30. Cinta Dalam Diam

3.6K 204 3
                                    

Angin lembut menyelimuti tubuh ringkih yang terkulai lemah di atas tempat tidurnya. Istriku. Humairahku. Bidadariku. Tegolek lemah tak berdaya karena kepayahanku.
Aku sungguh malu membuatmu menanggung derita dalam rumah kecilku.
“Albi...” Begitulah dia memanggilku. Yang berarti kekasihku. Tak pernah dia memanggil namaku. Lembut sekali panggilannya. “Faiq kita sudah besar ya?” Ujarnya lagi. Aku hanya mengangguk sembari tersenyum simpul. “Apa mungkin sebentar lagi dia menikah, Bi?” Kalimatnya sedikit membuatku tersentak. Hening sesaat hingga aku selesai mencari jawaban.
“Entahlah, Mi. Dia memang sudah bilang dia jatuh cinta.” Sahutku agak berat.
“Lalu kenapa? Albiku tak suka?” Senyumnya mengembang manis.
“Abi senang, Mi. Abi hanya takut.” Wajahku tertunduk.
"Kenapa Abbi takut?" Kedua matanya teduh menatapku.
“Faiq masih kuliah, Mi. Dia belum punya apa-apa untuk menikah. Apa yang bisa Faiq berikan untuk istrinya nanti? Apalagi Faiq jatuh cinta pada Diana. Gadis kesayangan di istananya.” Sesuatu membebani paru-paruku. Berat sekali. Sedangkan kekasihku masih menatapku dengan lembut, mendengarkan setiap kata yang terucap dari bibirku. Maka, aku balik menatapnya. Tak tega melihat tubuhnya yang hanya tinggal kulit dan tulang. Yang tak mampu aku bawa kepada para tabib atau dokter karena tak punya uang.
Sungguh, aku merasa gagal menjadi seorang suami.
“Abbi takut Faiq seperti Abi jika dia menikah secepat yang dia mau.” Tuturku lagi. Kekasihku tetap memandangku setia mendengarkan setiap kataku. “Abi takut Faiq membuat anak orang lain menanggung derita dalam rumahnya.” Ujarku lagi sembari menghela napas.
Wanita cantik ini tetap menatapku. Meski kalimatku telah terhenti. Dia seperti tahu aku belum selesai berbicara dan dia tak mau menyela kekataku.
“Abi malu, Ummi banyak menanggung beban di rumah Abi.” Tuturku sembari menatap mata indahnya yang berkaca-kaca. Dan dia mulai membuka mulutnya.
“Menjadi istrimu, adalah hal yang paling Ummi banggakan.”
Sungguh sejuk terasa kalimatnya. Beruntung sekali aku memiliki istri seperti dia. Tapi Diana? Mampukah dia menerima Faiq seperti istriku yang begitu menerimaku?

*****

Diceritakan suatu kisah yang cukup masyhur di jazirah Arab. Di zaman ketika utusan Allah yang paling akhir hadir mencegah kemungkaran. Seorang bocah lelaki yang tak punya apa-apa dalam asuhan lelaki mulia, sang kekasih Yang Maha Pengasih, Muhammad SAW.
Bocah itu, Ali, senang bermain dengan putri sang utusan Rabbnya, Fatimah Az-Zahra.
Hingga tiba masanya mereka tumbuh dewasa dan mulai mengenal akan batasan-batasan interaksi dengan lawan jenis.
Ali senantiasa menjauh dari Fatimah atau gadis manapun. Lelaki ini tumbuh di atas hamparan ukhuwah dan di bawah naungan payung tauhid. Amat terjaga perilaku dan hatinya. Keterjagaannya yang membuahkan sifat malu melekat pada pribadinya yang selalu memalingkan wajahnya, pandangannya dari yang selain haknya.
Begitupun dengan sang putri. Fatimah. Juga tumbuh dalam hamparan ukhuwah dan dinaungi payung tauhid. Pun rasa malunya begitu besar melekat pada pribadinya. Amat terjaga hati dan perilakunya. Seorang bunga idaman para lelaki beriman. Pandangannya pun amat terjaga. Tak pernah mau melihat yang bukan haknya. Tak suka juga jika dilihat oleh selain haknya. Gadis yang amat terpelihara senantiasa menyembunyikan pesonanya. Tersembunyi dan berharga, seperti mutiara.
Ali jatuh hati padanya. Ali berniat meminangnya. Menikahinya. Memproklamasikan cintanya pada dunia.
Namun terdengar kabar lelaki lembut yang tak diragukan lagi keimanan dan ketakwaannya, Abu Bakar Ash-Shiddiq, meminang putri mulia itu. Siapa yang tak kenal dengan lelaki itu? Pastilah Rasulallah menerimanya.
Siapalah aku jika dibandingkan dengannya?
Batin Ali kala itu.
Hingga tiba kabar bahwa Rasulallah menolak Abu Bakar untuk menjadi menantunya. Bahagia namun tercampur takut dalam hati Ali. Bahagia karena kesempatan masih terbuka. Namun takut karena,
Lelaki sekelas Abu Bakar saja ditolaknya. Bagaimana dengan aku?
Batin Ali kala itu.
Pun Umar Bin Khattab. Lelaki tangguh yang terkenal ketegasannya. Tak diragukan keimanannya. Kuat fisiknya pasti mampu menjaga Fatimah dengan jiwa raganya. Mencoba utuk meminang sang putri.
Tak mungkin Rasulullah menolaknya. Ah, siapalah aku berani beraninya mencintai Fatimah?
Maka lelaki itu mengurungkan niatnya untuk mempersunting sang gadis impiannya. Bahkan mengubur cintanya dalam dalam dan tak mau memeliharanya lagi. Pupus sudah harapannya.
Hingga tiba pula kabar Umar yang ditolak sang kekasih Rabb semesta alam.
Rabbi, lalu lelaki seperti apa yang pantas menjadi suami Fatimah jika Abu Bakar dan Umar pun ditokaknya?
Dengan segenap hati Ali meminta sang putri untuk menjadi istrinya. Dan dia pun telah siap dengan nasib yang sama seperti Abu Bakar dan Umar.
Namun ternyata,
“Ahlan wa sahlan.” Senyum lelaki mulia itu mendengar penuturan pemuda yang jatuh cinta pada putrinya. “Kau tahu? Allah telah menikahkan kalian di langit.”
“ALLAHU AKBAR!” Seru Ali begitu bahagia mendengar jawaban Rasulullah.
Lantas keduanya menikah.
“Aku pun telah lama mencintaimu. Dan aku tak menyangka kau pun sama.” Tutur Fatimah yang telah resmi menjadi istri sah Ali. Lantas keduanya larut dalam tangisan kebahagiaan.

*****

“Jadi gitu, Cantik. Hebat ya mereka?” Ujar lelaki itu di seberang sana. Aku hanya tersenyum.
Saat ini Faiq tengah menceritakan kisah cinta seorang gadis, putri Rasulullah dengan kekasihnya, Ali. Fatimah. Keduanya saling mencintai dalam diam. Bahkan setan pun tak tahu perasaan keduanya. Hingga Yang Maha Pengasih menyatukan keduanya.
Ke mana arah pembicaraan ini, Faiq?
:Aku harap kamu bisa belajar dari Fatimah, Di.” Ujarnya lagi. Semakin jelas.
“Kalau gitu doain aku.” Sahutku begitu datar. Mengingat aku pun sebenarnya tak bisa tenang setelah mimpi itu. Jika itu benar terjadi, jika benar waktuku tak lama lagi, tapi hubungan ini masih aku jalani, pastilah aku akan merugi akan banyak hal yang akan kusesali.
“Hhhh....” Aku mendengarnya menghela napas panjang di sebrang sana.
“Kenapa, Faiq?” Tanyaku.
“Aku bingung, Di.” Sahutnya.
“Ada apa?”
“Beasiswaku belum juga turun. Uangku udah habis.”
Terang saja hatiku langsung tergerak untuk memberinya uang bulananku. Tak tega aku padanya.
“Aku ada uang, Iq. Kak Ryan kemarin transfer. Kamu pinjem punya aku dulu ya? Mau?”
“Jangan lah, Di!”
“Faiiiq... Please…”
Hening.
“Ok. Nanti aku ganti. Secepatnya. Kalau beasiswaku udah cair. Ya?”
“Kamu bisa ganti kapan aja kalo ada.”
“Makasih, sayang.”
Tiba-tiba,
“Diana! Diana!” Suara Rava memanggilku di luar rumah.
“Apa sih, Rava?” Sahutku.
“Ini. Surat kelulusan lu buat beasiswa kuliah di Singapura. Tadi gua ketemu Pak Pos di depan.” Tuturnya.
Lantas aku membuka isi surat itu. Dan aku dinyatakan
LULUS.

Fatimah Di Akhir Zaman Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang