Kay's POV
Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi.
Sesaat setelah Raine datang merebut ponselku dan menutup wajahku dengan sapu tangannya, aku tidak sadarkan diri.
Dan sekarang, aku benar-benar tidak bisa bicara apa-apa. Jelas ini akan meninggalkan trauma bagiku. Juga Valerie.
Aku pun tidak tahu kenapa aku bisa berada di sini sekarang. Pagi hari, berbaring di salah satu ruangan kosong. Aku bisa langsung tahu ini adalah kantor polisi dengan melihat seluruh foto yang digantung di dinding. Ya, aku tidur di kantor polisi.
Aku tidak tahu bagaimana acara itu berakhir. Aku memang berharap tidak akan pernah tahu tentang hal itu. Yang kuyakin, jika aku berada di sini sekarang, Raine seharusnya sudah diam di balik jeruji.
Seharusnya.
Valerie menggeliat di sebelahku. Aku tidak tahu apakah ia tidur, pingsan, atau masih dalam pengaruh obat bius. Sungguh, seperti ya kukatakan. Aku tidak tahu apa-apa.
Ketika kugerakan tanganku untuk mengusap wajah, kurasakan rasa perih menjalar. Kalau yang satu ini, aku tahu kenapa. Aku ingat, bagaimana Raine menarikku ke dalam salah satu tenda malam itu. Aku ingat, bagaimana ia mengunci tubuhku untuk tidak bisa bergerak di bawah tubuhnya. Aku ingat, bagaimana Raine dengan mengerikannya mencengkramku yang meronta untuk kabur. Aku ingat, bagaimana ia membanting ponselku untuk memutus sambunganku dengan Louis. Aku ingat, bagaimana prosesku membenci Raine Modden.
Yang pertama Zayn Malik. Lalu Raine Modden.
Aku benci makhluk bernapsu seperti mereka.
"Kay?" Valerie terbangun. Ia mengucek matanya. Aku yakin, ia tidak ingat apa-apa karena pengaruh alkoholnya tadi malam. Tetapi, aku tidak yakin apa yang terjadi kepadanya semalam.
"Hey, Val," balasku.
"Di mana kita?" tanyanya setengah sadar. "Kepalaku sakit sekali."
"Kantor polisi," jawabku. "Kau tahu kenapa kita berada di sini, kan?"
Kemudian, Valerie tampak sadar. Ia mengangguk pelan. "Aku tahu."
"Aku minta maaf, Val," ujarku pelan. "Untuk melibatkanmu di acara gila itu. Seharusnya aku tahu acaranya akan menjadi seperti itu."
"Kuharap aku akan melupakan pengalaman ini, Kay," balas Valerie. "Mengingat itu benar-benar melukai pikiran dan harga diriku."
"Aku tahu," balasku lagi.
"It's over now," lanjut Valerie lagi.
Aku merangkul tubuh mungilnya untuk dibawa ke pelukanku. Valerie bukanlah anak hype seperti semua anak dalam acara itu. Ia memang minum, tapi, ia minum sendirian di sisi api unggun yang lain karena ia tahu bahwa aku tidak bisa minum. Dan ternyata, ia tidak minum sebanyak yang kukira. Atau, kadar alkohol memabukannya tidak setinggi yang kukira. Nyatanya, ia masih ingat apa yang terjadi.
"Aku melihatmu dan Raine tadi malam." Valerie membuka mulutnya, membuatku menoleh. "Aku benar benar minta maaf karena tidak membantumu."
"Aku benar-benar minta maaf juga."
Valerie meregangkan tubuhnya, "Kali ini, One Direction benar-benar menyelamatkan masa depanku."
"Maksudmu?"
"Aku dengar saat kau melepon Louis. Dan sepertinya aku tahu siapa yang memanggil polisi untuk membantu kita," jawab Valerie. "Louis Tomlinson."
Clara's POV
"Hi, Ari!" jeritku begitu melihat sepupuku, Ariana, di depan pintu rumah Kakekku di Jerman.
Ariana menoleh dan langsung menghampiriku. Ia meraih tubuhku dan menggendongku, "Hi, Clay! Wah, kita sama-sama tinggal di London tapi hanya bisa bertemu di Jerman. Di mana kakakmu?"
Aku menggedikan bahuku, "Seperti biasa, tidak ikut."
Kakakku memang mempunyai masalah dengan keluarga besar kami. Hubungannya tidak harmonis. Maka dari itu, ia tidak pernah mau untuk ikut dalam acara keluarga seperti saat ini.
Kakekku bisa dibilang membencinya. Dan Kakakku membenci Kakekku. Ah, sungguh, anak sekecilku tidak mengerti hal seperti itu.
Aku tahu, Kakakku adalah anak yang nakal. Aku juga tahu, ia tidak penurut. Tentu saja aku pernah menasihatinya, namun ia malah mencubit pipiku dan berkata bahwa anak kecil sepertiku tidak tahu apa-apa.
Tapi, yang aku tahu pasti, Kakakku sangat menyayangiku. Dan aku sangat menyayanginya juga.
Bahkan, ia lebih menyayangiku daripada orang tua kami. Ah, aku tidak mengerti pikiran anak remaja. Itulah sebab aku tidak ingin tumbuh terlalu cepat.
"Bilang kepadanya, aku rindu," ujar Ariana sambil menurunkanku.
Aku mengacungkan ibu jariku, "Tentu."
"Hey, Clay, kau tahu tidak?" ucap Ariana lagi. Kali ini, ia mengajakku duduk di teras depan rumah Kakekku. Mungkin karena di dalam, acara sedang berlangsung.
"Apa?" balasku.
"Aku bertemu mereka," jawab Ariana girang. "Aku bertemu mereka, Clay!"
Tanpa menggunakan otakku, aku tahu siapa "mereka" yang dimaksud oleh Ariana. Otakku sangat mengenal siapa yang Ariana maksud dengan "mereka".
"1D?!" tanyaku girang, juga.
Ariana mengangguk. Ia tersenyum lebar, dan menenangkan detak jantungnya sebelum bicara kembali. "Aku bertemu Zayn dan Harry. Walaupun sebenarnya aku berbuat kesalahan kepada Zayn karena aku terlalu gugup, tapi, aku mau meledak karena telah bertemu mereka, Clay!"
"Aku tahu!" balasku. "Aku sudah bertemu Stypayhorlikson, Ari!"
"Sungguh?!" Mata Ariana membesar menatapku.
"Ya!" balasku. "Mereka menginap di Hotel Schlamer. Ak—"
"Ya! Di sanalah aku bertemu mereka," potong Ariana. "Aku bertemu mereka di restoran. Astaga, Clay. Aku masih tidak percaya ini."
"Aku tahu," balasku.
Ariana memelukku senang. Kami berdua memang penggemar One Direction. Kami sungguh-sungguh menyukai mereka. Mungkin, aku bisa mengklaim bahwa aku penggemar termuda mereka setelah Lux.
"Clay, kau tahu anak dari pemilik Hotel Schlamer?" tanya Ariana lagi.
Aku menggeleng, "Siapa?"
"Kylie Schlamer," jawabnya. "Ia dekat dengan the boys. Mungkin, sangat dekat. Kau bisa melihatnya di akun Instagram Harry atau Niall."
"Wah. Lalu?"
"Ia adalah murid Oxford. Begitu juga aku," senyumnya. "Sama juga dengan Kakakmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Annoying Guy
FanfictionApakah bertemu dengannya adalah kebetulan? Atau takdir? Benarkah Kylie Schlamer bertemu dengan Zayn Malik karena kebetulan? Tetapi, apakah itu menutup kemungkinan bahwa mereka sebenarnya ditakdirkan? So, a coincidence or a destiny? Is there really...