POV Diana
Orang bilang, tujuh belas tahun adalah masa-masa keemasan setiap orang ketika para muda-mudi sedang dalam puncaknya mencari jati diri mereka. Tampaknya semua orang menunggu saat saat itu, tapi tidak bagiku. Karena menurutku, angka tujuh belas adalah angka ketika kita memulai sebuah perjalanan baru yang tentunya begitu banyak lika-likunya.
Malam itu, dengan berbalut gaun putih bersih dan mahkota kecil di atas kepalaku berada dalam istana kecil. Aku bak seorang putri yang begitu indah. Malam ini adalah perayaan hari ulang tahunku yang ke-17, tapi aku hanya ingin merayakannya dengan orang-orang terdekat saja. Keluargaku, Monik, Rava, dan Faiq.
Pandainya mereka menggembirakan aku. Semua orang bersorak setelah aku meniup lilin berangkakan usiaku itu. Namun, kecuali Faiq. Dia hanya tersenyum kecil sembari menepuk tangan. Agaknya itu sebagian dari sifat introvernya.
“Ok. Hadiah dari Kakak tiket perjalanan ke pantai!” ujar Kak Ryan. Terbelalaklah kedua mataku.
“Lombok, Kak?” tanyaku begitu bersemangat.
“Pulau Pari,” sahut Papa.
“Kok bukan Lombok, sih?” rengekku.
“Lombok terlalu jauh. Kalau mau liburan ke Lombok, kita butuh waktu satu atau dua minggu; sementara waktu liburan semester kamu sebentar lagi habis, kan?” jawab Kak Raisa.
Aku hanya mengkatupkan bibirku.
“Tapi, kamu punya tiga tiket tambahan. Buat siapa?” tanya Kak Ryan.
“Pasti Monik, Rava, sama Faiq!” seruku.
Singkat cerita. Kak Ryan memacu mobilnya membawaku dan ketiga sahabatku ke Pulau Seribu. Pantai. Melihat pohon kelapa yang melambai, debur ombak yang bersorak, pasir lembut yang menggelitik, hingga keajaiban sunset di ujung cakrawala.
Entah apa maksud Kak Ryan ini. Dia membawa kami ke pantai, tetapi sepertinya dia menjadi seksi dokumentasi kebersamaanku dengan teman-teman.
Tiba di pantai, aku berlarian dan langsung bermain air. Saat itu aku memakai hotpants dan blus kaus pendek saja, dan rambut panjang terikat rapi. Namun, aku tak melihat Faiq di sana.
“Faiq mana?” tanyaku sembari menengok kiri dan kanan. Tiba-tiba ada tangan yang melingkari perutku.
“Aku di sini Suara Faiq tepat di balik punggungku. Jelas aku begitu terkejut. Kedua lengan Faiq melingkar di tubuhku. Lalu dia pindah ke hadapanku mengikat ujung-ujung kain itu. Dia memakaikan aku kain yang dapat menutupi kaki jenjangku.
“Nah, gitu kan lebih cantik. Lebih anggun,” puji Faiq.
Rupanya, tadi dia pergi untuk membeli kain ini untukku. Aku semakin dalam menundukan wajah. Faiq hanya tertawa, lalu mengajakku kembali bermain dengan pukulan ombak.
Tak terasa hari berlalu. Sang Raja Siang telah menggantung indah di kaki langit. Malu-malu akan tenggelam menyisakan gelap. Jingga. Indah warnanya yang tumpah di cakrawala.
“Jadi senja enak, ya?” ujar Faiq.
“Enaknya?” tanyaku.
“Karena pasti ada seseorang yang selalu setia menunggu senja. Bahkan, walaupun senja itu gak tau ada orang yang nunggu dia dengan sabar. Sabar karena orang itu begitu pecaya senja akan datang di waktu yang tepat. Sabar karena orang itu percaya keindahan senja akan memanjakannya. Begitu ditunggu-tunggu kedatangannya. Senja itu spesial, kan?” jelas Faiq. Aku hanya tersenyum.
“Kamu gak perlu jadi senja buat ada yang nunggu, Faiq,,” ujarku dan dia hanya tersenyum.
“Mau liat yang lebih cantik?” tanya Faiq.
“Ada?” tanyaku bersemangat.
“Ayo!” Faiq menaiki sepedanya dan meninggalkanku. Lantas, aku susuli dia.
Apa ini? Dia membawaku ke arah penginapan, batinku.
Tiba di bibir pintu penginapan, Faiq membukakan pintu. Tak kusangka begitu indah di dalam sana. Gelap dan hanya dihiasi lilin-lilin cantik. Berjajar lilin-lilin itu seolah memberiku jalan masuk. Tepat ditengah ruangan ada lilin yang berputar membentuk hati. Aku masuk. Kudapati ada Kak Ryan, Monik, dan Rava di sana. Ini pastilah ulah mereka. Apa ini kejutan ulang tahun yang lain?
Tiba di tengah lilin itu. Faiq agaknya nampak gugup, berkali-kali menarik napas panjang dan berdeham.
“Diana, bertahun-tahun aku diam. Rasanya aku gak bisa tahan lagi. Aku mau kamu tau kalau ... kalau ... aku ... cinta sama kamu, tapi aku gak tau kamu juga sama atau enggak. Jadi, ... aku tanya sekarang. Kamu ... mau gak jadi ... pacar aku?” Faiq begitu terlihat gugup. Aku hanya menganggukkan kepalaku malu-malu, lalu dia bersorak bersama Monik, Rava, dan Kak Ryan.
Saat itu, dunia terasa begitu ada di genggaman tanganku. Mungkin sisa beberapa minggu lagi sebelum kami menanggalkan seragam putih abu ini. Tak lama lagi aku dan teman-teman angkatanku akan menjadi mahasiswa.
Hampir tiga tahun berlalu. Faiq selalu sabar menghadapiku. Tanpa sadar, tak hanya aku yang mampu mengenyahkan sifat introvernya padaku, ternyata dia pun mampu mengubah penampilanku yang semula selalu berpakaian minim dan ketat, kini sedikit-sedikit aku memanjangkan pakaianku. Faiq pun tak pernah berlaku kasar atau membentakku. Aku benar atau aku yang salah dia selalu meminta maaf padaku. Aku tampak egois memang. Namun, Faiq tak pernah menyerah padaku. Justru selalu berlemah lembut padaku. Hari ke hari, kian bertambah saja perasaanku. Mungkin dia juga. Namun, tetap saja ada hal hal yang terkadang membuat kami tersandung oleh batu-batu pertengkaran kecil.
“Faiq, kita kan sering foto-foto. Kok kamu ga pernah share foto-foto itu di medsos kamu, sih? Kenapa cuma aku yang selalu share?” keluhku kala itu.
“Buat apa share foto-foto itu sekarang, Di? Lebih baik nanti kita share surat undangan pernikahan kita saja,” jawab Faiq sembari menatap lembut bola mata dan membelai lembut rambutku.
“Ya ... tapi, kan ... masa cuma aku aja gitu yang share. Aku kan malu. Terkesan aku bangga punya kamu, tapi kamu enggak,” keluhku lagi.
“Ya kamu hapus aja,” jawabnya lagi.
“Kok kamu malah gitu, sih? Bukannya juga kamu yang ikutan share malah kamu nyuruh aku yang hapus!” Mataku mulai berkaca-kaca.
“Diana, dengerin aku. Sekarang aku mau tanya, apa tujuan kamu pamerin foto-foto kita?”
“Aku ... biar orang juga liat aja kalau aku bahagia sama kamu.” Air mataku tak tertahan lagi meluncur di pipi.
“Kamu bermaksud pamer kalau kamu bahagia? Kenapa?”
“Soalnya ... orang-orang juga suka share foto mereka. Aku juga kan mau.”
“Kamu cemburu sama mereka? Mmm?” Faiq semakin dalam menatapku. Aku hanya tertunduk.
“Apa itu artinya? Kamu share foto kita karena kamu cemburu sama orang, kan?” Kali ini dia mengangkat daguku.
“Diana, itu artinya kamu gak bahagia sama aku. Karena kamu cemburu sama orang. Kalau kamu udah beneran bahagia sama aku, kamu gak akan lagi peduli sama orang. Maafin aku, ya, belum bisa bahagiain kamu. Pasti ada saatnya kita share kebahagiaan kita sama mereka. Perlu kamu tau, mereka share foto mereka sekarang, belum tentu mereka share surat undangan pernikahan mereka nanti. Sekarang, kalau kita share foto kita, terus ada orang yang suka sama kamu ngerasa cemburu, terus dia gak suka sama aku, mungkin keselamatan aku bisa terancam, Di, atau hubungan kita bisa terancam. Saat orang cemburu liat foto-foto kita, mungkin orang itu bisa berupaya pisahin kita. Kamu gak mau, kan?” Matanya semakin hangat menatapku danaku hanya menggeleng.
“Diana, perlu kamu tau. Seseorang yang beneran bahagia, dia gak bakal pamerin kebahagiaannya. Kayak aku. Aku bahagia sama kamu, jadi biar aku yang simpan kenangan-kenangan itu buat kita sendiri. Dan aku gak mau pamerin foto-foto kita, share semua momen kita demi sederet komentar dan lain-lain. Karena aku gak peduli lagi dengan semua itu. Apa kata mereka pun aku gak peduli. Karena aku terlalu bahagia sama kamu sampai gak ada waktu buat mikirin tanggapan orang lain tentang kita,,” ujar Faiq lagi memelukku.
“Iya, aku hapus sekarang,” jawabku tak membalas pelukannya, tetapi langsung menghapus foto-foto di jejaring sosialku.
“Maafin aku, ya? Nanti kita langsung share surat undangan pernikahan kita,” katanya tetap membelai rambutku.
“Kapan?”
“Setelah ini kita kuliah terus kerja terus nikah,” katanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fatimah Di Akhir Zaman
EspiritualHighest Rank (08/18): #1 in #teenlove #2 in #teenromance Aku hanyalah gadis extrovert yang hidup di akhir zaman. Gaya hidup membuatku terbiasa dengan hingar bingar dunia. Lalu aku bertemu dia. Pria introvert sederhana yang taat beragama. Hingga cint...