26. Pilihan

3.6K 199 0
                                    

Hati ini tak pernah berubah. Benci namun bahagia. Bahagia. Mendengar lelaki itu suaranya tergetar. Tercekat. Bahkan seperti menangis. Meminta maaf.

Lelaki itu terus membujukku untuk membukakan pintu. Dengan suaranya yang bergetar.

Maka aku hatiku terketuk untuk membukanya. Lelaki yang semula menyandarkan keningnya pada pintu ini menatapku yang tertunduk berderaian air mata. Rupanya dia pun sama.

Faiq memelukku begitu erat. Lengan kirinya melingkar di tubuhku. Tangannya yang lain diletakkannya pada belakang kepalaku. Lantas membelai rambutku. Sembari terisak.

"Maafin aku, Di. Aku terlalu keras sama kamu. Aku bahkan gak tau segala hal yang udah menimpa kamu. Aku gak mau ninggalin kamu lagi."

Maka aku membalas pelukannya.

Tahukah kamu, Faiq? Tak masalah bagiku mau sedalam apa kamu menyakitiku. Aku suka semua kesalahanmu. Dengan itu kamu akan meminta maaf. Dan aku bahagia dengan permintaan maafmu. Dan aku akan selalu memaafkanmu.

Lelaki itu melepaskan pelukannya. Lalu meletakkan kedua tangannya pada bahuku lantas menatapku.

"Tapi kenapa kamu lepas hijab kamu, Di?" Tanyanya. Aku menjawab walau agak terlambat.

"Kenapa? Karena hijab ini kamu ninggalin aku, kan? Karena aku belajar jadi hamba yang lebih baik kamu pergi, kan?"

"Di, kenapa kamu mikirnya kayak gitu?"

"Hur'ain juga. Dimana orang-orang saleh itu buat kuatin aku? Gak ada orang saleh yang nemenin aku. Justru Regina yang nyambut aku terus bikin aku nyaman." Suaraku bergetar lagi.

"Di, sekarang ada aku. Kamu bisa terus jadi hamba yang baik. Aku gak akan ninggalin kamu lagi." Ujarnya sembari memelukku lagi.

Tidakkah ini konyol? Bagaimana mungkin aku bisa menjadi hamba yang baik jika aku masih menduakan cintaku untuk Sang Maha Cinta dengan Faiq?

Entah kebetulan macam apa. Rupanya Faiq membawa sehelai pashmina dalam kopernya. Mungkin untuk adiknya.

Faiq memakaikanku pashmina itu. Walau asal.

"Pakai lagi hijabnya ya? Jadilah cokelat yang terjaga. Inget?" Ujarnya kemudian.

Sesungguhnya akupun harus terjaga. Termasuk darimu, Faiq.

*****

Orang-orang berlalu lalang dengan tujuannya. Entah menuju kelasnya entah kemana. Sebagian dari mereka yang bukan teman menatapku. Mungkin aneh melihatku memakai hijab lagi setelah kemarin ku lepas.

"Hei hei hei! Gak salah liat gue? Kemarin gue liat lu pakai hotpants." Ujar Rico, salah satu teman kampusku. Sembari mengajakku tos.

"Kagak lah!" Sahutku sembari menerima ajakan tosnya.

"Long time no see ya?" sapa Lala.

Where you've been?" Sapa Reza.

Entahlah. Mahasiswi seekstrovert aku mungkin amat disadari kealpaannya di sekitar mereka.

"Hei, kak Diana! Dimana kumpul organisasi?" Sapa salah satu adik tingkatku. Adik tingkat satu organisasi sosial.

"Ah iya! Syukurlah aku ketemu kalian disini. Di ruangan 2.16 yuk?" Sahutku kemudian.

Duniaku. Begitu luas. Aku baru menyadarinya. Rupanya aku memiliki pengaruh yang banyak bagi orang di sekitarku. Seorang ekstrovert yang bisa diandalkan.

"Ok. Temen-temen. Agenda kita selanjutnya adalah berlibur ke pantai daerah Yogyakarta." Tuturku di depan ruangan saat itu.

Sejujurnya, agenda ini telah lama aku rencanakan. Aku sengaja memilih waktu yang bersamaan dengan minggu-minggu liburan Faiq. Agar dia bisa ikut serta dalam kegiatan ini. Tak pernah aku duga. Sangat tak percaya. Rupanya impianku untuk berlibur di Jogja bersama Faiq dapat terwujud. Aku kira impian itu hanya angan semu belaka. Mengingat Faiq saat itu meninggalkanku. Namun rupanya dia kembali. Dan dia bisa turut hadir dalam acara ini.

Tiba-tiba...

"Permisi? Diana?" Seorang lelaki memanggilku di mulut pintu ruangan.

"Ya?" Sahutku.

"Pak Hendra manggil kamu. Dia di perpus sekarang." Ujarnya.

"Oh? Ok. Makasih. Nanti saya kesana." Sahutku. "Temen-temen, selanjutnya saya serahkan sama Monik. Saya permisi dulu sebentar ya?" Ujarku lagi lantas Monik melanjutkan kegiatan saat itu.

*****

Diana memang benar. Sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah yang mampu memperbaikinya. Aku tahu. Aku salah telah melakukan hal sejauh itu pada Tamara. Namun, Tamara pun agaknya tak peduli akan hal itu. Jika memang ia peduli, untuk apa dia berjalan dengan lelaki itu?

"Kak Rava, kakak salah faham soal itu." Gadis ini membuka mulutnya lantas menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. "Aku tuh cuma sayang sama Kak Rava." suaranya mulai bergetar seperti menahan tangis. "Walaupun aku tau Kak Rava sebenernya gak cinta aku." Air matanya mulai berderai. Wajahnya tertunduk. "Aku tau, Kak Rava sebenernya cinta sama Kak Diana." Tuturnya lagi.

Gadis ini. Jika ia tau, lalu mengapa dia diam saja? Mengapa dia memilih bersabar dalam bungkamnya?

"Karena cinta yang tulus itu gak pamrih, kak. Aku gak peduli Kakak cinta aku atau enggak. Pokoknya aku cinta sama kakak." Tuturnya lagi. "Tapi kalau dengan adanya aku itu bikin kakak gak nyaman, kakak boleh tinggalin aku lalu kejar cinta yang kakak mau."

Gadis ini. Aku melihatnya seperti melihat diriku sendiri. Yang mencintai Diana. Namun merelakannya bahagia bersama Faiq. Gadis ini. Mengapa mau membaiatkan cintanya padaku? Tidakkah dia akan menyesal? Atau mampukah aku menyia-nyiakannya?

Ah. Lagipula, meski hatiku tak bisa berhenti mencintai Diana, dia sudah bersama Faiq. Untuk apa aku masih membuang pandanganku dari Tamara untuk Diana?

*****

Lelaki paruh baya itu asyik menatap layar monitor laptopnya. Kacamatanya bertengger namun sesekali hendak merosot dari daun telinganya. Hingga memaksa jemari bapak itu untuk menahannya sepersekian detik agar tak terjatuh.

"Pak Hendra?" Sapaku.

"Hei... Diana! Duduk duduk." Sahutnya begitu hangat.

"Ada apa, pak?" Tanyaku tak kalah hangat.

"Bapak ada kabar gembira. Siapkan diri kamu. Minggu depan ikuti ujian."

"Ujian? Ujian apa?"

"Ujian untuk dapat beasiswa untuk menempuh pendidikan kedokteran di Singapore."

"Serius, pak?!" Sahutku begitu antusias.

"Iya lah. Mau kan?"

"Mau mau, pak! Kapan?!"

"Dua minggu lagi ujiannya. Lalu pengumumannya seminggu setelahnya." Jelasnya. Hingga aku terkesiap dengan kalimat selanjutnya, "Dan tahun depan, kamu pindah ke sana. Kuliah disana."

Pindah?

"Gimana?" Tanyanya lagi yang melihatku termenung.

"Iya. Saya cobain tesnya, pak." Tuturku saat itu.

"Bagus! Saya daftarin kamu sekarang ya? Saya yakin kamu bisa dapat hasil yang baik." Jawabnya. Aku hanya tersenyum. Tak terlalu antusias.

Pindah? Jika aku tinggal di sana, lalu kapan aku akan bertemu Faiq saat dia pulang dari Dubai?

Fatimah Di Akhir Zaman Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang