27. Cerita di Jogja

3.4K 191 0
                                    

Suara ulat besi yang mengular ini membawa kami jauh dari Jakarta. Yogyakarta. Dimana kami akan berlibur. Tak aku tak percaya, Faiq ada bersamaku. Disini. Di sampingku.

Awan seperti berarak megikuti kami. Gunung-gunung yang menjulang tinggi telah kami lewati. Seperti pepohonan pun yang menari-nari di setiap sisi jalan kereta ini.

"Stasiun selanjutnya Kutoarjo. Faiq, berapa stasiun lagi?" Tanyaku begitu semangat. Yang sejak keberangkatan tak henti menghitung berapa banyak stasiun yang harus dilewati.

"Setelah Kutoarjo stasiun Tugu, manis." Sahut Faiq dengan senyum manisnya.

"Lalu kita sampai!" Teriakku setengah berbisik. Dia hanya tersenyum sembari menggenggam kedua tanganku.

Hinggal ular besi itu mampu berhenti dengan sempurna di stasiun tugu. Tak ku sangkah. Sungguh sulit ku percaya. Ku kira hari ini tak kan pernah datang. Mengingat telah jauh Faiq berlari pergi saat itu.

Namun, mungkin ia juga akan pergi lagi.

Tanpa banyak mampir sana sini. Setiba di stasiun, kami semua menuju tempat rental sepeda motor. Sengaja tak rental mobil. Sensasi perjalanan dengan motor rasanya lebih menyenangkan.

Pikirku lantas melayang ke masa-masa putih biru itu.

"Diana! Apa kamu biasa bawa motor secepet ini?!" Teriak Faiq di belakangku.

"Ya! Kenapa? Kamu takut?!" Sahutku yang tengah memacu motor Kak Ryan hingga 80 km/jam karena jalanan pun sedang sepi disini.

"Ini bahaya!" Serunya lagi.

"Hahaha." Tawaku lepas menutup protesnya.

Saat ini. Gunung Kidul Regency. Bak menyaksikan sebuah kisah masa lalu dalam mataku.

Menyusuri sebuah jalan yang berkelok. Melintasi kebun dan pepohonan yang melambai sepanjang jalan. Melewati gunung.

Faiq, di depanku. Sedang mengemudikan motor. Kedua mataku terpejam.

Motorku tiba di tepi jalan. Ku balikkan tubuhku. Mendapati wajah shock Faiq yang tak bisa disembunyikannya.

"Hahaha! Kamu kenapa sih, Faiq?"

Dia hanya terdiam. Menatapku dengan sebal.

"Kamu pernah bawa motor sebelumnya?" Tanyaku saat itu.

"Belum." Sahutnya.

"Kenapa?"

"Ya. Aku belum bisa."

"Belajar lah."

"Ya. Nanti aku belajar."

Dan kini, lelaki yang dahulu amat ketakutan diboncengiku, kini tengah membawaku dengan motornya.

"Faiq! Jangan ngebut-ngebut!" Seruku saat dirasa dia mulai memacu motornya dengan kencang.

"Enggak. Emang aku ngebut ya?"

"Iya. Kamu ngebut."

Tangan kirinya menggenggam tangan kiriku. Menegaskan aku miliknya.

Tapi, akan tahan berapa lama, Faiq?

Samar-sama suara debur ombak terdengar dengan aroma asinnya. Jalan Pantai Selatan telah jauh diselusuri. Hingga tak lama lagi tiba hingga destinasi kami, Pantai Ngrumput, Yogyakarta.

Sebuah pantai kecil yang sepi. Seperti pulau pribadi. Pantai berpasir putih yang lembut.

Di atas pasir lembut itu. Semua bahu membahu membangun tenda-tenda. Debur ombak memukuli pantai. Semburat jingga tumpah di cakrawala. Aroma asin dan suara khas pantai akan melekat erat dalam ingatanku. Waktu terus berlalu. Menyisakan gelap dan debur ombak. Dihiasi taburan bintang dan bulan yang tergantung di atas hamparan hitam luas tak tersaput awan.

"Aku ngantuk, kak. Aku mau tidur ya?" Ujar salah satu adik tingkatku, meninggalkanku berdua dengan Faiq dan gitarnya. Lelaki itu memetik gitarnya sembari bernyanyi,

And when there's gray in our hair and we've not much to do
I want to spend the rest of my days with you

Dia menatapku sembari tersenyum,

Oh don't you know it?

Senyumnya makin mengembang,

You are the one.

Lelaki itu semakin dalam menatapku. Kedua telapak tangannya menyentuh kedua pipiku. Wajahnya pun terus mendekat. Nafasnya beradu dengan nafasku. Lalu sebuah kecupan mendarat di keningku begitu hangat selama beberapa detik. Lantas ia membenamkan wajahku dalam dadanya. Dalam pelukannya.

Apa aku bahagia?

Tentu. Namun entah apa. Pelukannya dan kecupannya membuka luka lama.

Sampai kapan, Faiq?

Mungkin tak akan bertahan lama. Mungkin tak akan lama lagi Faiq meninggalkanku lagi. Lebih dari itu,

Ya Allah. Bagaimana perasaan-Mu saat ini? Maafkan aku.

Ingin rasanya status ini ku putarkan. Agar aku dapat terus bersama Faiq, begini. Tanpa harus menyakiti Sang Maha Baik.

"Manis?" Ujar Faiq menyadari aku yang terisak. "Kenapa kamu nangis?" Lanjutnya menarik daguku memaksa kedua bola mataku untuk menatapnya.

Dalam hatiku menjerit,

Faiq, ini salah kan?

"Hei? Ada apa?" Tanya lelaki itu.

"Bakal tahan berapa lama kamu kayak gini, Faiq? Sebelum kamu ninggalin aku lagi." Tanyaku.

"Aku gak akan ninggalin kamu lagi, Di." Jawabnya. Aku hanya diam hingga kalimatnya terngiang, "Aku janji."

Fatimah Di Akhir Zaman Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang