Lelaki yang tengah aku ragukan perasaannya, saat ini tengah menyeret koperku
"Sayang, kamu yakin gak papa? Kamu pucet lho." Ujar lelaki itu tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
Aku sungguh tak mengerti. Saat hanya ada kami berdua, aku sungguh bisa merasakan cintanya. Tapi jika tentang Kak Diana, aku pun melihat cinta yang sama untuknya.
"Aku gak papa, kak. Nanti juga baikan."
Hingga waktu terus berputar mengantarku masuk ke dalam ular besi yang akan membawaku ke destinasi budaya.
"Kamu gak papa?" Tanya tour leader saat menyadari keadaanku yang nampak kurang sehat.
*****
Waktu terus bergerak tak pernah mau menyerah melaju seperti diriku ini yang masih terjebak disini tanpa ada perubahan. Seiring waktu terus berlalu. Dua bulan sudah tak ada yang berubah. Kecuali tempat tinggal. Saat ini aku mengontrak rumah sendiri, Rava yang mencarikannya karena aku tak mau lagi menumpang di rumah Rava. Setiap hari pun Rava selalu ke rumah kecilku ini.
Bagaimanapun Faiq mengacuhkan aku. Tak pernah aku berhenti memohon padanya untuk jangan tinggalkan aku. Faiq tetap membisu. Menjelma bak patung kaku yang tak punya hati. Seorang yang amat berarti dalam hidupku. Meninggalkanku. Seorang yang bagiku lebih berharga dari dunia dan seisinya. Berlalu. Separuh dari diriku. Beranjak pergi. Membuatku kehilangan pula siapa diri ini.
Entah sedalam apa sebenarnya perasaanku ini. Namun bagaimana bisa Faiq melepaskan wanita yang amat mencintainya?
Air mataku masih menganak sungai disini. Tak henti berandai-andai aku dapat memerintahkan hati ini. Andai bisa, ingin sekali aku memerintahkan hati ini untuk berhenti mencintai lelaki itu.
Tak terasa. Akal itu terlalu penuh oleh nama Faiq. Hingga aku lupa akan hak tubuhku untuk diperhatikan.
"Di, lu kurus banget. Sumpah." ujar Rava disampingku. Aku tak bergeming. "Berapa berat badan lo sekarang?" ujarnya lagi.
"Empat lima." Jawabku.
"Ya ampun! Turun tujuh kilo?" Aku tak bergeming. Tak mau membahasnya.
"Mana Tamara? Kenapa dia jarang kesini lagi?" Tanyaku memecah hening.
"Gue udah putus sama dia." Sahut Rava singkat.
"Loh? Kenapa?"
"Gue males cerita soal dia. Perempuan kayak dia gak pantes gue pikirin lagi."
"Lu ngomong apa sih, Va? Ada apa emang?" Tanyaku kemudian dan Rava hanya menunjukan beberapa foto, Tamara dekat dengan lelaki lain. "Ah. Lu salah paham kali, Va?" Ujarku lagi. Sudut bibir Rava hanya tertarik sedikit.
Jika memang cinta itu ada, akankah Rava tetap meninggalkan Tamara yang telah dalam menyakitinya? Bukankah dengan cinta seseorang bisa memaafkan?
Jika memang cinta itu ada, bukankah ia akan tetap berteriak "aku tak kan pernah meninggalkan kamu!" dalam keadaan marah atau bahagianya?
Masih adakah seseorang yang menyatakan tak kan pergi meninggalkan kekasihnya dalam keadaan larut dalam amarahnya?
Jika ada. Sisakan satu untukku. Karena itulah cinta.
*****
"Jadi gimana, Tam? Kok bisa?"
"Jadi gini, kak. Ini kerjaan temen aku. Dia kirim-kirimin foto aku sama Tour Leader aku ke Kak Rava. Foto pertama waktu di kereta, TL aku cuma nanyain gimana keadaan aku? Ya sebagai TL dia profesional kan dengan pekerjaan dia? Dia perhatikan semua wisatawan. Nah, dia fotoin itu, kak. Terus dikirim ke Rava." Tutur Tamara di sebrang sana.
"Terus foto kedua itu? Keliatannya kamu jalan malem-malem sama TL kamu."
"Kalau foto itu, aku mau beli obat. Aku minta anter ke apotek. Soalnya aku gak tau kan daerah sana."
"Tuh kan. Salah faham. Rava ini."
"Iya, kak. Makanya. Tolong aku dong."
"Iya. Nanti aku coba jelasin ke Rava."
Jika memang cinta itu ada, bukankah harusnya cinta juga mau mendengarkan? Seseorang yang membangun tembok tinggi tak tertembus sebelum kekasihnya berbicara. Apa itu namanya? Seseorang yang tak jua membuka hatinya untuk menerima kekata dari kekasihnya. Apa pula itu namanya? Seseorang yang tetap hening, tak bergeming, acuh dan terus berjalan menjauh meski ia mendengar jeritan pedih kekasihnya. Apa juga itu namanya?
Hingga saat terhanyut dengan pikiran mengenai Faiq, tiba-tiba sebuah notifikasi muncul pada ponselku.
"Di, aku mohon jangan terlalu mikirin aku. Lebih baik kamu hapus semua foto aku di hp kamu. Lupain aku." Tutur Faiq.
Hancur. Semakin hancur. Cukup rasanya bagiku untuk menghinakan diri ini dihadapan lelaki itu dengan mengemis cintanya. Mengemis cinta pada sebuah patung beku tak berhati. Namun aku tetap tak percaya dengan apa yang aku baca ini.
Bagaimana mungkin Faiq bicara begini? Memang dia mau aku lupakan? Bukankah dia mencintai aku?
Langkah ku menghambur ke arah meja rias. Ku tatap lamat-lamat wajahku sendiri. Terbesit kebencian pada kain yang menutupi rambutku ini. Hijab. Gara-gara benda ini Faiq meninggalkanku!
Maka, aku tarik kain kerudung itu lalu melemparkannya sejauh mungkin.
Tuhan! Mengapa Kau memisahkanku dengan orang yang ku kasihi setelah aku mencoba menjadi hamba-Mu yang lebih baik? Tidakkah Kau senang dengan perubahanku ini?
Maka, jangan salahkan aku jika aku akan berubah lagi.
-----------------------------------------------------
Assalamu'alaikum para pembacaku. Maaf episode ini telat dipublish. Karena satu dan lain hal. 😭
Kali ini Diana mau apa ya?
Ikuti terus kisahnya ya? ;)Salam hangat,
Tasha
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatimah Di Akhir Zaman
EspiritualHighest Rank (08/18): #1 in #teenlove #2 in #teenromance Aku hanyalah gadis extrovert yang hidup di akhir zaman. Gaya hidup membuatku terbiasa dengan hingar bingar dunia. Lalu aku bertemu dia. Pria introvert sederhana yang taat beragama. Hingga cint...