6. Regina, Sahabat Nakal

5.5K 324 8
                                    

Kerlap-kerlip lampu bak menari mengikuti irama musik DJ yang dialunkan wanita berpakaian minim itu. Dia pun ikut menari sembari mengacungkan tangannya. Gadis-gadis hilir mudik dengan gelas-gelas anggurnya, lantas menghampiri pria-pria nakal di sana.
Aku duduk di ujung ruangan gemerlap ini. Tanpa pria nakal di sampingku atau gelas anggur atau bahkan sebatang rokok. Saat itu aku hanya duduk di sana hanya sekadar untuk bertemu dengan teman-teman. Aku hanya menyaksikan salah satu temanku yang tiba-tiba digodai pria nakal. Juga seorang pria nakal lain mendekatiku.
“Eh, Bro! Lu jangan deket-deket dia. Dia orang baik. Lu jangan macem-macem sama dia,” ujar temanku itu—Regina. Lantas, pria itu menjauhiku lagi. Begitulah Regina menjagaku di tempat ini.
“Jadi, Diana, kapan cowok lu pulang?” tanya Regina kemudian.
“Tahun depan, Gi,” sahutku.
“Oh. Tunggulah. Sebentar lagi dia pulang bawa kesetiaan. Gue percaya sama Faiq,” ujarnya, lalu menghisap rokok di tangan kirinya.
Meski Regina nakal, dia cukup baik dalam bertoleransi denganku yang tak mau minum apalagi didekati lelaki. Bahkan, soal Faiq pun dia tampak mendukung penuh hubungan kami. Beda dengan teman lain yang kebanyakan menjadi kompor saja.
*****
Satu tahun berlalu. Kini aku pun telah mengubah penampilanku. Aku telah mantap berhijab dengan berbagai ujian berhijab yang telah aku lewati. Terutama rasa panas yang menyelimuti seluruh tubuh atau terasa seperti kain dan jarum yang mencekik leherku. Juga rasa malu jika aku hendak clubbing malam-malam seperti biasanya.
Kini, Faiq akan ada di sini setelah kulewatimasa-masa sulit itu. Setahun nyaris tanpa komUnikasi karena waktu kesibukan dan waktu beraktivitas kami yang berbeda.
Terduduk sendiri di kursi tunggu bandara. Kakiku terayun, tubuhku bergoyang ke kiri dan ke kanan, dan bibirku tersenyum sembari bersenandung lagu cinta.
Aku lihat Faiq dari kejauhan sedang menyeret kopernya. Matanya menyapu seisi ruangan, mungkin sedang mencariku, lalu aku datang dari arah belakangnya.
“Faiq!” Aku meremas kedua lengan atasnya dari belakang, bermaksud mengejutkannya. Dia terkejut, lalu menoleh.
“Diana ... kamu ... cantik pake hijab,” ujarnya.
Aku memeluknya dan dia agak terlambat membalas. Waktu seakan terhenti saat itu. Alam sekan takzim menyaksikan.
“Temen-temen udah nunggu. Hari ini jadi, kan?” tanyaku mendongak begitu antusias.
“Jadi dong,” katanya.
Hari ini aku berencana liburan di pantai bersama teman-teman kampusku dan masing-masing kekasih mereka.
Singkat cerita, aku dan teman-teman kampus telah tiba di hotel. Regina yang mereservasi kamar. Hanya satu kamar!
“Regina, satu kamar lagi,” kataku.
“Apaan, sih? Please, ya, terserah gue. Duit gue habis kalau pesen dua kamar, Di,” sahutnya.
Memang acara liburan kali ini Regina yang menanggung untuk merayakan hari ulang tahunnya. Jadi, dia mentraktir kita liburan.
“Lu kira kita mau tidur barengan semua, Gi? Ogah gue,” elakku.
“Yaelah, Di. Kan ada Faiq. Faiq pasti jagain elu kalau ada yang macem-macemin elu. Lu gak percaya sama Faiq apa? Lagian, siapa juga yang mau macem-macemin elu? Cowok-cowok ini kan udah punya pasangannya masing-masing, gerayangin aja cewek mereka sendiri. Itu pun kalau mereka gak punya malu macem-macemin sahabat kita di depan kita,” jawab Regina lagi.
“Iya, Di. Kan ada Faiq. Faiq pasti jagain lulah,” tambah Monik.
Aku hanya menengok pada Faiq. Seolah wajahku bertanya “bagaimana?” Namun, manusia introver ini hanya bisa terdiam saja. Lama aku menatapnya dia baru memberikan jawaban dengan gelengan kecil di kepalanya.
“Gue ... bukannya gak percaya sama Faiq. Dia gak pernah macem-macem sama gue. Cuma ... ya gak enak ajalah kita tidur sekamar. Gue maunya perempuan sama laki-laki beda kamarnya,” tuturku.
“Terus ngapain ajak pacar masing-masing kalau gitu, Di?” tanya Alfian—kekasih Regina.
“Fian, kita nge-date rame-rame buat seru-seruan di pantai, ya. Bukan buat tidur bareng,” sahutku.
“Kok lu kayak gak percaya gitu, sih, sama Faiq? Lu takut sama dia. Kita aja ini saling percaya enjoy aja,” timpal Louis—pacar Monik.
“Kalau itu gaya pacaran kalian, ya, silakan. Gue gak akan ngelarang, tapi itu bukan gaya pacaran gue. Walaupun Faiq orang baik dan sayang banget sama gue, kalau kita tidur bareng, lu pikir Faiq bakal tenang? Faiq juga manusia normal yang bisa aja kegoda. Gue gak mau!” gerutuku. Faiq hanya tersenyum.
“Kalau gitu, lu pesen kamar sendirilah. Buat lu sendiri tapi. Biar kita tidur berlima. Faiq biar tidur mojok  aja sendiri nanti. Gue gak ada duit lagi,” ujar Regina.
“Oke,” sahutku.
“Mbak, reservasi dua kamar.” Aku memesan kamar. Satu untukku dan satu untuk Faiq.
“Di, kok dua kamar?” tanya Faiq.
“Apa? Kamu mau satu kamar buat kita berdua? Enak aja.”
“Gak gitulah. Cuma aku kan tidur sama yang lain.”
“Aku gak mau, ya, kamu liat Regina sama Monik lagi tidur,” sahutku. Faiq hanya tersenyum, lalu membelai kepalaku.
“Nanti aku ganti uangnya. Maaf, ya. Aku gak ada uang lebih sekarang,” katanya dan aku hanya tersenyum.
*****
Malam itu,debur ombak menyertai kami yang tengah asyik berkumpul mengelilingi api unggun. Louis dengan gitarnya mengiringi nyanyian merdu Monik. Regina dan Arfian hanya asyik saling bersandar. Aku sendiri asyik memakan jagung bakar,sementara Faiq asyik dengan mata kosongnya.
“Faiq?” Aku menggenggam tangannya dan menatap wajah yang terlihat sedih itu. Dia hanya menoleh.
“Ada apa?” tanyaku.
“Ibuku sakit, Di,” sahutnya.
“Sakit apa?”
“Aku belum tahu. Besok aku harus pulang, Di.”
Aku terdiam. Aku tak mau jauh dengan Faiq lagi, tapi ini tentang ibunya. Mana mungkin aku menghalanginya?
“Pulanglah. Ibu nunggu kamu,” ujarku.
“Lu ikut aja ke Padang, Di. Tengokin calon mertua lu,” kata Monik. Aku hanya menatap Faiq.
“Gak mungkin, Di. Orangtua kamu pasti marah,” ujar Faiq.
“Mereka percaya sama kamu. Mereka pasti ngizinin,” bujukku.
“Tapi ....” Kalimat Faiq tidak diteruskan karena melihat mataku yang berkaca-kaca. Dia hanya menghela napas, lalu berkata, “Oke.”

Fatimah Di Akhir Zaman Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang