1900++ words
Udara sejuk mengudara, seiringan dengan laju kursi roda Haneul yang terdorong pelan. Membawa gadis itu ke alam rerumputan pengisi hari. Tak apa di rumah sakit pun, taman tetaplah taman, hanya letak nya saja yang berbeda prinsip.
Begitu angin mengudarakan helaian surai Haneul ke belakang, di saat itulah Sehun mulai mengeratkan syal rajut berwarna merah serta mantel tebal pembalut tubuh gadis itu. Menyadari bahwa kecepatan angin mulai tidak wajar, Sehun menghentikan langkah bersamaan dengan putaran roda kursi yang Haneul tunggangi terhenti.
Pria itu beralih, berjongkok di hadapan gadis itu sembari menyelipkan surai Haneul ke belakang telinga. Ia tersenyum sekilas. "Kau yakin tidak ingin kembali? Udara nya semakin dingin, Sayang."
"Eumh!" Haneul mengerucutkan bibir sebal, menyatukan alis tanda kesal serta melipat tangan di depan dada. Kenapa, sih sedari ia berangkat dari kamar menuju taman, pria itu tak hentinya mengatakan perkataan yang sama. "Aku hanya ingin berjalan-jalan sebentar apa tidak boleh?"
"Baiklah, berjanjilah hanya sebentar, oke? Aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu."
"Ya, ya. Silahkan lanjutkan kemudinya pak kusir!" gadis itu terkekeh seraya mencubit gemas hidung Sehun. Membuat pria itu kembali menarik ototnya untuk segera berdiri dan melanjutkan kendali nya yang teramat pelan.
Bangku kayu kosong, sudah pasti menjadi ciri khas taman bersama lampu bulat yang sayang nya mengharusnya tubuhnya yang tinggi itu untuk meredupkan cahaya. Nyatanya, sang matahari masih mampu menggagahkan sinar surya di seluruh alam Korea Selatan ini.
Roda kursi Haneul berhenti berporos. Menghadapkan kursi roda beserta penumpangnya menghadap bangku kayu. Sementara pemegang kendali menghilangkan wujud entah kemana. Haneul memutar kepala ke belakang, menemukan pria itu tengah berjongkok kemudian memetik sesuatu di sana.
Oh tidak, apakah itu bunga?
"Mengapa kau tersenyum?" kalimat itu yang jelas menyapa pendengaran Haneul ketika tubuh Sehun mulai beristirahat di atas bangku kayu berpernis mengkilap. Sementara tangannya mulai menyelipkan setangkai bunga melati kecil berkelopak lima di telinga Haneul. Membuat gadis itu terlihat cantik 1000% di mata Sehun.
Okay, ini terlalu berlebihan.
Pria itu tersenyum kecil, mengutarakan kata "Cantik," menimbulkan kedutan di kedua sudut bibir gadis itu yang mulai berkembang menjadi senyuman lebar.
Ya Tuhan, pipi nya memerah! Manis sekali.
"Wajah mu memerah?"
"Jangan lihat aku!"
Kekehan geli menjadi balasan, sementara gadis itu merengut bagai bayi yang di jahili oleh ayahnya. Kecanggungan melanda, keduanya melalangbuanakan pandangan. Mulai sibuk dengan urusan yang ––sebenarnya–– tidak terlalu penting untuk di lakukan.
Rumput-rumput kecil yang menggelitik tapak sepatu Sehun pun mulai bosan sepertinya. Menunggu kedua tokoh untuk saling berbicara kembali dalam alunan udara segar, tenang, tanpa gangguan. Bahkan frekuensi pertemuan mereka akhir-akhir ini terbilang cukup sering di lakukan, namun setiap kali terkurung dalam suatu suasana, bibir mereka terkatup. Enggan menyebut barisan huruf vokal dan konsonan yang nantinya menjadi sebuah kalimat padu.
Tak apa walau hanya sebuah kata, "Apa kau baik-baik saja?" atau mungkin, "Ingin tidur?" dan lain sebagainya.
Yang penting, Haneul tidak ingin terjebak dalam situasi duduk diam seperti ini.
"Haneul, lihat." Sehun menyerang dengan sebuah kalimat perintah yang lembut.
Atensi pria itu tersorot ke arah dua anak laki-laki bermain di tengah taman. Menatap sang ibu yang duduk di kursi rodanya, serupa dengan Haneul. Hanya saja, bayi menjadi pelengkap sang wanita, sedangkan sang ayah duduk diam memperhatikan kedua putra nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kind Of Love
RomanceSemua berat. Haruskah aku mencintai nya saat dia malah membenci orang-orang yang mencintai nya? Haruskah dia membenci kata cinta dan tidak pernah merasakan nya dengan ku? Meskipun kami menikah sekalipun?