Zayn's POV
"Kau sudah tidak apa-apa?"
Di atas sofa di ujung ruangan, Louis duduk dengan laptop di atas pangkuannya. Di seberang sana, Kay bicara, "Terima kasih telah menghubungi polisi, Lou."
"Sama-sama. Walaupun yang menghubungi mereka adalah Z—"
"Aku harus menutup sambungannya sekarang, Lou. Sepertinya Bibiku pulang," ucap Kay. "Selamat tinggal."
"Oke, sweetheart," balas Louis.
Aku memutuskan untuk tidak menghampiri Louis untuk menanyakan keadaan Kay. Aku benar-benar merasa tidak layak untuk bicara dengannya, ataupun menanyakan kondisinya.
Yang kutahu, tadi malam, Kay terjebak di sebuah pesta seks di SJP. Aku tidak tahu apa yang Kay alami di sana. Tetapi, membayangkan seseorang melakukan sesuatu seperti apa yang aku lakukan kepadanya waktu itu membuat kepalaku akan pecah.
Aku tidak bisa membayangkan Kay diperlakukan seperti itu lagi. Perbuatanku sudah cukup membuatnya menangis.
Aku benar-benar merasa tidak layak, bahkan hanya untuk mengkhawatirkannya.
Pun, aku menghampiri Niall di dapur. Kulihat ia hanya berdiri di depan kulkas tanpa melakukan apa-apa.
"Ni," sapaku sambil menepuk bahunya.
Ia menoleh cepat, "Oh, thank God. Kau tahu Zayn? Aku baru saja berharap seseorang akan datang untuk membuatkanku makanan."
Aku berdecak. Aku menjatuhkan tubuhku ke kursi meja makan, "Aku tidak sedang berada dalam kondisi baik, Ni."
"Karena?" tanya Niall.
"Perempuan itu," jawabku pelan. "Aku benar-benar merasa bersalah kepadanya."
"Kay?" tanya Niall lagi. "Kau tidak melakukan sesuatu yang salah. Kau menolongnya tadi malam, dan karenamu, ia baik-baik saja sekarang."
Aku menghela napas, "Bukan itu. Maksudku, kejadian yang sebelumnya."
Niall menyusulku duduk di kursi meja makan, "Oh, malam sebelum kita berangkat ke sini?"
Aku meletakkan kepalaku di atas meja dan menenggelamkannya di antara kedua tanganku. Ah, memikirkannya membuatku frustasi. Aku benar-benar ingin menemuinya sekarang.
"Kau tidak perlu khawatir. Dia kan hanya menipumu," balas Niall.
Tiga detik kemudian, matanya terbelalak. Tangannya memukul-mukul bibirnya. Ia menarik tanganku, "Bilang padaku kau tidak mendengar apa yang kukatakan barusan!"
Namun, aku mendengarnya. Dan, aku sedang mencernanya sekarang.
Aku membentuk jari telunjuk dan ibu jariku seperti pistol dan menodongkannya di pelipis Niall, "Ceritakan semuanya padaku."
Kay's POV
Aku buru-buru mematikan sambungan videoku dengan Louis dan langsung menghampiri pintu depan untuk membukakan pintu. Kudengar, seseorang membunyikan bel. Aku yakin, itu Bibiku, karena ia baru mengatakan bahwa ia akan segera pulang. Tidak kusangka akan sesegera ini.
Lagipula, tentu saja ia mempunyai kunci rumahnya. Kenapa harus membunyikan bel?
"Sebentar," ucapku. Aku mencoba membuka kunci pintu ini.
Ketika pintu sudah terbuka, bukan sosok Bibiku ataupun Gwen yang tampak. Seorang pria berpakaian rapi berdiri di atas keset sambil tersenyum ragu-ragu kepadaku.
Melihatnya, tentu saja aku langsung menutup kembali pintunya.
Raine Modden, dengan tidak tahu malunya, sedang berdiri di depan rumahku, dengan berpakaian rapi dan ada bunga di belakang tubuhnya.
"Kay, tunggu." Sebelum aku berhasil mengunci pintunya, ia mendorong pintu sampai ia berhasil berdiri di hadapanku. Sungguh, aku takut dengan apa yang akan diperbuatnya di sini. Ini satu-satunya waktu dimana aku benar-benar berharap bahwa Bibiku atau Gwen cepat pulang.
"Keluar dari sini!" ucapku, menahan pekik. Sebelum aku sempat berlari ke dalam kamarku, lagi-lagi ia berhasil menghentikanku. Ia menahan tanganku.
"Kay, tunggu. Sungguh, aku tidak akan membahayakanmu." Raine tetap menahan tanganku. "Aku minta maaf. Aku tidak tahu kau benci hal seperti tadi malam. Aku pikir seorang yang cantik sepertimu akan menyukainya.
"Aku minta maaf atas perbuatanku di bawah pengaruh alkohol tadi malam. Mungkin, aku sudah menyakitimu."
"Aku tidak ingin mendengar apapun darimu, brengsek!" balasku keras. "Kau, pergi dari sini!"
"Kay—"
"Pergi. Kumohon, pergi!" Aku tidak bisa menahan air mataku. Rasanya, kilas balik kejadian tadi malam datang lagi dalam pikiranku. Itu benar-benar menakutiku. Sungguh.
"Kay, tolong, jangan menangis. Aku minta maaf." Raine menarikku ke dalam pelukannya. Aku bisa merasakan kehangatannya. Ia mengusap lenganku untuk menenangkanku. Anehnya, aku bagai larut dalam pelukannya. Aku tidak bisa melawannya, bahkan ketika seharusnya aku sudah membunuhnya sekarang karena telah menyentuhku lagi.
"Kay?" Suaranya memanggilku lagi. "Aku tidak akan melakukannya lagi kepadamu."
Setelah aku tersadar kembali, aku buru-buru melepaskan diri dari pelukannya. Jari-jariku menghapus bulir air mata di pipiku. Untuk bicara, bahkan bibirku gemetar, "Aku sudah memaafkanmu. Sekarang, pergi."
"Tidak," balasnya. "Ada sesuatu yang harus kukatakan sekarang."
"Aku benar-benar tidak ingin mendengar apapun darimu lagi," elakku. Aku melangkah mundur menjauhinya. "Pintu keluar ada di sebelah sana. Kuharap kita tidak bertemu lagi."
"Bagaimana bisa aku tidak menemuimu lagi, Kay?" tanya Raine. Ia melipat tangannya di depan dada, "Bagaimana bisa aku berhenti menyukaimu?"
Butuh waktu yang sangat panjang untukku untuk mengerti apa yang dia katakan. Maka dari itu, ia melanjutkan, "Selama sebulan ini, aku selalu mencoba mencuri perhatianmu. Mungkin kau tidak menyadarinya. Aku ingin langsung menemuimu dan berkata seperti ini, tapi, tampaknya banyak gangguan untukku bisa melakukan itu. Satu hari, aku baru akan menyapamu ketika kau ada di depan sebuah pet shop. Namun, tiba-tiba, Harry Styles menghampirimu. Di hari yang lain, kau dalam mobil yang sama dengan Zayn Malik. Sore harinya, kau ke mall bersama Liam Payne. Lalu, aku sering melihatmu bersama Niall Horan, juga Louis Tomlinson. Tentu saja kau tidak pernah menyadari kehadirkanku yang mengikutimu."
Mendengarnya, aku terdiam. Aku benar-benar tidak menyangka dan tidak membayangkan apa yang ia sedang katakan kepadaku sekarang. Sungguh, betapa naifnya seorang Raine Modden berharap aku bisa berubah menyukainya setelah aku sudah mutlak memutuskan bahwa aku akan membencinya.
"Jadi," lanjut Raine. "Kurasa ini saatnya. Kau mau menjadi kekasihku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Annoying Guy
FanfictionApakah bertemu dengannya adalah kebetulan? Atau takdir? Benarkah Kylie Schlamer bertemu dengan Zayn Malik karena kebetulan? Tetapi, apakah itu menutup kemungkinan bahwa mereka sebenarnya ditakdirkan? So, a coincidence or a destiny? Is there really...