BAB 14

8.6K 756 13
                                    

Lantanio kembali ke rumahnya tepat pukul lima belas. Dia mengepalkan tangannya kuat sambil mengingat kejadian empat jam yang lalu.

"Anda......." suaranya tercekat ditenggorokan. "Tidak mengingat saya?" Lantanio bisa melihat kernyitan di dahi pria paruh baya di depannya.

"Apa Anda....... mengenal saya?"

Dia mengepalkan tangannya yang berada di saku jaket kulit miliknya sendiri. Hatinya bergemuruh menahan amarah. Dia ingin sekali berteriak di depan wajah pria di hadapannya. Segala hal yang dia benci dari pria itu sampai sekarang. Tidak, Lantanio tidak menyukai apa pun yang ada pada pria itu. "Ah," Lantanio terkekeh. "Anda itu hakim terkenal di Indonesia. Saya sering membaca berita tentang Anda di koran."

"Oh," Gio menganggukkan kepalanya. "Siapa nama Anda?"

"Lantanio," cowok itu berdehem. "Saya berharap, suatu saat nanti bisa menjadi hakim yang terkenal seperti Anda. Dan juga, hakim yang disegani."

Pria paruh baya itu terkekeh. "Kembali ke sini jika hal itu benar-benar terjadi. Saya akan mentraktir Anda."

"Tapi........." Lantanio meneguk salivanya, berusaha membasahi tenggorokannya yang terasa begitu kering. "Bisa saya mentraktir Anda lebih dulu?"

Tanpa sadar, setitik airmatanya jatuh. Secepat mungkin Lantanio menghapusnya sebelum ada yang melihat.

Dia melangkah masuk menuju ruang keluarga untuk mengistirahatkan hati dan pikirannya yang kacau setelah pertemuan dan makan siang yang dipenuhi dengan obrolan seputar hukum dan persidangan. Namun, sebelum dia sempat menyentuh sofa ruang keluarga, seorang perempuan yang begitu dikenalinya membuatnya berhenti melangkah.

"Ngapain lo di sini?"

"Lah? Ini kan rumah gue," cewek itu menoleh. "Salah kalo gue pulang?"

Lantanio menggeleng. Dia kembali melanjutkan langkahnya hingga duduk di sofa di sebelah perempuan itu. "Kenapa lo? Tumben pulang."

"Gue putus dari Gamma," Sheryl menghela napasnya.

"Gue nggak nyuruh lo putus dari dia."

"Gue tau," dia menghela napas lagi. "Gue ngerasa nggak adil aja kalo terus sama dia sementara lo kayak gini. Lo kan Kakak yang paling gue sayang," Sheryl memeluk Lantanio.

Secepat mungkin Lantanio melepaskan pelukan Sheryl. "Nggak usah nutupin kalo lo sayang Gamma."

Sheryl mendengus. "Kenapa, sih? Ya, walaupun kita nggak sedarah, tapi kan kita saudara. Gue lebih mentingin kebahagiaan lo di atas apa pun."

Kini, Lantanio menghela napas. "Sheryl,"

"Hm?"

"Kenapa lo nggak tinggal di sini aja? Gue yang bukan anak kandung, harusnya gue yang tinggal sama Nenek."

"Is," Sheryl memukul punggung Lantanio. "Nenek itu lebih nyaman tinggal sama cucu ceweknya. Lagian kenapa, sih? Mau lo anak kandung atau bukan, lo kan tetep sepupu gue. Nenek kita sama, kan?"

"Hm," Lantanio mengangguk. "Mama mana?"

"Tuh," Sheryl menunjuk wanita paruh baya yang baru saja keluar dari pintu dapur dengan matanya.

Lantanio bersyukur, masih ada Paman dan Bibinya yang mau merawatnya dan membawanya ke rumah ini. Selain itu, dia punya Sheryl dan Fera yang menemaninya selama ini. Entah kepada siapa lagi Lantanio akan menghabiskan sisa hidupnya jika tidak ada mereka. Dia sadar, selain ayahnya, masih ada yang menyayanginya seperti keluarga ini.

"Mama," Lantanio membimbing wanita yang sudah disebutnya sebagai Mama selama tujuh tahun terakhir ini menuju sofa dan duduk di sana. "Udah berapa kali Lantanio bilang, jangan capek-capek."

BETA & GAMMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang