29. Mimpi

3.4K 214 4
                                    

Wanita mulia itu menatapku sembari tersenyum. Aku terdiam. Dia hanya mengulangi pertanyaannya.
"Diana apa kabar?"
Aku semakin kalut dengan perasaanku. Jika aku katakan padanya bahwa aku masih berhubungan dengan gadis itu, mungkin dia akan terluka.
"Dia... Baik, Mi. Mungkin." Sahutku.
"Mungkin?"
Aku hanya terdiam.
"Memang kamu tak suka mengobrol dengan dia lagi?"
Ibuku sungguh menjebakku. Dia tahu aku tak mampu berbohong. Tapi aku takut untuk jujur.
"Beberapa bulan yang lalu, waktu Faiq masih di Dubai, Faiq putuskan dia, Mi." Sahutku. Mencari jawaban lain yang mungkin tak kan membuatnya bersedih tanpa aku harus berbohong padanya.
"Kenapa?" Tananya lagi.
"Faiq takut, Mi. Faiq tahu Diana gadis baik. Dia bilang mimpinya adalah membuat bidadari cemburu. Faiq tak mau merusaknya dengan pacaran. Abi yang katakan kan? Obatnya jatuh cinta hanya menikah." Tuturku kemudian.
"Bagus, nak." Ujarnya sembari tersenyum, "Kamu mau menikahinya?" Tanyanya lagi. Dan aku hanya tertunduk, terdiam.
Aku tahu bicara soal pernikahan saat ini pasti akan sia-sia.
"Umi mendukung kamu, Nak." Ujarnya tiba-tiba dengan segaris senyuman di bibirnya. Aku tersenyum lebih lebar. "Kenapa kamu tak coba bicara lagi dengan Abimu?"
"Makasih, Mi. Nanti Faiq coba bicara."

*****

Semburat jingga yang tumpah di ujung cakrawala. Betapa indah sore ini. Dinikmati dari puncak bukit yang asri. Namun aku sendiri. Menghadap ke arah Barat. Dan mentari jingga menatapku.
Di bawah sana samar-samar kulihat wajah orang-orang yang seperti ketakutan. Entah apa yang sebenarnya mereka takutkan di sore yang indah ini.
"Diana! Lihatlah arlojimu!" Seru salah satu orang di antara orang yang ketakutan itu. Maka aku lirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.
Pukul enam. Lalu kenapa?
Aku lantas mengembalikan perhatianku pada mentari itu. Menyaksikannya turun berpamitan lalu bersembunyi malu-malu. Hingga ia hanya menyisakan gelap yang dihiasi taburan bintang-bintang di langit sana.
Aku harap Faiq di sini. Bersamaku. Menyaksikan pesona alam ini.
Kulirik lagi arlojiku yang jarumnya terus berputar. Waktu terus berlalu. Aku mulai merasakan keganjalan. Terasa langit semakin cerah dan mentari justru meninggi.
Bukankah seharusnya tiba waktu malam?
Di tengah keherananku ini, kudengar seseorang bicara padaku.
"Diana, waktumu tak lama lagi."
Kalimat itu bak menyambar hatiku. Jantungku berdegup kencang. Kusaksikan orang-orang berlarian, ketakutan, menjerit semampu mereka. Sementara mentari terus bergerak naik. Naik! Dari arah Barat!
"Allah! Telah tiba kah waktu kiamat?! Telah tertutupkah pintu taubat-Mu?!" Pekikku dengan mata terbelalak.
Sementara, hubunganku dengan Faiq belum diputuskan atau dihalalkan.
Tanah mulai bergoncang, bangunan runtuh, dan mentari semakik terik memanggang apa yang mampu disentuh cahayanya. Dalam pikiranku terus menerus meyakinkan bahwa saat ini seharusnya malam!
Hatiku dipenuhi rasa takut yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Mengingat banyak sekali dosa yang belum sempat aku taubati. Mengingat hubunganku dengan Illahi yang belum ku pebaiki. Mengingat hubunganku dengan Faiq yang belum sempat disudahi.
Dari ujung sana. Sebuah bola api raksasa nampak meluncur hendak menghantamku. Tanah masih bergetar hebat, tubuhku pun bergoncang tak kalah hebat.
Illahi, sudah terlambatkah untukku bertaubat?
~~~
"Hhhh!" Nafasku terengah-engah. Dengan jantung yang berdegup kencang dan tubuh yang bergetar dipenuhi peluh. "Mimpi?" Bisikku kemudian sembari mengelus keningku sendiri. Tubuhku masih bergetar persis seperti dalam mimpi. Berutung hanya itu yang kubawa dari mimpi.
Aku bermimpi matahari terbit dari Barat. Apakah ini teguran?
Tak terasa air mata telah berderaian di pipi ini. Aku terisak hebat dalam kamar kecilku. Sendirian.
Ya Rabb, maafkan aku.
Seketika ponselku berdering memberi notifikasi. Pesan masuk.
"Selamat pagi, Cantikku. :)"
Dari Faiq.
Ah. Ini semakin berat. Aku begitu takut. Aku begitu ingin melepaskan diriku dari hubungan haram ini. Namun aku masih belum mampu melepaskan Faiq.
"Pagi, Faiq." Sahutku. Tetap terisak.
"Kamu baru bangun ya? :)"
"Iya."
"Ada apa, Di?"
Rupanya lelaki ini telah amat mengenalku. Hanya lewat pesan balasanku, dia tahu sesuatu mengganggu ketentraman hatiku.
"Gapapa."
"Ada yang kamu pikirin? <:-)"
Mungkinkah aku harus memberi tahunya tentang mimpiku? Haruskah aku bercerita tentang perasaanku yang merasa ditegur oleh Yang Maha Pengasih?
"Aku gapapa, Faiq."
Tak mungkin aku ceritakan. Dia akan meninggalkanku.
"Kamu abis mimpi buruk ya? ^_^"
"Iya."
"Cuma mimpi. Jangan takut. <:-)"
Aku harap juga begitu. Itu hanya mimpi buruk yang tak perlu aku hiraukan.
Andai kamu tahu isi mimpiku, Faiq. Kamu juga pasti akan ketakutan. Dan pasti akan langsung meninggalkanku lagi.

*****

Sebuah sel yang sepi di batas kota ini. Istriku entah apa yang sedang dilakukannya di sel lain. Putra putriku bagaimana kabarnya? Raisa mungkin tak perlu terlalu aku cemaskan, dia telah berkeluarga. Ryan belum sempat ku cari tahu kabarnya. Sementara putri terakhirku, Diana, bagaimana kabarnya? Siapa yang menjaganya? Sudah makan belum? Mengingat putri manjaku yang satu itu sulit sekali untuk makan, membuatku khawatir dengan kesehatannya.
Bagaimana kamar Diana yang sekarang? Rumahnya? Dia terbiasa dengan hidup mewah. Apa dia bahagia sekarang?
"Pak Arfan?" Sapa salah satu sipir. "Putri bapak berkunjung." Lanjutnya lagi. Betapa bahagianya aku mendengar putri yang kurindukan datang berkunjung.
"Papa!" Seru gadis kecilku begitu melihat diri ini. Lantas ia memburu ke dalam pelukanku.
"Diana... Papa seneng ketemu kamu!" Ujarku sembari memeluknya. Senyumnya mengembang. "Kamu sudah makan siang?"
"Udah, Pa. Tadi Rava ajak makan siang." Sahut gadisku.
"Om? Apa kabar, Om?" Ujar pemuda ini sembari mencium punggung tanganku.
"Eh... Bocah ini rupanya. Masih suka main golf gak?" Tanyaku.
"Jarang, Om. Gak seru main gak sama Om Arfan." Senyumnya merekah.
"Ajak Diana main lah."
"Dia mana bisa main golf, Om. Pasti kalah terus dia." Candanya.
"Enak aja." Putriku memonyongkan bibirnya sembari mencubit lengan Rava. Dan mereka hanya tertawa bersama.
"Rava, Om titip Diana ya? Jagain anak saya ya?" Ujarku mulai bicara serius.
"You can count on me." Sahutnya sembari menepuk dadanya.
Aku belum bisa tenang meninggalkan gadis kecilku sendirian. Seperti Lucas yang bersedia menjaga Raisa. Semoga cinta sejatinya lekas datang menjemputnya.

*****

"Menikah?" Ayahku nampak terkejut dengan penuturanku.
"Abi yang katakan kan? Obatnya jatuh cinta hanya menikah. Faiq jatuh cinta, Abi."
Lelaki paruh baya ini menghela napas. Seolah kalimatku barusan memberatkan paru-parunya.
"Dengan Diana?"
"Iya, Abi.""
Sekali lagi dia menghela napasnya.
"Tapi dia terbiasa hidup mewah kan, nak? Apa yang bisa kita beri pada dia nanti?"
Jika aku membujuk restunya sekarang mungkin usahaku akan sia-sia. Maka aku diam dulu saja.
"Kamu selesaikan saja dulu kuliahmu. Setelah itu kita bicara lagi." Ujarnya lagi dan berlalu.
Ya Rahim, tolonglah aku. Bebaskan aku dari hubungan haram ini tanpa harus melukainya atau meninggalkannya.

Fatimah Di Akhir Zaman Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang