41. Persinggahan Dokter Ihsan

3.3K 197 33
                                    

Gadis itu mengerang seperti rasa sakit menusuk setiap senti di tubuhnya. Sementara ibunya, tak henti-hentinya menangis. Pemandangan seperti ini, tak aneh bagi kami. Dia memang selalu begini. Kesakitan. Dan untuk meredakan sakitnya pun selalu dengan cara yang sama.

"Diandra sudah tenang, bu. Sudah tidak sakit lagi." tutur Ihsan.

Gadis berbilang sepuluh tahun itu terkulai lemas, matanya terpejam. Ibunya langsung meletakan telunjuknya di bawah hidung Diandra. Ibunya menghela napas lega.

"Diandra cuma tidur, bu." Tuturku sembari tersenyum.

"Iya, dok. Saya suka takut. Setiap kali dia gini, saya takut itu adalah saat-saat terakhir dia hidup." tutur ibu lagi sembari terisak. "Ya... Meskipun sering kali dia begini, dan dokter selalu bisa sembuhkan sakitnya. Tapi setiap dia kesakitan, saya takut..." ibu itu tak mampu melanjutkan kalimatnya.

"Diandra baik-baik aja, bu. Jangan khawatir. Dia lagi tidur sekarang." Tuturku.

"Makasih ya, dok." ibu itu tersenyum.

Lantas aku berjalan keluar bersama Ihsan. Di koridor dia bertanya,

"Tadi kita cerita sampai mana?"

"Sampai pacarmu nikah sama orang." sahutku.

"Oh iya." Ujarnya. "Andai saya tau dari awal kita emang bukan jodoh, saya gak akan mau dekat sama dia."

Untuk apa dibiasakan bersama, jika pada akhirnya tak bisa bersatu?

Ya 'Aliim.... Sekarang aku baru mengerti mengapa Engkau melarang hubungan istimewa di luar pernikahan itu. Karena kasih sayang yang Kau miliki, Engkau berusaha menjaga hati hamba-Mu agar tak terluka.

Berawal dari curhatan Ihsan, tanpa sadar aku mulai terbiasa dengan kehadiran dirinya dalam hari-hariku. Hingga jika dia menghilang entah karena kesibukannya atau apapun itu, aku akan merasa ada yang kurang.

Siang itu, perkataan lingkungan cukup melukaiku. Bibir-bibir tak bertanggung jawab menyebarkan berita bohong tentangku. Mereka mengataiku seorang pecinta sesama jenis karena tak pernah mereka lihat aku berpasangan dengan pria manapun.

"Mungkin sakit banget hatinya karena mantannya, jadi dia gak suka cowok."

Biasanya begitu kalimat yang lezat di mulut mereka.

"Ya ampun, Di. Udahlah kamu jangan dengerin mereka." Tutur Ihsan kala itu saat aku menangis bercerita padanya.

Hingga aku memutuskan untuk selalu dekat dengan Ihsan. Agar aku tak dikatai perempuan pecinta sesama jenis.

"Dokter, ini ada kiriman makan siang untuk dokter." Ujar salah satu security rumah sakit ini. Lagi-lagi, kiriman makan siang.

Dari siapa?

Aku terus menerka-nerka.

Ihsan?

Sore itu, langit cerah. Ihsan memintaku mengantarnya membeli beberapa liter susu murni di pesisian kota. Beberapa kali kami mendapati gerombolan polisi lalu lintas mengadakan pemeriksaan lantas menilang para pengemudi di jalan yang tak melengkapi surat surat izin mengemudinya.

Jahil sekali Ihsan memperlambat laju mobilnya lalu mendekati polisi-polisi itu,

"Pak, gak mau tilang saya nih?!" Serunya. Aku hanya tertawa.

"Ihsan, kamu ini kenapa?" Tanyaku sembari tertawa.

"Gak apa apa, Diana." Tuturnya pun sembari tertawa. "Saya ingat waktu saya pertama kali bawa mobil, saya belum punya SIM. Setiap ada pemeriksaan gini, saya suka tegang. Tapi syukurnya, sampai sekarang saya belum pernah diberhentikan untuk diperiksa. Andai sekarang saya diberhentikan, waktu saya diperiksa, saya bakal gosokin SIM saya ke polisi itu." Lanjutnya lagi sembari tertawa.

Fatimah Di Akhir Zaman Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang