Samudra awan indah terhampar luas terlihat dari atas sinidan dihiasi mega jingga yang tumpah di ujung cakrawala sana. Ingin sekali rasanya aku melompat keluar, lalu bermain di atasnya. Andai aku tak kan terjatuh. Aku begitu senang dengan perjalanan ini. Bersama Faiq. Walau Mama dan Papa begitu percaya kepada Faiq, tetapi tetap saja sebagai anak gadis, aku harus didampingi kakakku—Kak Ryan. Dan aku yakin, Faiq tak kan mengecewakan mereka.
Faiq masih asyik melamun. Mendung jelas tergantung di wajahnya. Matanya menatap begitu kosong. Aku tahu, dia pasti sedang mengkhwatirkan ibunya.
“Faiq.” Aku menggenggam tangannya. Dia tak menggubris sedikit pun.
“Faiq, Ibu baik-baik aja,” kataku mencoba menenangknnya. Dia hanya menoleh, lalu mengulum senyumnya.
“Faiq, jangan sedih. Sebentar lagi kamu ketemu ayah-ibu sama adik-adik kamu. Iya, kan? Bayangin adik kamu udah sebesar apa dari awal kamu merantau ke Jakarta terus ke Dubai. Kamu gak habisin waktu kamu sama adik-adik kamu. Mereka pasti udah beda.” hiburku. Faiq tersenyum, lalu memandang boneka beruang menggemaskan ditangannya. Sepertinya berhasil, wajah Faiq berubah. Bak ada pelangi setelah mendung di matanya.
“Diana ...,” ujar Faiq.
“Mmm?”
“Rumahku kecil sederhana. Makanan seadanya. Tempat tidur di sana gak nyaman. Di sana gak ada AC juga.” Wajahnya kembali mendung.
“Kamu kira aku peduli? Yang terpenting ada kamu. Kalau pun rumah kamu sederhana, itu kan rumah orangtua kamu. Aku juga sama kayak kamu. Yang kamu liat mewah di rumah aku, itu kan rumah Mama sama Papa aku. Aku gak punya apa-apa.”
Faiq hanya tersenyum.
“Ayah kamu kerja apa, Faiq?” tanyaku.
“Ayah aku belum kerja lagi, Di. Terakhir dia kerja jadi kuli kasar di Masjidil Haram. Kontraknya udah habis, sekarang masih nyari lagi,” jawabnya.
“Berapa usianya?”
“Empat puluhan.”
“Wah ... masih muda, dong! Pasti Ayah dapet kerjaan sebentar lagi. Jangan khawatir!” Semoga saja dengan kalimatku itu Faiq tak berhenti berharap.
“Faiq harus bener-bener nih kuliahnya. Biar bisa bantuin ayahnya. Cepet nikahin Diana juga, ya?” ujar Kak Ryan. Lagi-lagi Faiq hanya mengulum senyumnya.
Pramugari yang cantik dan anggun menghimbau penumpang memasang sabuknya. Karena tak lama lagi pesawat akan tiba menyentuh tanah Padang. Pesawat itu terasa bergoncang dan kami telah tiba memijakkan kaki di Padang. Waktu menunjukkan pukul 10 pagi waktu setempat, kami langsung saja menuju kediaman Faiq.
Orang-orang Minangkabau mengenakan hijab yang berbeda denganku. Jika aku mengenakan hijab yang begitu stylish mengikuti era modern, mereka justru mengenakan hijab panjang seperti mukena. Rumah adat masih berdiri gagah menyambutku. Sedikit lagi berjalan.
Dua bocah cilik dengan perbedaan usia sekitar satu tahun sedang berlarian di depan rumah seseorang. Seorang gadis remaja nan cantik sedang membaca buku. Dengan hijab yang juga panjang menjuntai menutupi tubuhnya. Satu lagi, seorang balita berambut pendek dikucir sedang bermain bersama sebuah boneka yang terlihat sudah agak koyak.
Faiq menghampiri gadis kecil itu, lalu berlutut di depannya. Matanya menatap gadis kecil itu penuh kasih sayang. Menyadari kehadiran Faiq, gadis kecil itu mendongak menatap wajah Faiq.
Wajahnya tertulis jelas bak bertanya, “Kakak siapa?”
Faiq hanya mengambil boneka gadis manis itu, lalu menyerahkan boneka baru di tangannya. Gadis kecil itu menerimanya. Kemudian, Faiq membelai rambutnya, lalu berbisik, “Adiak bayi ambo sudah besar.”
Adik? Rupanya ...
“Uda! Uda Faiq!” seru gadis remaja dengan bukunya tadi. Faiq menoleh, lalu tersenyum.
“Assalamu’alaikum.” Bocah-bocah itu berlarian memeluk Faiq.
Ini. Rumah Faiq.
Rindu rasanya Faiq pada adik-adiknya ini. Bagaimana tidak? Empat tahun sudah Faiq tak pulang ke rumahnya. Rasa yang mungkin membuncah dalam dadanya, yang kerap menyeruak menyiksa batinnya, kini pasti mencairlah sudah. Maka, aku mulai mengerti jika kau ingin belajar mengenai arti rindu, maka merantaulah.
“Abi! Abi! Uda Faiq pulang, Bi!” seru adik tertua Faiq.
Seorang pria paruh baya keluar dari rumahnya. “Masya Allah!” seru pria itu, lalu berlari memeluk Faiq.
Keduanya larut dalam pelukan penuh kerinduan. Diikuti oleh keempat adik Faiq yang turut memeluknya. Lama sekali. Aku hanya terdiam menyaksikan keluarga ini. Aku pun terhanyut ke dalamnya.
“Oh, iya. Abbi, kenalkan. Ini teman Faiq dari Jakarta. Kak Ryan. Ini adiknya, Diana,” ujar Faiq.
“Assalamu’alaikum, Om,” ujar Kak Ryan mencium tangan ayahnya Faiq. Dia pun tersenyum menatap wajah Kak Ryan dan menjawab, “Wa’alaikumussalam.”
Aku mengikuti Kak Ryan dengan mencium tangannya. Namun, pria itu tak memandang wajahku. Hanya tersenyum sedikit.
Aku heran di sana. Mengapa Faiq mengenalkan aku sebagai adik dari temannya. Dan, sejak kapan Kak Ryan menjadi temannya?
“Umi di mana, Bi?” Tanya Faiq.
“Di dalam. Masuklah,” sahut ayahnya Faiq. Faiq menoleh ke arahku, lalu menganggukkan kepala dan mempersilakan aku memasuki rumah sederhananya. Aku dan Kak Ryan lantas mengekorinya saja.
Di sanalah dia. Seorang wanita paruh baya tengah terkulai lemas tiada kekuatan di atas katilnya. Faiq lantas prihatin, lalu berlari kearahnyauntuk memburu pelukan wanita mulia itu. Lama sekali Faiq memeluknya. Aku dan Kak Ryan turut prihatin melihatnya.
Setelah itu, Faiq memperkenalkan aku dan kakakku pada ibunya. Dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Bahwa Kak Ryan adalah temannya dan aku hanya adiknya Kak Ryan.
“Tante sakit apa?” tanyaku. Namun, yang menjawab adalah ayahnya Faiq, Abbi Rahman.
“Dokter bilang talasemia.”
Aku tertegun. Kak Ryan bertanya padaku, “Kamu tau penyakit itu, Di?”
“Itu penyakit kekurangan sel darah merah atau anemia akut dan harus transfusi darah untuk bertahan hidup,” jelasku.
“Dokter tidak bilang begitu. Umi Faiq tak perlu transfusi darah,” sanggah Abbi Rahman.
“Dokter sebutin jenis talasemia apa, Om? Talasemia alfa minor?” tanyaku.
“Iya,” sahutnya.
“Kalau gitu, gak usah khawatir. Itu level talasemia paling rendah. Gak berbahaya, cuma suka lemas-lemas aja. Bisa diatasi dengan makan makanan bergizi atau obat penambah darah,” hiburku.
Semua hanya diam. Hening.
Ada apa dengan keluarga ini? Semuanya hanya berbicara sekenanya saja. Seperti Faiq yang awal aku kenal. Sekarang, aku tau kenapa Faiq begitu introver. Karena buah jatuh tak pernah jauh dari pohonnya.
Rumah ini begitu sederhana. Jauh dari kata mewah. Ya. Begitu berbanding terbalik dengan kehidupanku yang penuh dengan hingar-bingar materi dan keduniaan. Namun, rumah kecil sederhana ini penuh dengan kehangatan dan begitu nyaman.
Namanya Qisthi Az-Zahra. Adik tertua Faiq. Menurutku, dia satu satunya anak yang berbeda. Gadis ini lebih sama sepertiku. Dia mudah bergaul dan suka bercerita. Gadis yang menyenangkan.
“Uni Na, tidur di kamar Zahra, ya? Biar Uda Ryan sama Uda Faiq saja,” ajak gadis itu. Aku mengangguk saja.
Dalam kamarnya, aku bergegas tidur. Aku mengenakan daster tidurku. Dengan rambut dibiarkan terurai dan poni yang tertata rapi.
“Uni Na ada keturunan dari Cina, ya?” tanya gadis itu.
“Enggak kok. Tapi, aku gak tau kenapa muka aku kayak orang Cina gini,” sahutku.
“Orangtua ada yang Chinese, ya?”
“Papa, sih. Kayaknya aku mirip papaku.”
“Oh ... Uni Na sekarang kuliah di mana?”
“Aku kuliah di UI.”
“Oh ... jurusan?”
“Fakultas Kedokteran.”
“Wah ... calon dokter, ya?”
“Aamiin ....”
“Aku calon punya rumah sakitnya. Haha.”
“Haha. Aamiin. Kamu sekolah kelas berapa, Zahra?”
“Kelas tiga SMA.”
“Asik, bentar lagi nikah, ya?”
“Ih ... Uniii... Lulus duluuuu ....” Zahra merengek manja. Aku hanya tertawa.
“Uni Na tau tak? Zahra selalu berharap punya kakak perempuan,” ujar Zahra.
“Oh, iya?”
“Iya, tapi Zahra kan punya Uda Faiq. Kalau Uda sudah menikah, Zahra pasti punya kakak perempuan. Zahra juga tau, itu pasti Uni Na, kan?” katanya. Aku tertegun dengan wajah memerah sudah.
“Uni Na pacar Uda Faiq, kan? Cie ciee,” katanya lagi menggodaku. Aku hanya tersenyum dan tertunduk.
“Kapan kalian menikah?” godanya lagi sembari menyikutku.
“Ih! Anak kecil. Apa, sih? Doain aja secepatnya.” Aku semakin salah tingkah dibuatnya. Dia hanya tertawa-tawa kecil.
“Emang, kamu tau dari mana? Uda Faiq kan kenalin aku sebagai adiknya Uda Ryan?” Tanyaku.
“Karena Zahra punya kertas curahan hati Uda Faiq enam tahun yang lalu, Uni. Dan Uda Faiq sering bercerita tentang Uni Na kalau telepon ke sini.”
“Iya? Kertas apa? Coba lihat,” kataku antusias. Lantas, Zahra melangkah menuju lemarinya. Di sanalah kertas itu.
Gadis unik. Kaucerewet. Kau pengganggu. Aku tak pernah menyukai keramaian. Aku tak pernah menyukai diusili orang. Tapi, kau datang tiba-tiba memberi keriuhan. Aku tak suka berbicara, tapi kau selalu memaksaku berbicara. Gadis cerewet, kau mengubah hidupku. Aku diganggu olehmu, itu sebuah masalah. Tapi, aku suka bermasalah denganmu karena sekarang justru hidupku lain tanpamu. Aku cinta kamu, Diana.
Jadi, di antara kita adalah Faiq yang lebih dulu jatuh cinta?

KAMU SEDANG MEMBACA
Fatimah Di Akhir Zaman
SpiritualHighest Rank (08/18): #1 in #teenlove #2 in #teenromance Aku hanyalah gadis extrovert yang hidup di akhir zaman. Gaya hidup membuatku terbiasa dengan hingar bingar dunia. Lalu aku bertemu dia. Pria introvert sederhana yang taat beragama. Hingga cint...