22. ASUransi

1.9K 366 144
                                    

Serial HAMASSAAD - 22. ASUransi

Penulis : Uniessy

Dipublikasikan : 2017, 21 Februari

-::-

Kening Hamas mengerunyut hebat selagi sepasang matanya menelusuri huruf demi huruf, catatan demi catatan yang ada di lembar tagihan kartu kredit ayahnya. Dia tengah berdiri di samping meja kerja ayahnya, sebab ada satu hal yang ingin ia sampaikan ke Papi-nya itu. Perihal keinginannya untuk mengajak Saad umrah bersama.

"Kenapa, Mas?" tanya Papi begitu keluar dari toilet yang ada di dalam ruangan. 

Kepala Hamas mendongak, lantas mengikuti langkah kaki Papi yang tertuju pada kursi kerja.

Papi memang begitu kalau sedang di rumah. Masih sibuk dengan setumpuk kerjaan.

"Papi masih ikutan asuransi ya?" tanya Hamas, merujuk pada lembar kertas yang ada dalam genggaman tangan kanannya.

Membenarkan posisi kacamatanya, Papi mengikuti arah pandang putranya.

"Iya. Kenapa?"

"Asuransi kan haram, Pi?"

Papi tertawa. "Kata siapa?"

"Kata Saad."

Papi makin tertawa. "Hamas, Hamas... Kamu kebanyakan main sama dia, jadi apa-apa yang dia omongin, kamu telan semua," kata Papi kemudian. "Duduk dulu deh, kamu ada yang mau diomongin?"

Hamas bergegas duduk di kursi di seberang meja kerja Papi-nya.

"Tapi emang riba kok, Pi. Hamas dibilangin sama Saad dalil-dalilnya juga," Hamas masih berupaya menjelaskan pada ayahnya, perihal riba dalam asuransi.

Papi menautkan jemari-jemari tangan di atas meja, lalu mencondongkan wajah ke arah putra bungsunya itu. 

"Asuransi itu legal secara hukum, Hamas. Dan gunanya banyak sekali," kata Papi dengan tenang. "Waktu Papi sakit, yang cover semuanya ya asuransi. Kita ngga keluar uang lagi karena tiap bulan bayar premi."

"Iya, preminya itu yang bikin asuransi jadi haram, Pi," jelas Hamas panjang kali lebar. "Kita bayar sekian, dapet layanan sekian juta itu kan riba, Pi..."

Papi tertawa, menyandarkan punggung ke sandaran kursi kerjanya.

"Kamu anak kecil tahu apa?" kata Papi dengan nada meremehkan. "Kamu tahu, Mas, Om Harun kamu itu waktu itu kan pernah kolaps. Ngga bisa langsung ditanganin di rumah sakit dia karena ngga punya uang. Si Hanun tuh yang mohon-mohon ke Papi buat bayar semua biaya rumah sakit. Sok-sokan ngga mau ikut asuransi, pas ayahnya sakit, repotin orang lain."

DEG!

Hamas menatap tajam pada mata ayahnya. 

Dulu, dia juga selalu berpikir demikian. Sampai Saad pernah berkata padanya, bahwa orang-orang yang datang minta bantuan pada kita adalah orang yang dipilih Allah untuk jadi jalan kebaikan untuk kita. Bukan karena kita mampu, tapi karena Allah mampukan kita.

Sok-sokan ngga mau ikut asuransi, pas ayahnya sakit, repotin orang lain.  

"Tapi Om Harun kan saudara kita, Pi. Bukan orang lain. Wajib bantu mereka," tukas Hamas tak mau kalah. "Lagian bukan Papi yang tolong mereka. Allah yang tolong."

"Hamas, Papi lagi ngga mau debat," Papi mengangkat tangan kanannya. Menyudahi perdebatan kecil di antara mereka. "Asuransi ini, yang bayar Papi. Bukan kamu. Jadi, kamu hidup aja yang bener dulu..."

"Gimana hidup Hamas bisa bener kalau Papi senang-senang ngebiarin Hamas dikurung sama riba?!"

Hamas beranjak dari duduknya, melangkah menuju pintu dengan dumalan sang ayah di telinga.

"Kamu akan paham suatu hari nanti, Hamas. Bahwa ikut asuransi itu ngga ada ruginya!"

BRAK!

Pintu ruang kerja dibanting Hamas sekuat tenaga. Membuat Papi agak terkejut dan menggumam 'anak kecil' seraya geleng-geleng kepala.

*****

.

.

.

"Ribut mulu sih, Mas," kata Saad sembari menuang air dari botol ke dalam gelas. Dia lalu bersandar pada sofa sebelum meminum air dalam gelas tadi.

"Bete aja gue, Ad. Bokap dibilangin susah banget," gerutu Hamas. Kedua kakinya bersila di atas sofa. Tangannya sibuk main ponsel. "Ngga ikutan asuransi juga duit Papi cukup-cukup aja buat biaya rumah sakit dan lain-lain!"

"Bokap gue paling anti ikutan asuransi," kata Saad kemudian. "Kayak ngga yakin Allah kasih sehat gitu ngga sih lo?"

"Itu dia!" Hamas geregetan sendiri. "Papi dibilangin ngeyel sih! Ikut asuransi segala. Bikin kaya pelaku riba!"

Hamas sudah paham ilmu tentang riba. Bahwa pelaku, pencatat, pemberi, dan penerima riba, berikut saksi-saksi yang ada, pasti kena getah dosa riba. Hamas cuma mau ayahnya itu paling tidak ya menjauh dari hal-hal yang menyangkut riba.

Kalau pinjaman ke bank sih ngga ada. Kan udah kaya.

"Tapi sebaiknya sama orangtua ngga usah ngedebat juga, Mas," pesan Saad setelah mengecek notif instagramnya yang tidak seberapa. 

"Gue kaga ngedebat! Gue kan ngasih tauk!"

"Iya, tapi mesti lemah lembut."

"Ah elah," Hamas bersungut kasar, menendang lutut Saad dengan ujung kaki kanannya. "Lau kaga tauk bokap gue sih! Walaupun udah nyerah ngadepin gue, tapi Papi sama batunya. Kayak..."

"Lo?"

"Gue. Hehehe..." sambung Hamas. "Nah lo tahu dah tuh gue batu dari mana!"

Saad tertawa. "Ngasih pemahaman ke orangtua ngga bisa dengan debat atau dikonfrontasi begitu, Mas. Mesti pelan-pelan. Soalnya, kan mereka yang lihat kita lahir. Rawat kita, paham gimana kita. Apalagi dulu lo bengal banget kan?"

Jadi kamu hidup aja yang bener dulu...

"Anjir, iya juga sih," gumam Hamas. Tergugu.

"Bicara ke orangtua juga pakai adab. Mereka maunya ditinggikan, dan memang demikian adanya. Mereka jauh di atas kita. Ridhanya Allah ada pada ridha mereka," jelas Saad lagi. "Pelan-pelan. Ajak ngobrol. Apalagi soal agama, yang ngga bisa diraba atau dilihat secara kasat mata. Mereka kayak besi berkarat yang perawatannya mesti ekstra hati-hati. Jangan sampai patah."

Ada hening sejenak di antara mereka sebab Hamas teringat pada ayahnya yang secara garis besar merupakan ayah yang modern. Tidak otoriter apalagi diktator. Papi cukup baik sebagai ayah bagi Hamas. Hanya saja, Hamas akui bahwa apa yang terjadi tadi di rumah itu agak keterlaluan.

"Kayak lo minta Kak Hana pakai jilbab," kata Saad. "Kalau lo bentak-bentak dia, makin ngga mau dia pakai jilbab kan? Secara halus aja masih nolak... Ya, semoga Allah kasih lembut hati buat Kak Hana," kata Saad. Tangannya meraih sebungkus cilor yang dibawa Hamas. "Eh, ini cilor beli di mana?"

"Deket masjid sana."

Dagu Hamas terarah ke kanan, tempat kira-kira masjid berada. Masjid tempatnya biasa shalat berjamaah jika sedang di kontrakan Saad.

"Enak euy," kata Saad begitu menelan suapan cilor pertamanya.

"Enak lah, grateys!" Hamas tertawa. Saad juga.

"Nanti malem mau nginep apa ngga, Mas?" tanya Saad, mengunyah lagi suapan cilor berikutnya. "Tapi kipas angin lagi mati."

"Tar ke kerpur. Beli AC," tukas Hamas, enteng.

"Weits, santai, Mabro..." Saad tertawa lagi. "Bayar listriknya mahal."

"Gue bayarin!"

"Ogah. Emang gue cowok apaan?" tolak Saad.

"Auk apaan," Hamas masih aja bete sebenarnya, mengingat argumennya tadi dibalas tajam oleh si Papi.

"Weh, sensi amat!" Saad menyenggol lengan Hamas dengan sikunya. "Tar bakda Isya cari makan agak jauhan mau ngga lo?"

"Ogah. Emang gue cowok apaan?!" balas Hamas, ketus.

Mau tak mau, Saad terbahak sampai terbatuk sebab cilor yang ada di mulutnya nyaris membuatnya tersedak.

Sabar ye, Mas... ♥

[✓] HAMASSAAD Bromance Until JannahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang