13. Bercerita

4.4K 275 5
                                    

Hari ini Faiq ada di tengah-tengah Jakarta. Dia ada di dekatku. Namun entah di mana. Berkali-kali kucoba hubungi dia, nomornya tak dapat dihubungi. Dia pasti tengah sibuk dengan tumpukan kertas-kertas itu.
Lelah mulai menjalar dari dalam hatiku ke sekujur tubuh ini. Keraguan menyeruak memaksa masuk melalui syaraf-syarafku.
Dapatkah aku mempercayaimu, Faiq?
Maka, izinkanlah aku menumpahkan isi hatiku. Biarkan jemariku menari bebas di atas keyboard laptopku. Membuka blog pribadi.

------------------------------------------------------

www.diarydiana12.blogspot.com

Sunset di Tepi Pantai

Aku pernah mendengar sebaris sajak cinta. Dikatakan bahwa menunggu itu seindah menyaksikan sunset di tepi hari. Menyaksikan sang mentari jingga menggelayut manja di kaki langit. Sungguh indah memang. Masa singkat yang sangat berharga. Karena sekali ia bergerak, tak ada lagi sunset, yang tersisa hanya gelap dan debur ombak. Itu yang kini tengah aku alami. Masih setia berdiri di tepi pantai ini. Kerang pujaan entah sedang apa dengan mutiaranya di lautan sana. Ia menjanjikan akan kembali setelah mentari benar-benar terbenam.
Duhai, mengapa lama sekali rasanya hari ini berlalu dan berubah malam? Walau memang hanya tersisa gelap dan debur ombak. Namun masih ada cahaya purnama yang akan menerangi kita saat berdansa. Sunset itu memang indah. Masa singkat yang sangat berharga.
Namun, Sang Jingga rasanya tak henti menghujam hatiku.
Tak pernah aku berniat bercerita banyak kepada orang-orang. Namun dengan sendirinya orang bertanya kapan aku akan berhenti. Lantas aku menjawab, jika kerang itu kembali. Lalu mereka kembali bertanya kapan ia kembali. Maka aku menjawab, jika mentari itu telah lenyap di kaki langit. Hingga beberapa di antara mereka tercengang, atau bahkan menertawakan. Aku bodoh, pikir mereka.
"Jika selama itu. Kau yakin mampu menunggu? Banyak hal yang perlu kau pertimbangkan. Bukankah indah menatap sisa sunset bersama? Tidak bersama setelah sunset itu terlewatkan."
Aku hanya diam. Mengigit bibir. Membenarkan apa kata mereka. Namun, tak banyak hal yang bisa kulakukan. Tak banyak jalan yang bisa kupilih. Mungkin, walaupun aku tidak bisa menikmati sunset di sore hari bersama kerang kesayanganku, paling tidak aku masih bisa berdansa bersamanya di bawah sinar purnama. Aku menghela napas panjang. Karena kutahu selalu ada kata jatuh sebelum cinta, dan tak pernah ada jatuh yang rasanya tak menyakitkan.
Akankah aku setegar batu karang yang tak henti dihempas sang ombak? Akankah aku seganas ombak menerjang segala perih sendiri? Akankah aku sepasrah pasir yang tertiup angin kencang tak peduli ke mana alur takdir kan membawaku? Hingga mungkin aku yang terbawa ke dasar laut lalu terkubur air di sana bersama semua luka. Ataukah aku selemah daun jatuh yang tertiup angin? Ataukah bersembunyi ketakutan melawan seperti sang tukik? Hingga aku tak kuasa lagi berteriak di pantai lalu berlari ke dalam hutan. Mencari kepingan kebahagiaan sendiri walau aku pun tak tahu apa yang hendak aku cari.
Ingin kubuang segala ingatan ini. Ingin kutepis segala rasa ini. Ingin kulupakan sedang apa aku di sini. Aku mencobanya dengan beragam kesibukan. Mencoba berbicara dengan awan. Mencoba bernyanyi dengan angin. Mencoba membuat istana pasir. Atau lainnya. Percuma. Tak sedikitpun aku dapat lupa dan menepis segala rasa. Jika aku tinggal dan kerang itu kembali, aku akan sangat bahagia. Tapi jika ombak membelokannya, mungkin tak kan ada harapan bagiku untuk bersua dengan cinta.
Abu-abu. Warna kerang itu. Tak jelas hitam atau putihnya. Tapi aku percaya ia hanya putih yang terbalut hitamnya lumpur. Walau aku ragu dengan keyakinan itu. Sunset yang jingga. Akankah cocok dipadukan dengan abu-abu? Ataukah hitamnya malam yang akan melengkapi abu-abu? Sunset di tepi pantai. Masa berharga penuh sengsara menanti kembali putihnya si kerang abu-abu.

------------------------------------------------------

Faiq, adakah kamu membacanya?

*****

www.faiqberkicau.blogspot.com

Pemuda dan Bunganya

Berjalan. Yang ia tahu hanya berjalan. Entah ke mana sebenarnya ia melangkah. Bertahan. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain bertahan. Nikmati. Hanya itu yang ia lakukan. Entah sepahit atau semanis apapun itu.
Sesekali kakinya melemah. Langkahnya gontai. Lututnya bergetar. Tak kuasa menahan lelah mendera jiwanya. Ia terjatuh. Tersandung bebatuan. Ditemani angin yang membantunya kembali berdiri untuk bertahan.
Satu harapan yang ia gantungkan. Tak tinggi di atas langit. Tapi kuat terukir dalam di hatinya. Karena ia tahu, menggapai angan di atas langit hanya perlu terbang walau tak mudah. Tapi memetik bintang dalam hatilah yang dalamnya pun tak akan pernah ada yang mampu menerka.
Harapan. Ia sadar ia pernah menanam setangkai bunga indah di puncak sana. Yang ia janjikan akan memetiknya. Itu lah kiranya yang masih membuatnya terus berjalan. Terkadang orang yang tidak mengerti memakinya. Melukai hatinya.
"Mengapa tak kautunggu dan jaga bungamu di sana? Sirami dan kau rawat setiap hari. Bukan kau tinggal seperti ini."
Dengan mantap ia hanya menjawab, "Aku percaya tangan Tuhan bisa menjaga bunga itu lebih baik dariku. Bunga itu tetap milik-Nya. Biar Ia yang merawatnya. Dan semoga Ia berkenan melihat perjalananku hingga Ia sudi memberiku bunga itu."
Tak ingin sebenarnya ia membuat bunga itu lama menunggu dibawa pulang. Hanya jika ia ingin bunga itu tumbuh bermekaran secantik mungkin tentulah ia harus sabar menunggu waktunya tiba.
Beruntung jika bunga itu masih ada di sana. Walau segala ketakutan berkecamuk dalam dadanya. Takut jika bunga itu mati oleh raja siang. Atau jika bunga itu telah raib dipetik orang.
Ia terus berjalan. Janganlah terlalu lama jika kau takut ia mati. Jangan pula khawatir karena bunga itu tetap di sana selagi belum ada yang memetik. Bunga itu tak kan pergi dengan sendirinya.

------------------------------------------------------

Faiq. Dia membalas tulisanku.

*****

Faiq

Layar monitor laptop ini seolah termenung menatap wajahku. Otakku tak mampu berhenti untuk memikirkan gadis kesayanganku yang tengah terluka hatinya saat ini. Bisikan kabar buruk dari angin tentang kesetiaanku mampu menggoyahkan pertahanan komitmennya untuk menunggu. Rupanya Diana meragukanku.

Fatimah Di Akhir Zaman Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang