46. Melamar

3.5K 230 35
                                    

Jika hati telah terketuk cinta, mestilah tak ada lagi gelap gulita. Apalagi sendu dan derita. Segala sedap dipandang di mata. Meski jelek kau akan tetap buta. Lisan akan indah saat berkata-kata. Jemari menari menggoreskan setiap kalimat dengan tinta.

Duhai apa lah lagi di dunia ini yang lebih indah dari rasa cinta? Sebuah rasa yang kerap kali membuat lumpuh lisan seseorang yang merasakannya.

Namun saat hatimu tersentuh cinta. Pernah kah kau berpikir dari mana ia datangnya?

Ku dengar dari seorang yang alim. Cinta yang suci itu hanya datang dari Sang Maha Cinta. Jika selain dari-Nya, tak ayal hanya luka yang didapatkan.

"Sebaik-baik perempuan adalah yang mudah maharnya."

Kiranya begitulah yang sering aku dengar dalam kajian kajian yang aku dengar tentang menjadi sebaik-baiknya wanita.

Jika kau tanya apa maharku, aku akan menjawab berapapun yang kau mampu.

Suasana lebih tenang di rumah sakit. Entah apa yang akan dikatakan Dokter Abdullah kali ini. Ia mengajakku bicara. Nampaknya tak begitu serius memang. Lelaki itu berlutut di depan kolam ikan. Di sebrang kolam ada anak kecil yang memperhatikannya. Dokter Abdullah lantas tersenyum begitu ramah pada anak itu. Tangannya menggapai. Mengisyaratkan anak itu untuk datang padanya. Anak itu menghambur ke arahnya.

"Mana ibu kamu?" Tanya lelaki itu.

"Itu." tunjuk bocah itu pada ibunya.

"Siapa nama kamu?"

"Yahya."

"MaasyaaAllah. Namanya bagus. Yahya." Ujar lelaki itu. Lantas ia melanjutkan kalimatnya, "Kalau dokter punya anak laki-laki, dokter juga mau namai dia Yahya." lelaki itu menoleh ke arahku.

Apa maksud kedua matanya itu?

"Yahya. Hidup. Selalu hidup. Karena dikenang, maka namanya hidup. Atau karena syahid, yang tidak disebut mati." ujar dia.

Bocah itu tersenyum menatap Dokter Abdullah.

"Waktu seumuran Yahya, ibu saya meninggal karena Thalasemia." Tutur Dokter Abdullah tiba-tiba. "Sejak itu, saya kehilangan salah satu pintu surga saya. Saya amat sedih. Wanita yang amat berarti dalam hidup saya bertahun-tahun tergolek lemah lalu akhirnya meninggal. Sejak itu, saya bertekad menjadi seorang dokter dan bercita-cita menyembuhkan pasien thalasemia juga. Sebagai bentuk tebusan karena dulu saya belum bisa bantu menyembuhkan ibu saya." lelaki itu bercerita. Aku hanya diam mendengarkan.

Thalasemia ya?

Akalku melayang pada ibunya Faiq. Meski telah bertahun lamanya aku bagai tak mengenal Faiq, namun hatiku tetap masih tertaut padanya. Lalu, bagaimana kabar ibunya Faiq?

Jika saja, aku telah menjadi istrinya Faiq, aku akan bantu mengurus mereka.

"Diana, orang tua kamu apa kabar?"

Orang tuaku.

"Baik." sahutku.

"Dimana rumah kamu?"

"Jalan Cendrawasih."

"Orang tua kamu ada di rumah?"

Aku terdiam.

"Diana?" sapa lelaki itu kemudian. Membuyarkan lamunanku.

"Ya?" Sahutku.

"Orang tua kamu ada di rumah?"

*****

Satu dua gram perhiasan emas setidaknya berhasil aku kumpulkan sedikit demi sedikit. Agak susah memang. Karena penghasilan bulananku yang tebagi-bagi kesana kemari. Tak apa. Sedikit demi sedikit terkumpul. Sembari menunggu izin dari kedua orang tuaku.

Fatimah Di Akhir Zaman Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang