5.

8.7K 731 9
                                    

Zayn's POV

Saat aku dan Kay memasuki basecamp, Niall sudah duduk bersama seorang wanita di ruang tamu. Tangannya menggendong seorang bayi, bayi lucu yang mirip Niall. Rambut pirang dan mata birunya sangat mendefinisikan diri Niall. Jangan-jangan....

"Niall, apa yang kau lakukan...," ujarku sambil bergantian menatap Niall dan wanita itu. Wanita yang juga memiliki rambut pirang itu menyadari kehadiranku dan tertawa seakan-akan apa yang aku katakan merupakan hal yang bodoh.

Niall mencibir, "diam, kau akan membangunkan dia, bodoh."

Kuminta Kay untuk masuk ke kamarku terlebih dahulu sementara aku duduk di sebelah Niall. Aku menyikunya, "demi Tuhan. Siapa dia, Ni? Gorgeous."

"Yes, gorgeous," cibirnya. "And married."

"Siapa namanya?"

"Denise," jawab Niall tanpa memandangku. Matanya tertuju pada bayi yang sedang digendongnya. "Denise Horan."

Apa?

Mataku langsung memandang wanita yang duduk di sofa depanku dan Niall, "kau menikah dengan Niall?"

Langsung saja mereka berdua tertawa. Niall menertawaiku sambil memukul-mukul punggungku dengan tangan kanannya yang tidak menggendong bayi. Aku memutar mataku dan menjauhkan diriku dari Niall. Aku harus menunggu beberapa saat sampai mereka benar-benar berhenti tertawa. 

Denise menggeleng, "no, Zayn. I married his brother."

Yah. Aku memang tidak pernah ingat bahwa Niall punya kakak yang sudah menikah. Aku ingat saat Niall bilang bahwa dia akan menghadiri pernikahan saudaranya tetapi aku tidak mengira bahwa ternyata mereka sudah punya anak sekarang. Jariku menggaruk tengkuk, aku merasa bodoh.

"Oh, yah," anggukku canggung. "Apa yang kau lakukan di sini, Denise?"

Niall angkat bicara, "ia akan pergi ke Manchester untuk menghadiri acara pernikahan temannya dan Theo dititipkan di sini karena Greg sedang sakit di rumah."

Aku meng-oh-kan sambil memijat pelipisku. Aura di sini malah membuatku pusing. Pun aku menyandarkan tubuhku pada tangan sofa dan menyangga kepalaku. Niall melirikku sebentar, tetapi aku tau bahwa dia tau kalau aku sedang sakit, jadi dia hanya diam saja.

Aku menoleh pada Denise, "maaf, aku agak sakit."

Denise mengangguk mengerti kemudian melanjutkan pemakain make up-nya yang terhenti tadi ketika aku datang.

Tidak lama, Kay menghampiriku ketika aku sudah hampir terlelap di sofa. Aku lupa bahwa tadi aku memintanya untuk menunggu di kamar. Ia hanya menoleh sebentar dan memberikan senyumnya pada Denise, bukan menyapanya. Mungkin dia tau bahwa itu bukan urusannya mengenai siapa yang ada di sini. 

Tangan Kay ditaruh di atas dahiku dan sedetik kemudian dia menariknya kembali. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan obat yang tadi kubeli serta menyodorkanku segelas air. "Kau panas. Minum sekarang."

Aku mencibir dan menerima obat yang diberikan Kay. Entah kenapa, jari Kay ada di rambutku dan dia bermain-main dengan rambutku sampai aku selesai meneguk air yang kemudian kuserahkan kembali padanya. 

"Good boy."

Denise berdehem, "ini pacarmu? Cocok sekali."

Beruntung aku sudah selesai minum. Kalau tidak, aku yakin aku akan tersedak dan menyemburkan air ke wajah Niall. Yah, mungkin memang tidak akan mengenai wajah Niall, tetapi aku jelas akan mencoba mengarahkannya ke sana. Yah....

Pandangan Kay berubah ke arah Denise. Ia berdecak, "kau bercanda."

"Pelayan. Bukan pacar," cibirku. Bagaimana bisa Denise berkata seperti itu? Apa cocoknya aku dengan Kay? Jelas tidak. Ia menyebalkan.

"Siapa yang mau jadi pacarmu?" 

Denise terkekeh setelah sadar dia membuat kegaduhan. Pun akhirnya dia bangkit dan dan mengecup pipi anaknya yang masih terus digendong Niall. "Sudah, sudah. Niall, I'm going."

Setelah Denise pergi, Niall memutuskan untuk tidur bersama anak Denise, Theo, di kamarnya. Ia mengucek mata dan mencium pipiku sebelum pindah. Duh.

Kay menatapku sedetik sebelum dia membereskan barang-barangnya. Ia sudah mau pulang ketika tangannya kutahan. "You stay here."

Dia menatapku aneh, "kau mau apa?"

"Tidak apa-apa. Menginaplah," ujarku. "Aku sendiri malam ini, dan aku sakit."

Kay menggeleng, "ada Niall. Ketiga temanmu yang lain juga tinggal di sini, kau lupa?"

Pun aku membuka ponselku dan membaca ulang pesan yang baru saja kuterima dari Liam, Louis, dan Harry. "Mereka akan menginap di rumah Josh sambil menulis lagu untuk album baru kami. Niall tidak bisa diandalkan, kau tau itu."

Kay mendengus. Ia menaruh barang-barangnya lagi kemudian menghilang dari hadapanku untuk menelepon. Mungkin memberitau orang rumahnya bahwa dia tidak akan pulang malam ini.

Itu memang alasan sebenarnya aku menahan Kay di sini. Yah, paling tidak salah satunya. Memang aku mempunyai beberapa alasan tidak membiarkan Kay pulang, tetapi, yah. Bukan aku ingin berlama-lama berdua dengannya, tetapi, kurasa aku butuh teman baru untuk mengobrol. 

Beberapa menit kemudian setelah Kay kembali ke ruang tamu, dia duduk di sebelahku sambil menopang kepalanya dengan tangannya. Ia terlihat mengantuk, dan hujan di luar juga membuat udara semakin dingin di sini. Kulirik wajahnya, dan memang dia terlihat lelah. Begitupun aku. Begitupun semua orang. Akhir hari memang selalu melelahkan, setidaknya itu menurutku. 

Pun aku menaruh kepalaku di atas pangkuannya, membuatnya mencibir dan mendorongku untuk bangun. Tidak, bukan hanya dia. Aku memang suka tidur di pangkuan orang, terutama orang-orang yang bisa kupandangi saat aku melihat ke atas. Yah, Kay memang cantik. Aku mengakui itu. 

"Bangun, bodoh,"

"I'd never had the words to say, but now I'm asking you to stay...."

Kay terperangah dan menatap mataku beberapa detik, "damn voice."

"Thanks, thanks," kekehku. "Pacarku juga selalu menyukai suaraku."

Kay memutar bola matanya, "did I ask?"

"Jealousy."

"Bodoh," cibir Kay.

Keheningan meliputi kami selama beberapa saat sampai kusadari jarinya lagi-lagi bermain di atas rambutku. Aku tidak tau apa tujuannya, tetapi ini kali pertama seseorang yang sebenarnya bukan siapa-siapaku tidak bisa tidak kuizinkan memegang rambutku.

"Rambutmu mengingatkanku pada rambut seseorang," ucap Kay akhirnya. "Seseorang."

Aku mendengus, "did I ask?"

"Jealousy." Kay tertawa kemudian mendorong tubuhku sehingga aku jatuh ke lantai. Ia bangkit dari sofa kemudian pergi ke kamarku, entah untuk apa, mungkin mau merapikan kamar. Pun aku mengikutinya dan ketika kami sudah di kamar, aku mengunci pintunya.

Langsung saja Kay menoleh dan melirik ke gagang pintu yang sekarang sudah kukunci. Ia mengangkat satu alisnya, "kau mau apa?"

Aku terkekeh.


Annoying GuyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang