"Kenapa sih lo kayak gitu? Kayak orang mau mati," ujar Tania begitu melihat Jaka melingkarkan syal berwarna maroon di lehernya.
September itu akhir dari musim panas. Itu sebabnya cuaca sejak seminggu kemarin mulai tak menentu. Terkadang hujan hingga udara menjadi begitu dingin, terkadang juga panas hingga membuat kepala pening.
"Ini biar kayak orang Amerika," jawab Jaka dengan bangga.
"Bukan, lo tuh kayak lagi sakaratul maut," Susan terbahak di sebelah Tania.
Jaka mendengus. Kemudian pandangannya teralihkan pada Ari yang memasuki kelas dengan mimik kesal.
Meski masih ada waktu empat puluh lima menit sebelum bel masuk berbunyi, kelas XI IPA-3 sudah cukup ramai karena hari senin itu butuh persiapan mental yang cukup. Jadi, mereka rela datang ke sekolah pagi-pagi sekali untuk belajar matematika peminatan sebelum Bu Robekka mengamuk karena mereka yang tidak bisa mengerjakan soal saat disuruh maju ke depan. Lebih bahaya lagi kalau hal itu diadukan ke kepala sekolah. Bisa jadi nilai mereka akan kosong selama satu semester. Bu Robekka memang kejam. Tapi, siapa pun yang bisa mengambil hatinya akan merasa beruntung. Meskipun begitu, anak-anak kelas XI IPA-3 tidak ingin menjadi anak kesayangan Bu Robekka. Bukannya apa, itu seperti beban. Tanggung jawab mereka lebih besar dibandingkan menjadi murid biasa.
"Kenapa lo?" tanya Jaka heran.
"Cek berita hari ini."
Sontak, semua yang sudah ada di dalam kelas langsung memeriksa ponsel masing-masing. Ada notifikasi dari web berita tentang apa yang terjadi sejak semalam hingga pagi tadi.
Susan yang pertama kali membulatkan matanya begitu muncul gambar di ponselnya. Cewek itu berteriak heboh. "Sumpah, sumpah, Beta sama Gamma."
"Sumpah, sumpah, ini tadi pagi?"
"Sumpah, sumpah, ini seriusan?"
"Sumpah, sumpah, Gamma udah move on dari Sheryl?"
"Sumpah, sumpah, jadi Beta......"
"Sumpah, sumpah, bisa nggak sih, nggak usah pake 'sumpah, sumpah'?"
Jaka melemparkan pulpen dari dalam kolong mejanya ke arah Ari. "Itu lo pake sumpah, sumpah, bodoh!"
Suara gaduh dari luar kelas hingga masuk ke dalam membuat sepuluh orang yang sedang berbisik langsung berhenti begitu Beta masuk dalam keadaan lelah sehabis berlari menaiki tangga. Cewek itu langsung menuju ke meja Ari.
"Ri, gue bisa jelasin-" ucapan Beta berhenti karena dia merasa semua orang di kelas ini memerhatikannya. Di sadar itu hingga kepalanya mendongak, memerhatikan semua teman-temannya. Sepertinya, berita itu sudah menyebar. Canggih sekali. Baru lima belas menit yang lalu dia dan Gamma diserbu wartawan, sekarang kabarnya sudah sampai ke teman-teman di kelasnya, atau bahkan semua orang di kota ini. Atau yang lebih parah semua orang yang tinggal di Indonesia.
"Apa?" tanya Beta kesal. "Ini semua nggak kaya yang-"
Ari bangkit dari kursinya, membuat Beta menghentikan kalimatnya. "Pinjem syal lo, Ka."
Jaka menggeleng. "Nggak. Gue lagi kedinginan, emangnya lo mau peluk gue?"
"Nggak usah alay. Suhu segini nggak bakal bikin lo mati kedinginan," Ari mendengus. "Cepetan."
Ari itu orangnya humoris. Segala sesuatu pasti dijadikan bahan candaan. Tapi, jangan remehkan orang yang satu itu. Kalau Ari sudah serius, bahkan dia lebih serius dari orang yang memang memiliki sifat serius sekali pun.
Karena Jaka takut kalau Ari mengamuk, akhirnya dia melemparkan syal maroon kesayangannya pada Ari, yang langsung disambut cowok itu dengan tangan kirinya. "Thanks," ujarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BETA & GAMMA
Teen FictionIni tentang keberanian Gamma, dan Beta yang selalu melindunginya. Cover by @jacalloui Copyright©2016, by Oolitewriter