1500 words+++
Sinar surya sama sekali belum memasuki celah-celah jendela. Belum memenuhi ruangan serba putih berpenuhi alat medis. Tabung oksigen masih berfungsi, serta selang nutrisi bekerja dengan baik.
Haneul tertidur lelap. Sama sekali tidak menyadari keberadaan Sehun ––sang pencipta kekacauan–– tengah merayapi ranjangnya dengan tangisan pilu. Sehun memang diam, membiarkan tetesan air membasahi sprai putih tulang. Tetes air mata memberikan kesan bahwa apa yang Ia luncurkan melewati matanya adalah bentuk dari sebuah penyesalan.
Penyesalan yang tiada akhir.
Tangannya gemetar begitu permukaan telapak tangan Haneul yang dingin bergesekan dengan kulitnya yang dingin pula. Jantung pria itu bertalu, semakin tak menentu kala ia merenungkan diri kembali. Menginterospeksi diri kembali bagian mana yang salah dari dirinya.
Sehun memilah dan mengingat lagi, usaha apa saja yang telah ia perbuat tatkala menyakiti Haneul sedalam ia menusuk belati ke dalam batang pohon. Begitu dalam, nyaris tak terlihat.
"Haneul-ah," paraunya nada yang ia ujarkan, menandakan jika ia, Sehun sang pemulai perkara , jatuh di titik terlemahnya.
Mata Haneul bergerak seiring waktu menyingsing matahari untuk kian naik semakin tinggi. Kelopaknya berkedip-kedip lemah, menyesuaikan objek yang buram kembali terlihat jelas dalam retina matanya yang indah. Yang gadis lakukan lebih dahulu yaitu memindai pandangan.
Di mulai dari jendela, bergerak pelan ke arah dinding berwarna putih tulang, kemudian bergulir pada Sehun, pria itu tengah memandang nya disertai tetes air mata berderai.
Oh Sehun, tahukah kau, kalau saja semua perkara yang terjadi tidak menyangkut dirimu, Haneul pasti telah menghapus tiap-tiap bulir air yang berjatuhan mengenai kasur.
Haneul terlalu kecewa. Pria itu mampu menaklukan hatinya yang telah terbangun sedemikian rupa, dan merubuhkan nya dengan mudah. Kalian tahu, butuh waktu berapa lama Haneul menangkis rasa malu yang ada pada dirinya sendiri? Mungkin berjuta-juta kali, ia harus meyakinkan fisik, jiwa, dan raganya untuk sekedar mengucapkan cinta.
Insiden pesawat telah terlewat, dan gadis itu pikir, cukup sampai di sana permasalahan mereka terjalin.
Sehun mengutarakan keinginannya untuk belajar mencintai. Pria itu berusaha bangkit dari keterpurukan serta menangkal pandangan buruknya terhadap wanita. Di saat keadaan semakin baik, justru tokoh lain berusaha merusak.
"Bisakah kita bicara?" sang pria menegaskan. Suara berat pria itu tenggelam di tengah sunyi nya ruangan berpetak. Gadis itu tak menjawab, menatap Sehun dengan perasaan membuncah seraya menahan tangis. "Aku sudah mendengarnya dari ibu. Kau.. ingin aku menikahi Joohyun?"
Haneul mengangguk, sebulir air bening jatuh dari kristal mata sang gadis. "Tapi... jika aku menikahi nya, tetapi janin itu terbukti hasil perbuatan Kai, apa kau masih mau mengembalikan hati mu untukku?"
"Sehun––" nafas Haneul tercekat. Sulit sekali sekedar berbicara apa yang ingin ia katakan. "––Kau harus mengerti. Ini sudah terjadi, hukum alam jika seseorang melakukan perbuatan, maka dia harus berani bertanggung jawab."
"Kau ingat karma? Pepatah yang paling ku ingat yaitu 'apa yang kau tabur, itulah yang kau tuai'. Kau menghamili Joohyun, maka janinnya adalah bentuk dari karma kalian." Haneul menangis, tangannya bergetar. Sementara nafas nya memberat akibat sesak.
Pernahkah kalian tahu, gadis itu merakit prinsip, segala sesuatu yang telah ia miliki tak dapat ia lepas lagi.
Sama halnya seperti Sehun, pria itu bagaikan emas, berlian, perak, atau segala macamnya itu yang berhubungan dengan 'kepemilikan' bagi Haneul. Sehun milik Haneul, dan gadis itu berprinsip dalam dirinya sendiri bahwa ia tidak akan melepaskan kepunyaan pribadi nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kind Of Love
RomanceSemua berat. Haruskah aku mencintai nya saat dia malah membenci orang-orang yang mencintai nya? Haruskah dia membenci kata cinta dan tidak pernah merasakan nya dengan ku? Meskipun kami menikah sekalipun?