1. Lafaz Niat

6.4K 561 117
                                    

Di kontrakannya, Saad melirik Hamas yang tengah membungkukkan badannya menghadap meja. Tangan Hamas dalam posisi menulis sesuatu di atas kertas. Sesekali lidahnya tergigit keluar seolah gemas atas sesuatu yang melintas samar dalam pikirannya. Dan sesekali dia menggigit bibir bawahnya dengan mata agak menyipit, demi menajamkan daya ingatnya.

"Ngapain sih, Mas?" tanya Saad.

Lama-lama Saad penasaran juga dengan apa yang dilakukan oleh sahabatnya itu. Masalahnya, Hamas sibuk menulis sudah sejak lebih dari sepuluh menit yang lalu. Dan yang anehnya adalah, Hamas langka sekali bertahan dalam dunia tulis menulis lebih dari lima menit. Dia biasa mengerjakan apa-apa di laptop.

Makanya Saad sekarang agak curiga.

Setelah beberapa detik tidak ada jawaban dari Hamas, Saad terpaksa menghenyakkan pantatnya di sofa tepat di sebelah Hamas duduk. Gerakan Saad yang tiba-tiba, sukses membuat Hamas berjengit. Menggeser duduknya.

"Ngagetin aja lau!" gerutu Hamas. Punggung panjangnya yang tadi nyaris horisontal, kini terlihat diagonal.

"Ngerjain apa sih? Ngga mungkin kan lo ngitungin utang?" balas Saad sambil sikut-sikut Hamas.

"Hanjir, gue ganteng saban awal bulan, boi! Masa iya ngitungin utangan?"

Hamas menarik lembar kertas dengan beberapa baris kalimat tertera di sana, menunjukkannya ke sang sahabat yang langsung dengan sigap mencermati.

"Iki lho, Habibi," kata Hamas, mengibas kertas tersebut, "gue lagi nulis niat-niat salat. Lah selama ini gue niat dalam bahasa Indonesia. Berasa kayak gimana gitu dah ah. Kaga enak! Jadi..." Hamas menaik-turunkan alisnya, "gue googling dah. Eheheheee..."

Saad cengengesan. Senang mengetahui sahabatnya kian giat dalam beribadah. Hamas juga baru paham setelah Saad bilang, bahwa salat itu minimal ditunaikan sebanyak empat puluh rakaat dalam sehari.

Salat wajib lima waktu 17 rakaat, sunnah rawatib 12 rakaat, sunnah dhuha 4 rakaat, sunnah witir 3 rakaat, dan sunnah tahajud 4 rakaat.

Sama seperti doa yang sungguh-sungguh ingin agar dikabulkan, selayaknya juga dipanjatkan selama empat puluh hari tanpa putus. Hamas pernah bertanya juga perihal kenapa segalanya disebut untuk empat puluh terus? Tapi Saad bilang, dia sendiri kurang paham. Hanya saja, yang diajarkan adalah demikian.

"Lafaz niat itu, ngga wajib, Mas," kata Saad. Kakinya naik ke atas sofa, menekuk keduanya.

"Lah?" Hamas melongo. "Tapi sunnah kan? Masa salat kaga pake niat?"

Asli, Hamas bingung banget. Bukannya sebelum takbir itu harus niat?

"Salat itu dari takbir sampai salam. Niat ngga mesti dilafazkan," jelas Saad. "Ngga sunnah, apalagi wajib. Di zaman Rasul dulu ngga ada lafaz niat yang kita kenal sekarang, Mas. Mau salat ya salat aja. Kalau kita dengar azan Isya, pasti kita akan melaksanakan salat Isya kan? Mau salat Magrib, atau salat apa pun itu. Mau jadi makmum juga. Kita berdiri di belakang, ngga perlu sebut makmuman dan sebagainya karena kita ya jadi makmum. Kan di belakang imam salatnya..."

Hamas cengok. Selama ini hatinya rusuh setiap kali salat sunnah dengan niat dalam bahasa Indonesia. Dengan berkeyakinan, bahwa Allah Ta'ala kan paham segala jenis bahasa. Tapi kalau dijelaskan seperti ini, Hamas paham juga.

Niat itu kan ada di dalam hati. Allah kan Maha Tahu apa yang ada di hati kita? Niat kan cuma kita dan Allah yang tahu. Ya kan?

"Tapi boleh juga sih kalau lo mau hafalin niat-niat salat. Buat pelengkap, bukan sebagai suatu keharusan, Mas," Saad berkata dengan hati-hati. Takut Hamas salah tanggap dalam hal ini. "Sebab soalan niat, kan cuma kita dan Allah yang tahu. Apakah salat kita benar untuk Allah, atau hanya ingin dinilai orang lain."

Hamas mencibir. "Kali dah, salat gue buat dinilai orang lain. Siape? Elu? Malesin."

Saad tertawa. Hamas memukulnya dengan kertas.

"Tapi beneran dah, Ad, gue pikir kudu hapal niat-niat ye. Mana banyak bat lagi!" kata Hamas dengan berapi-api. "Gue nyalin ini aja mata gue udah siwer rasanya. Tapi bela-belain dah. Ya kan biar makin shalih. Ye gak?"

Keduanya cekikikan sampai bahu masing-masing berguncang. Hamas kalau sudah bicara shalih, bikin Saad bawaannya ingin tertawa.

"Iya sih. Awalnya perihal niat ini, menurut yang gue dengar di kajian Ustadz Khalid, bahwa para santri di Al Azhar yang mengikuti ajaran Imam Syafi'i yang pertama kali menyusun tentang lafaz niat. Biar orang yang mau salat itu ngga lupa, gitu pendapat mereka, Mas..."

"Ya terus?" Hamas masih bingung. "Ini gue pake aja kaga?" tanyanya, merujuk lembar kertas dalam genggaman tangan kirinya.

"Pakai aja atuh, ya Ukhayya," kata Saad santai, tapi telinga Hamas yang ngga santai. Memerah dalam sekejap. "Tapi ngga pakai juga ngga masalah..."

"Aaaah," Hamas mengerang heboh. "Gue udah ribet nyarinya, tapi kaga dipake kan sayang-sayang. Gue baru aja mau minta dikasih tahu, lafaz niat salat dua rakaat pas kita lagi ruwet terus ngadu ke Allah itu apaan?"

"Nah itu lagi, ngga ada lafaz niatnya. Yang wajib aja ngga ada..." kata Saad. "Pas kita ngerasa rusuh di hati, ambl wudhu... terus salat. Udah, ngadu ke Allah."

Hamas termenung. Dipikir-pikir, ya iya juga sih...

"Niat itu urusan kita sama Allah. Sama kayak niat berbuat buruk, kan ngga pakai lafaz niat, tapi tetap diketahui? Ya semacam itu lah. Tapi lafaz niat juga ngga buruk. Lo mau pake, ya pake aja," jelas Saad. "Karena, para Imam tersebut berkata tidak ada niat kecuali dalam hati. Kalau kita ngucap niat ushalli fardhu tapi hatinya ngga niat salat, ngga diterima. Tapi kalau kita dari awal niat salat Zuhur tanpa melafazkan niat, insyaaAllah diterima salatnya."

Hamas manggut-manggut, lalu melirik Saad. "Lo sendiri, pake?"

Saad menggeleng, "Ngga sih, hehehe."

"Ya udah, gue ngga pake!" tandas Hamas cepat.

"Ya up to you, bosku!" Saad menepuk pundak Hamas dengan gemas. "Dah, sekarang bantuin gue!"

"Ngapain dah?" Hamas mulai curiga.

"Angkat lemari hehehe," kata Saad kemudian. "Itu kamar begitu bosen, Mas. Digeser-geser wae lah biar ada penyegaran."

"Pindah kontrakan kali biar refreshing mah!" kata Hamas, melipat kertas tadi dan meletakkannya di atas meja berdampingan dengan pulpen dan ponselnya.

"Ngga ah, enakan di sini. Adem."

"Kipas angin kali, adem?"

"Ya udah, buruan sih, Mas..."

"Iye, bawel ah!"

Hamas beranjak dari duduknya, mengayun langkah menuju kamar dengan Saad mengekor di belakang. Mendapati baju-baju Saad sudah berpindah, menumpuk di atas ranjang.

"Heh, entar lu beliin gue kapucino cincau ye..." kata Hamas. "Dua sih, gue kaga mau tauk."

"Ya selow. Receh amat request-an antum..." Saad mendorong punggung sahabatnya agar mendekati lemari.

"Ya elah... Sama gue mah kaga perlu mahal-mahal. Yang penting niat baik gue bantuin lu dicatet. Dapet pahala. Kelar," tukas Hamas dengan kedua tangan di pinggang.

Saad tertawa. "Iya, Ukhayya..."

Dan telinga Hamas merona lagi.


[✓] HAMASSAAD Bromance Until JannahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang