51. Karena Cinta

1.8K 131 15
                                    

Wanita itu masih tergolek lemah. Seolah penderitaan menindih tubuh ringkihnya. Seolah ia terlahir untuk menderita. Namun sebagai dokter yang merawatnya, aku akui dia wanita kuat yang tak pernah mengeluhkan sakitnya. Walau dunia seolah tahu bagaimana parahnya dia dengan penyakitnya.

"Gimana, Dokter?" Tanya calon istriku itu, Diana.

"Golongan darah keluarganya B. Mereka tidak bisa menjadi pendonor untuk Ibu Salamah." sahuktu.

"Lalu pasien kita?" tanyanya lagi. Aku sendiri dilanda rasa bingung. Entah apa yang harus dilakukan.

"Keluarga pasien sedang berusaha mencari pendonor. Untuk sementara tidak banyak yang bisa kita lakukan selain menunggu pendonor itu." Jelasku.

Hening sejenak. Gadis impianku itu hanya menoleh ke arah ibu yang malang itu, wanita yang mengingatkanku pada ibuku sendiri, yang dahulu juga tergolek lemah seperti dia hingga tidur panjangnya.

"Izinkan saya mendonorkan darah saya untuk Ibu Salamah." Tutur Diana tiba-tiba.

"Apa?!" Sahutku tidak percaya dengan apa yang aku dengar.

"Golongan darah saya A. Hanya saya yang bisa menjadi pendonor itu." Ujarnya lagi.

"Jangan konyol, Di. Itu bahaya untuk kamu. Sangat beresiko!"

"Saya mohon. Izinkan saya menyelamatkan Ibu Salamah. Kita gak punya banyak waktu lagi." Pintanya lagi.

"Saya gak mau, Di. Ini bahaya. Nyawa kamu taruhannya. Saya gak akan transfusi darah kamu untuk dia." Ujarku lagi sembari memalingkan muka.

"Saya mohon." Air matanya mulai tergenang mampu meluluhkanku.

"Diana, saya sudah kehilangan satu wanita yang paling saya cintai karena Thalasemia. Saya gak mau kehilangan yang satu lagi." Ujarku dengan nada bicara lebih lembut dari sebelumnya.

"Bukannya ini tujuan kamu jadi dokter? Kalau ada pasien Thalasemia, kamu berniat sembuhkan dia. Sebagaimana kamu ingin ibu kamu sembuh. Iya kan? Saya mohon. Ambil darah saya sebanyak apapun yang Ibu Salamah butuhkan." Pintanya sekali lagi. Kali ini air matanya benar-benar terjatuh.

"Tapi dua hari lagi kita menikah. Mana mungkin saya izinkan kamu berkorban kayak gini? Bahaya, Diana."

"Rencana kita dua hari lagi menikah. Kalau emang kita udah ditakdirkan menikah hari itu, apapun yang terjadi, kita sehat atau sakit, kita akan tetap menikah saat itu juga. Tapi kalau memang kita gak ditakdirkan menikah hari itu, selancar apapun keliatannya jalan kita menikah, kita tetap gak akan menikah." Tuturnya kemudian.

"Saya gak mau sesuatu yang buruk terjadi sama kamu, Diana. Saya gak mau kamu ambil resiko sebesar ini."

"Bahkan maut pun sudah ditetapkan waktunya, kan? Andai memang besok lusa waktunya saya meninggal, bagaimanapun juga saya akan tetap meninggal tepat pada waktunya. Entah sehat ataupun sakit. Tapi kalau memang belum saatnya, separah apapun kondisi saya, saya akan tetap hidup." Suaranya bergetar. "Saya mohon. Kalau memang saya ditakdirkan panjang umur, dan kita ditakdirkan berjodoh, saya akan baik-baik saja dan kita akan tetap menikah. Tapi kalau hari ini juga hari terakhir saya hidup, izinkan saya wafat dengan alasan telah menolong seseorang."

Apa yang dia katakan membuat lidahku kelu untuk menyangkalnya. Karena apa yang dia katakan memang benar. Hening sesaat. Hingga dia melanjutkan kalimatnya, "Serahkan semuanya pada Allah. Serahkan saya pada Tuhan saya. Kamu gak akan kecewa, Faiq."

Faiq?

Spontan aku menoleh keheranan. Apa dia baru saja menyebutku dengan nama Faiq? Kenapa? Apa dia ada hubungannya dengan Faiq? Faiq mana? Putra Ibu Salamah? Kenapa pula dia bersikeras menolong Ibu Salamah?

Fatimah Di Akhir Zaman Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang