Masa jaya putih biruku ditemani oleh manusia unik perantau dari Padang. Halo Muhammad Faiq Al-Faruqi. Ujian-ujian telah kami tempuh di tingkat SMP. Saatnya aku melanjutkan sekolah ke tingkat lebih tinggi. tak kusangka, aku akan satu sekolah dengan Monik, Rava, dan Faiq. Mungkin, hanya berbeda kelas saja.
Bagai panas yang dipadukan dengan dingin, maka akan memberikan kehangatan. Agaknya itu yang akan terjadi jika seorang introver sejati bersatu dengan seorang super ekstrover. Aku dan Faiq.
Tunggu! Apa yang aku pikirkan? Apakah aku berharap dapat bersama Faiq? Tapi, bunga-bunga tampak berseri mengiyakan terkaan hatiku. Awan berarak mengikuti setiap langkahku. Angin menderu seolah mendukung bisikan hatiku. Burung terdengar merdu menyanyikan lagu cinta. Apakah aku jatuh cinta?
“Faiq, kamu ikutan DKM lagi?” tanyaku ketika melihat dia mengisi lembar formulir minat eskul.
“Ya,,” sahutnya.
“Kok kamu seneng banget sih sama kegiatan DKM itu?”
“Ya kamu sendiri kenapa pilih paskibra lagi?”
“Karena aku punya jiwa nasionalisme yang tinggi!” sahutku sembari menengadah berlagak sombong.
“Aku juga karena punya kecintaan agama yang tinggi,” sahutnya yang cukup membuatku kembali terkagum-kagum padanya.
“Faiq?” kataku kemudian setelah hening.
“Iya?”
“Kok kamu bisa jadi anak rantauan gini, sih? Jauh-jauh dari Padang ke Jakarta,” tanyaku dan Faiq hanya tersenyum kecil begitu manis.
“Ya emang kenapa?”
“Ya gak papa. Kenapa gitu? Emang, mau cari apa? Di Padang juga kan pasti banyak sekolah bagus.”
“Mau cari apa?” tanyanya sembari menatap mataku. Terang saja aku merasa kikuk.
“Cari ... jodoh!” katanya sembari berlalu mengumpulkan formulir itu. Terang saja kedua mataku terbelalak bak hendak keluar dari tempatnya. Aku tahu dia sedang bercanda hanya saja entah mengapa hati ini gembira mendengarnya mencari seseorang di kota kesayanganku.
“Faiq!” seruku saat ia berjalan keluar kelas.
“Apa?” Tak hanya wajahnya yang menoleh, tetapi seluruh tubuhnya yang menoleh. Semakinlah aku kalut dengan perasaanku.
“Kok aku gak bisa jadi anak ratauan kayak kamu, sih?” tanyaku.
“Mana aku tahu? Tanya aja orangtua kamu,” jawabnya sembari berbalik dan berlalu hendak mengumpulkan formulir-formulir itu.
“Faiiiq..,” tanpa sengaja aku merengek sambil mengikutinya.
“Aku pernah bilang aku pengen kuliah di Jerman. Tapi Mama sama Papa gak ngizinin.” Keluhku.
“Ya kamu kok minta kuliah jauh-jauh ke Jerman? Di Indonesia juga kan banyak.”
“Ya gak papa. Tuh kamu juga bisa rantauan gini.”
“Haha. Diana, aku merantau masih di kampung sendiri. Cuma Padang ke Jakarta. Gak sampe ke Eropa.”
“Kalaupun aku minta izin kuliah ke Padang atau ke Jogja aja pasti dilarang kok. Kamu enak, ya, diizinin. Jadi, kamu bisa mandiri. Orangtua aku rasanya kayak gak percaya sama aku. Kapan aku bisa mandirinya?”
“Diana, Diana. Kita beda. Kamu perempuan pasti ribetlah, orangtua kamu juga pasti khawatir. Soal kepercayaan, justru itu yang paling berat. Kamu kira aku enak jauh dari keluarga yang begitu percaya sama aku dan aku harus jaga kepercayaan itu. Itu tanggung jawab yang besar, Di.”
“Rumput tetangga biasanya ....”
“Terlihat lebih hijau,” sambungnya. Aku hanya terdiam.
Tibalah kita di ruang OSIS. Faiq meletakkan formulir itu di atas sebuah meja.
“Aku juga bisa aja liat rumput kamu lebih hijau dari punyaku, tapi hijaunya rumput kita itu tergantung bagaimana cara kita merawatnya, kan?” katanya lagi. Aku hanya menyimak.
“Dan gimana cara kita merawatnya?” tanya Faiq kemudian. Aku hanya menatapnya menunggu jawaban.
“Nikmat Tuhanmu yang manakah yang hendak kamu dustakan?” tuturnya sambil tersenyum.
Aku terdiam. Aku teringat ayat itu.
“Ar-Rahman?” tanyaku begitu berbinar. Faiq hanya tersenyum.
“Itu surat kesukaan aku! Fabiayyi alaa irabbikuma tukadzibaan?” ujarku.
Jika saja seorang yang dunia kenal begitu dingin menjadi begitu hangat padaku, apa itu artinya? Atau mungkinkah ini hanya rekaan hatiku saja? Bagaimana jika ini hanyalah harapan semu yang aku buat-buat sendiri? Rasanya, hati ini sudah lama tak terkendali. Ah, apa kata orang? Tak perlu menjadi pengendali air, tanah, angin, dan api. Menjadi pengendali hati pun sudah sakti.
Seketika senyuman yang semula terukir begitu manis di bibirku pudar sudah. Entah. Aku hanya takut jatuh cinta pada orang yang salah.
“Dek, kamu kenapa?” tanya Kak Ryan. Rupanya, dia tak begitu fokus mengemudi. Nyatanya, dia sempat memperhatikanku yang tengah menggigiti ujung jari.
“Eh? Apa, Kak?”
“Kayak gelisah gitu,” katanya lagi dibuntuti tawa kecil.
“Sok tau Kak Ryan ini!” Aku mencubit pelan lengannya.
“Ya habis. Kamu senyum-senyum sendiri. Habis itu langsung gelisah gitu.”
“Ih! Sok tau, ya? Siapa bilang aku gelisah?”
“Ya jelas keliatanlah. Mata kamu itu cepet banget geraknya, lirik kiri-kanannya lincah banget.”
“Ngomongin soal mata, mata Kakak harusnya fokus sama jalanan. Bukannya sama mata aku.”
Kak Ryan hanya tersenyum.
“Kayaknya adik Kakak baru kenal cinta.” Ejeknya.
“Apa, siiih? Sok tau banget!” Aku semakin gemas mencubiti lengannya.
“Cerita, dong, sama Kakak! Siapa namanya?” Dia terus menggodaiku. Aku hanya tertunduk begitu dalam dengan pipi yang telah matang warnanya. Baik juga nasibku karena kami telah tiba di ambang pintu rumah. Tentulah aku langsung berlari meninggalkan Kak Ryan.
***
POV Faiq
Satu bulan sudah aku mengenakan seragam putih abu ini. Raja Siang telah condong di arah Barat. Baru kali ini kelas terasa sepi. Bagaimana tidak? Siswi teraktif di kelas ini absen sakit. Rupanya anak itu bisa sakit. Hari ini teras amat sepi. Gadis yang biasa mengusiliku tengah terkapar di rumah sakit. Entah hanya aku yang merindukan cerewetnya Diana atau seisi kelas juga merasakan hal yang sama? Bagaimana tidak? Manusia selincah dia akan sangat terasa kehadiran dan kealpaannya.
Para dokter dan perawat dibuat hilir-mudik oleh pasiennya. Aroma khas obat serta cat putih bersih menyambut kehadiran para penjenguk. Ruang Beria No. 9. di sanalah dia terbaring. Lemah. Tak seperti biasanya.
“Jadi, dokter bilang apa?” tanya Monik sore itu.
“Kecapean doang sih. Gapapa,” sahut Diana lirih.
“Lu sih gak mau diem terus,” sambung Rava.
“Faiq diem aja tuh ga ada lu,” sikut Monik pada Diana menggoda kami.
Sepertinya kami sudah biasa digoda oleh mereka. Mungkin, mereka mulai dapat melihat pintu hatiku yang terbuka, lalu mengintip isinya yang dihiasi nama Diana. Namun, aku belum bisa melihat apa isi hati Diana. Dia memang baik dan manis padaku, tapi dia pasti begitu juga pada semua orang. Dia memang sering mengusiliku, seperti sedang mencari perhatian. Namun, tak jarang pula aku melihatnya mengusili Monik dan Rava.
Ah! Mana mungkin Diana menyukaiku. Memangnya, siapa aku?
“Oi!” Rava memecah heningku dan membuatku tersentak.
“Tuh, kan! Diem aja!” sambung Monik disusuli oleh tawa dari ketiga sahabatku itu.
“Bukannya dia emang biasa gitu?” ujar Diana dengan senyumnya yang manis. Amat manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatimah Di Akhir Zaman
SpiritualHighest Rank (08/18): #1 in #teenlove #2 in #teenromance Aku hanyalah gadis extrovert yang hidup di akhir zaman. Gaya hidup membuatku terbiasa dengan hingar bingar dunia. Lalu aku bertemu dia. Pria introvert sederhana yang taat beragama. Hingga cint...