BAB 12

10K 823 33
                                    

"Hai gaez," Kenneth langsung menyalami teman-teman satu angkatannya yang sedang bersantai di warung Mpo sehabis pulang sekolah.

Gamma, Degan dan Aksa melakukan hal yang sama. Biasanya, mereka menghabiskan waktu sebentar di sini sebelum pulang ke rumah masing-masing. Beberapa ada yang membantu Mang Jaja di bengkelnya, atau bermain bola di lapangan rumput depan warung.

"Mpo, apa kabs?" Kenneth kemudian mencium punggung tangan si Mpo.

"Gaya lo," si Mpo menyahut. "Makin ganteng, Ken."

"Ah, si Mpo bisa aja," cowok itu terkekeh. "Mau kopi yang biasa dong, Mpo. Empat, ya?" pesannya.

"Siap," si Mpo masuk kembali ke dalam warung untuk menyediakan empat kopi untuk cowok-cowok yang baru datang itu.

Suasana warung memang ramai setiap sore karena anak-anak kelas XI. Anak-anak cowok di sini memang jarang sekali minum kopi di cafe-cafe mahal. Menurutnya, apa salahnya membeli kopi di warung biasa? Ya, hitung-hitung membantu rakyat kecil.

"Nggak nganter Sheryl pulang, Gam?" Zaki menyapa Gamma begitu cowok itu sudah duduk di balai yang disediakan di samping warung.

"Bawa motor dia," jawab Gamma santai. Sedetik kemudian, cowok itu melepas baju seragamnya hingga menyisakan kaos polos berwarna putih. "Gue ke bengkel dulu."

Sambil menunggu kopinya jadi, Gamma berniat ingin membantu Mang Jaja dan anak cowok yang lain yang berada di bengkel. Kebetulan, dia mengerti sedikit tentang otomotif. Apa salahnya membantu?

Mereka yang bekerja di bengkel saat pulang sekolah tidak diberi bayaran. Sebenarnya, Mang Jaja merasa tidak enak hati. Tapi, cowok-cowok itu menolak dibayar karena memang murni ingin membantu. Saat itu, Mang Jaja tidak henti-hentinya mengucapkan terima kasih. Mereka ingin membantunya hingga bengkel tutup.

"Mang Jaja," Gamma menyapa pria paruh baya itu. Mang Jaja sedang santai bersama secangkir kopi serta beberapa gorengan. Cowok itu menyalami punggung tangan Mang Jaja. "Sehat, Mang?"

"Alhamdulillah."

"Bengkel makin rame nih," ujarnya sambil terkekeh.

Mang Jaja hanya mengucapkan syukur saat menanggapinya. "Banyak yang bantu-bantu, sih. Paling banyak emang pelanggan cewek. Tadi tuh, ngaku mobilnya rusak padahal nggak kenapa-kenapa."

Gamma terkekeh. "Terus, masih di sini?"

Mang Jaja mengangguk. "Itu, lagi berantem sama Lantanio," tunjuknya.

Gamma menoleh ke tempat yang ditunjuk Mang Jaja. Di sana, terlihat Lantanio yang sedang berusaha bicara baik-baik meski wajahnya terlihat menahan emosi.

"Mobilnya nggak apa-apa, Mbak."

"Ih, masa sih? Tapi nggak bisa nyala," si Mbak menyampaikannya dengan mimik kesal yang menurut Gamma dibuat-buat.

"Nyala tadi. Kan saya udah coba," Lantanio semakin terlihat putus asa.

"Tapi tadi nggak bisa nyala," si Mbak terlihat kesal dan malu di saat yang bersamaan.

"Kan tadi. Sekarang udah bisa."

"Woy, Gamma! Kopi lo nih," Degan berjalan dari pintu masuk bengkel sambil membawa dua cangkir kopi yang asapnya masih mengepul.

Gamma menghampiri Degan. Cowok itu mengambil alih secangkir kopi dari genggaman temannya. "Thanks."

---

Seorang cowok berusia dua puluh empat tahun sedang berdiri di balkon kamarnya di apartemen miliknya sejak lima menit yang lalu. Dari mulutnya, keluar asap rokok yang selanjutnya mengepul di udara. Tatapannya kosong, pikirannya berkelana. Ini sudah tujuh tahun sejak insiden itu terjadi, dan sudah lima tahun taruma itu hilang. Namun, rasa bersalah yang dirasakannya masih hinggap tiap kali cowok itu sedang sendiri. Pikirannya selalu mengarah ke sana tanpa di perintah, membuatnya frustasi.

BETA & GAMMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang