5. Hujan

6K 366 0
                                        

Tak ada hentinya akal ini memutar ingatan tentang Faiq. Bak piringan kaset yang terus menerus diputar memainkan alunan irama cinta. Indah. Tentu. Namun, itu dahulu. Kenangan itu indah memang. Namun, bagiku kenangan itu cukup menyiksa batinku. Lagi dan lagi mengingatkanku bahwa Faiq tak lagi di sisiku. Sentuhan pada rambutku itu masih amat jelas terasa ketika Faiq hendak melangkah pergi.
“Semua kenangan itu untuk kita kenang dengan hati bahagia. Suatu hari kita akan ulangi kenangan manis itu atau bahkan kita buat kenangan baru yang lebih manis lagi. Jangan sedih lagi, ya?”  ujar Faiq kala itu.
Lantas, aku menengadah bertanya pada langit-langit ruangan ini. Laptop didepanku hanya memandangiku. Kulihat pantulan wajahku pada layar laptop itu. Kali ini sehelai pashmina menutupi rambutku.
“Lu pake kerudung, ya, sekarang? Gak salah? Tobat lu?” kata mereka.
“Faiq yang bilang. Katanya, biar gue gak digangguin orang iseng,” tuturku sebagai jawaban. 
“Haha .... Kalau lu pake kerudung karena Faiq, mending copot aja kerudung lu. Niat lu gak bener tuh. Karena cowok. Bukan karena Tuhan. Lu jadi diri lu aja,”  ujar mereka dengan nada ejekan.
Kiranya itu yang tak asing lagi di telinga ini. Niatku ini memang tidak benar. Belum. Siapa tahu kedepannya rasa malu mampu menjalar sampai ke hatiku. Hingga Tuhan menerima niat berhijabku.
Semua ini hanyalah tentang waktu. Orang bilang, cara kita betul-betul mengetahui sedalam apa seseorang menyayangi kita hanyalah melalui waktu. Bagaimanapun sakitnya, tiada pernah berubah, tiada pernah berkurang, tiada pernah bosan. Waktu. Mestilah bukan seminggu, dua minggu, atau sebulan, dua bulan, melainkan tahun ke tahun. Yang juga tentunya bukan setahun atau dua tahun.
Hari ini hujan menjebakku dalam kedai kopi. Secangkir moccachino hangat menemani hariku yang dingin. Keramaian orang-orang yang tertawa dan bercanda di meja seberang justru menambah ironi sepinya diri ini. Bosan menyeruak dalam dadaku. Aku menghela napas panjang.
“Aku harap aku bisa ngampus hari ini, bisikku sembari mengetuk-ngetuk meja. Mataku terpanah kepada layar monitor laptop. Sebenarnya, aku memang sedang memeriksa kembali slide untuk presentasi hari ini. Agaknya tugas itu akan tertunda tiba pada dosen. Ah! Aku kirim via e-mail sajalah. Namun, saat aku minimize ms. Power Point itu, Faiq tersenyum padaku lewat layar monitor laptop. Faiq. Sedang apa dia di sana? Hujan deras di luar sana membawaku terhayut dalam kenangan. Ah! Benar kata orang. Hujan itu 1% air dan 99% kenangan. Bak bulir-bulir magis yang menghujam tanah, ingatan-ingatan itu pun turun menghujami hati.
Sekeping kenangan yang terjadi beberapa bulan yang lalu, saat kami masih mengenyam pendidikan pada tempat yang kita sebut sekolah.
Siang itu, aku tampak begitu serius dengan tugas. Yup! Aku manusia lincah dan maniak tugas.
“AW!” Seruku ketika benda kecil seperti mencubit pipiku. Faiq tertawa. Rupanya dia melemparkan kertas kecil pada pipiku.
Aku teramat fokus dengan tugas-tugas kelasku, sampai aku tak sadar dengan kehadiran Faiq.
“Faiq... Jangan ganggu,” ujarku.
“Serius banget, sih!” jawabnya. Tak kuhiraukan sedetik pun. Walau dia terus menggodaiku, menggangguku, rupanya dia lupa bahwa aku adalah beruang Grizzly jika diganggu saat mengerjakan tugas. Lantas dia berhenti menggangguku, lalu mulai membaca novel kesukaannya—Sherlock Holmes. Melihatnya terdiam, aku merasa bersalah juga telah marah padanya. Lantas, aku meminta maaf darinya. Dan dia tersenyum lalu menganggukan kepalanya.
Itu hanya sepenggal kenangan di antara kenangan lainnya yang kini bermain di mataku. Andai dapat terulang lagi, aku tak kan peduli dengan tugasku lagi, lalu memarahi Faiq saat itu.
Hujan semakin kejam mempermainkan perasaanku. Rupanya hujan turun lebih dan lebih lebat lagi. Aku sendiri termasuk salah satu orang yang mungkin mengidap fobia hujan. Baru mendung saja hatiku sudah cemas. Kali ini, ada badai di luar sana. Badai! Air begitu deras turun diputar -putar oleh angin yang kencang. Sesuatu terbang, entah apa, mungkin atap gedung, terjatuh menimpa sebuah mobil yang sedang parkir. Terang saja semua orang menjerit, termasuk mobil itu sendiri. Petir saling sambar dan gemuruh yang bersahutanterasa memukuli dada hingga hati ini. Pepohonan tertunduk karena terdorong angin kencang. Tak sanggup aku melihat keluar jendela. Aku menunduk saja dan menangis diam-diam. Seperti saat itu.
“Hey...!” Suara Faiq begitu lembut menghampiriku. “Kenapa? Mmm?” Dia memandang wajahku. Aku hanya melihat keluar jendela.
Faiq hanya tersenyum, lalu menepuk pundakku. “Cuma hujan. Gak apa-apa. Jangan takut. Ada aku di sini. Ya?”
Ingatan itu pun kembali menari diatas kepalaku. Aku semakin tertunduk menangis.
“Faiq, pulanglah.”

Fatimah Di Akhir Zaman Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang