BAB 29 [END]

10.8K 836 82
                                    

Gamma menghentikan taksi yang lewat di depannya. Sadar saat dia tidak membawa uang, cowok itu tertegun. Biasanya, Gamma akan menemui Beta jika hal ini terjadi. Dia akan meminta tolong dengan meminjam uang Beta, meski dia tahu utangnya pada cewek itu sudah banyak. Tapi, Beta masih tetap meminjamkannya uang. Gamma memejamkan matanya. Sekarang, keadaannya lain. Sebutuh apa pun dia pada Beta, cewek itu tidak mungkin bisa membantunya.

Gamma masuk ke dalam taksi dan duduk di kursi penumpang. Dia menyebutkan alamat rumahnya, sebelum kemudian taksi itu melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan pelataran rumah sakit.

---

"Aksa?" Gio tanpa sadar mengangkat kedua tangannya ketika pistol itu tepat mengarah pada kepalanya. Dia bahkan tidak bergerak sama sekali dari posisinya berdiri. Pria itu terpaku, terlalu terkejut begitu melihat apa yang sedang dilakukan Aksa padanya.

"Jadi, Om yang udah menembak Ayah saya?" Aksa bertanya tajam.

"Aksa, Om-"

"Jawab, ya atau tidak," Aksa mengatakannya dengan tegas. Dia tidak ingin Gio menjelaskan apa pun tentang kejadian itu. Cowok itu sudah muak. Hidupnya penuh sekali dengan drama. Mulai dari kejadian tujuh tahun silam, perlakuan Panji padanya, hingga apa yang terjadi pada Ayahnya sendiri. Semua itu justru sangat berhubungan dengan orang-orang terdekatnya. Mulai dari Barra, Gio, Gamma, hingga Omega. Sejujurnya, Aksa sudah tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi setelah ini. Dia hanya ingin sekali mengakhiri drama yang memuakkan di hidupnya, meski dia tahu cara yang dilakukannya salah.

"Ya," Gio berkata lirih.

Aksa meresponsnya dengan tawa mengejek. Tapi, cowok itu sama sekali tidak menjauhkan pistolnya dari kepala Gio. "Kenapa? Kenapa Anda melakukan itu?!" katanya berteriak. "Ayah saya sudah memberikan segalanya pada Anda. Kekuasaan, jabatan, harta, keluarga, semuanya. Bahkan, jika tidak ada Ayah saya, Anda akan tinggal di jalanan."

"Maafin Om, Aksa," Gio memberanikan diri menatap mata Aksa yang menyalang. Dia bisa melihat mata cowok itu yang memerah dan berkaca-kaca. Sepertinya, semua peristiwa ini sangat menguras emosinya. Gio tahu dia salah. Karena itu dia ingin mengakhiri semua ini dengan menyerahkan dirinya ke polisi. "Om hanya nggak bisa membiarkan Gamma mati di tangan Ayah kamu."

"Dan, Om membiarkan saya kehilangan Ayah saya? Begitu?" Aksa melangkah maju begitu Gio melangkah mundur.

Gio menggelengkan kepalanya tegas. "Om nggak bermaksud seperti itu. Om nggak tau kalau akhirnya-"

"Omong kosong," Aksa mendengus. "Om bilang Om sahabat Ayah saya, tapi kenapa Om bunuh Ayah saya?" katanya berapi-api.

"Maafin Om, Aksa," Gio mencoba memberikan pengertian pada Aksa. Dia tahu kalau Aksa marah padanya dan ingin membalas dendam. Tapi, ini cara yang salah. Gio ingin mengatakan itu secara pelan-pelan pada Aksa, tapi sepertinya lidahnya kelu.

"Nyawa harus dibalas dengan nyawa, kan?"

---

Gamma dengan tergesa-gesa berjalan menuruni tangga setelah mengambil uang di kamarnya. Dia lantas menyerahkan sedikit uang itu pada sopir taksi yang telah mengantarnya pulang. Saat akan menaiki taksi lagi untuk menuju rumah Aksa, dia ingat akan sesuatu. Dia belum mengunci laci nakasnya.

"Pak, tunggu sebentar, ya?" katanya sebelum kembali masuk ke dalam rumah.

Gamma sedang terburu-buru, jadi dia berlari dari pintu utama menuju kamarnya. Namun, saat akan melewati kamar Gio, dia mendengar suara teriakan seseorang. Jadi, Gamma memutuskan untuk mencuri dengar.

Cowok itu sangat mengenali suara seseorang di dalam sana. Tanpa pikir panjang, Gamma menekan knop pintu dan menemukan Gio yang sedang tersudut di kamar pria itu dengan Aksa yang menodongkan pistol tepat ke arah kepala Papanya.

BETA & GAMMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang