyanya lagi.
“Ah? Haha. Kak Randy nih suka bercanda ya?” Sahutku kala itu.
“Aku serius, Di. Gimana?”
“Tapi... Aku masih kuliah.”
“Kuliah boleh sambil menikah. Kalau kita sudah nikah, aku bayarin semua biaya kuliah kamu juga.”
“Tapi aku belum siap menikah.”
“Biar aku tunggu sampai kamu siap. Gak apa-apa.”
Hening sesaat. Bagaimanapun sempurnanya pria ini, tetap saja hatiku milik Faiq.
“Di?” Sapanya lagi.
“Eh... Tapi aku gak cinta kakak. Aku cinta orang lain.” Sahutku begitu kejam.
“Oh. Gitu ya?” Kekecewaan tergaris di wajahnya. Napasnya berat seolah udara kemalangan membebani paru-parunya.
“Kalau gitu, gak apa-apa. Aku udah beli cincin itu untuk kamu. Meskipun kamu gak terima cinta aku, aku harap kamu mau terima cincinnya walaupun gak akan kamu pakai.” Sambungnya lagi.
“Makasih, kak.”

*****

Kelas nampak riuh tanpa kehadiran dosen hari ini. Aku memainkan pena dengan jemariku. Pikirku melayang jauh ke Padang. Aku teringat pada uminya Faiq yang sedang sakit. Ingin sekali aku menjadi perantara Tuhan mengembalikan kesehatannya seperti semula.
Temanku, Hasna melihat mata kosongku lantas menyenggolku dengan lengannya. “Lo mikirin Faiq ya?”
“Sok tau!”
“Terus mikirin apa?”
“Ibunya.”
“Ngapain lo mikirin ibu orang? Lo pikir Faiq bakal mikirin ibu lo juga?”
Aku hanya menggeleng.
“Ngapain sih lo mikirin ibunya Faiq? Faiq aja belum tentu mikirin elo, apalagi ibu lo. Mungkin dia lagi seneng seneng sama cewek barunya di sana.”
“Faiq gak gitu! Gue yang kenal Faiq.” Hasna terdiam, tak lama kemudian menjawab.
“Di, saran gue, lo jangan terlalu percaya sama cowok manapun kalo belum jadi suami lo. Termasuk Faiq.” Aku hanya tertunduk lesu.
“Lagian ya, cowok nyata itu berbaris di depan lo, Di. Mereka ngantri pengen buat lo bahagia. Lo gak mau apa buka hati, pilih salah satu dari mereka lalu kasih dia kesempatan buat bikin lo bahagia? Mereka nyata lho, Di. Gak semu kayak Faiq. Kak Randy pun nyata, Di. Dia udah lamar lo, tapi lo tolak. Kak Randy lo tolak?” Sambung Hasna lagi.
“Mungkin suatu saat gue buka hati, Na. Lo tenang aja.” Sahutku kemudiam agar Hasna berhenti membicarakan Faiq.
“Terus... Ngapain lo mikirin ibunya Faiq? Kenapa ga mikirin Faiqnya aja?” Tanya Hasna kemudian.
“Sebut aja panggilan jiwa calon dokter. Gue pengen sembuhin ibunya Faiq.” Jawabku santai, walau hatiku masih kalut dengan perkataan Hasna yang menyarankanku untuk tidak percaya pada Faiq. Ditambah lagi, sudah lama Faiq tak mengabariku. Komunikasi menjadi hal yang langka.
Faiq, dapatkah kamu aku percaya?
Larut dalam keraguan, kudapati pesan masuk pada ponselku.
“Diana, kamu lagi kuliah ya?”
“Dosennya telat masuk, Iq. Kenapa?”
“Aku di Jakarta.”

Fatimah Di Akhir Zaman Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang