Suasana warung pecel pinggir jalan lumayan ramai oleh suara kendaraan yang lalu lalang serta pengamen jalanan yang mengiringi.
Lantanio makan sambil sesekali melirik ke arah Barra yang sibuk mengunyah. Dia selalu mencari siapa tersangka kematian Ayahnya bertahun-tahun. Lalu, tanpa disangka, orang itu tiba-tiba muncul di depannya tanpa diperintah, tanpa mengenalinya. Ya, tujuh tahun sudah terlalu lama bagi orang itu merasakan udara bebas dengan damai. Sekarang, tidak akan ada lagi. Yang bersalah harus dihukum, siapa pun orangnya.
"Lan, nasinya dimakan atuh," ujar Degan.
Lantanio mengerjap, sadar sejak tadi kalau dirinya melamun. Dia mengangguk, melihat nasinya yang masih setengah, sementara ikannya hanya tinggal tulang. "Gue ke bengkel duluan deh," ujarnya lalu minum.
"Eh, yakin? Lo nggak mau makan hidangan penutup?" tanya Aksa.
Lantanio menggeleng. "Lain kali aja," katanya. Dia lantas segera bangkit, mengambil jaketnya yang tersampir di bangku kayu, lalu berpamitan pada semuanya, termasuk pada Barra. Lantanio sempat tersenyum pada Barra, lalu mengucapkan terima kasih.
---
Sheryl menyusuri trotoar sepulang les. Hari ini, atau mungkin hari-hari berikutnya, tidak ada Gamma yang menjemputnya. Mulai sekarang, dia harus terbiasa melakukan segala hal sendiri. Sheryl memang tidak pernah mengendarai motor saat les, karena jarak tempat les ke rumahnya tidak jauh. Lagipula, dia tidak langsung ke tempat les begitu pulang sekolah. Masih ada waktu dua jam sebelum jam les dimulai.
Sheryl sesekali memerhatikan orang yang lewat, kemudian kembali menunduk, memerhatikan sepatu adidas berwarna putihnya yang bergesekan dengan aspal. Dia menghela napas. "Kangen Gamma," katanya.
Saat sedang asik-asiknya melamun, seseorang menabrak tubuhnya dari belakang. Sheryl yang tidak siap langsung maju beberapa langkah begitu tubuhnya terdorong, kemudian mendengus. "Duh, bukannya minta maaf," ujarnya begitu orang yang menabraknya berlalu, tanpa menoleh.
Sheryl kembali menunduk, matanya menangkap sebuah benda persegi panjang yang terlipat berwarna hitam yang berada sekitar tiga puluh senti dari sepatunya. Lantas, dia segera mengambilnya. "Dompet siapa, nih?" tanyanya pada diri sendiri.
Seolah menyadari sesuatu, Sheryl lantas segera berlari menyusul orang yang menabraknya tadi, mungkin belum jauh.
"Pak," teriaknya, berharap seseorang yang entah siapa, yang sedang berdiri tidak jauh di depannya menoleh. "Pak."
Karena pria yang dimaksudnya tidak menoleh sama sekali, Sheryl menepuk bahunya. Tepat sedetik setelahnya, kakinya memaku di tempatnya berpijak, napasnya tercekat di tenggorokan.
Pria yang berdiri di depannya saat ini, sama seperti pria yang selalu diceritakan Lantanio padanya. Dia...... Papa Gamma.
"Kenapa, Dek?"
Sheryl mengerjap, dia kemudian menyerahkan benda persegi berwarna hitam itu kepada pemiliknya. "Punya Bapak, jatuh tadi," ujarnya dengan suara kikuk.
Pria paruh baya itu mengambil benda yang disodorkan Sheryl padanya, memeriksa kelengkapan di dalamnya, lalu mengucapkan terima kasih. "Nama Adek siapa?"
"Sheryl," ujarnya. "Agatha Sheryl."
Gio mengangguk. "Saya Gio. Sekali lagi, terima kasih."
Sheryl mengangguk. Meski pria itu sudah berbalik dan berjalan meninggalkannya, tubuhnya masih sulit digerakkan. Matanya masih terus terpaku, meski punggung Gio sudah ditelan kerumunan orang yang berlalu lalang.
---
Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan malam begitu Beta menyelesaikan masakannya. Hanya nasi goreng sederhana, yang dibuatnya berkali-kali karena selalu gagal.
KAMU SEDANG MEMBACA
BETA & GAMMA
Fiksi RemajaIni tentang keberanian Gamma, dan Beta yang selalu melindunginya. Cover by @jacalloui Copyright©2016, by Oolitewriter