BAB 27

7.6K 826 87
                                    

Kenneth dengan gelisah melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya berkali-kali. Sudah dua jam sejak Gamma mengatakan kalau dia sedang dalam perjalanan, tapi cowok itu tidak kunjung muncul. Para wartawan sudah berulangkali menanyakan hal yang sama, "di mana Gamma?" tapi tidak ada yang tahu ke mana cowok itu. Bahkan sejak tadi teman-temannya berusaha menghubungi Gamma, tapi tidak mendapat respons.

"Gimana, Ken?" Degan yang sejak tadi berusaha meyakinkan wartawan untuk menunggu sebentar lagi lantas bertanya.

"Nggak tau. Gamma ditelepon nggak diangkat. Ini udah dua jam gila," Kenneth mendengus kesal. Tapi, dia juga khawatir karena tidak ada kabar dari Gamma sama sekali.

Aksa datang sepuluh detik kemudian. Dia yang paling antusias menyiapkan ini, tapi hasilnya sepertinya akan gagal. Gamma yang tidak muncul juga membuat para wartawan ingin pergi dari tempat ini. "Gue takut ada apa-apa," ujarnya.

Suara dari ponsel Aksa mengagetkan ketiganya. Mereka memilih menjauh dari wartawan sebentar untuk membicarakan masalah ketidakhadiran Gamma dalam acara yang sudah mereka susun sejak siang tadi. Cepat-cepat cowok itu menekan tombol hijau pada ponselnya tanpa melihat si pemanggil.

"Gam, lo di mana? Niat nggak sih lo?" tanyanya kesal.

"Maaf, apa ini Aksa?"

Aksa menjauhkan ponselnya dari telinganya sebentar. Di sana dengan jelas tertulis nama Ayahnya, bukan Gamma. Tapi, ada apa dengan suara Ayahnya? Dan, kenapa Panji bertanya?

"Anda siapa?"

Kenneth dan Degan saling pandang seolah bertanya dengan siapa Aksa berbicara.

"Saya yang membawa Pak Panji ke rumah sakit. Tolong segera ke sini. Ayah Anda baru saja tertembak."

Keterkejutan langsung terlihat jelas di wajah Aksa begitu orang di seberang sana memberitahukan sesuatu. Hal itu mengundang perhatian dari Kenneth dan Degan yang sama-sama khawatir melihat Aksa yang sepertinya ingin menangis.

"Berikan alamat rumah sakitnya, saya akan segera ke sana," katanya cepat lalu memutuskan sambungan.

"Siapa? Kenapa?" tanya Degan langsung. Dia sudah memikirkan yang tidak-tidak tentang Gamma. Jangan sampai apa yang dipikirkannya sama dengan apa yang akan disampaikan Aksa.

"Ayah gue ditembak orang. Gue harus pergi sekarang. Kalian berdua urus wartawan-wartawan ini," katanya lalu pergi.

Kenneth dan Degan tidak bisa bertanya atau menyampaikan sesuatu lagi karena Aksa terlihat terburu-buru. Kemudian, seorang wartawan menghampiri keduanya dengan wajah lelah.

"Maaf, tapi di mana Gamma?" katanya tidak sabar.

"Sebentar lagi datang. Kalian tunggu saja di sini," Kenneth sudah mengungkapkan dua kalimat itu sebanyak sepuluh kali selama dua jam ini.

"Tapi, kami sudah dua jam di sini. Kami juga harus meliput kejadian yang lain," seorang wartawan kembali datang.

"Dia sedang di jalan, jadi sabar," suara Degan melembut.

"Sebenarnya seberapa jauh jarak dari tempat tinggal Gamma ke sini?" wartawan yang baru menyusul bertanya kesal.

Baru saja Kenneth akan menjawab, sekumpulan wartawan yang tadinya duduk di kursi berbondong-bondong menghampiri mereka dengan wajah-wajah bersemangat. Mereka mengatakan seolah-olah mereka baru saja mendapat durian runtuh.

"Maaf, tapi kami harus pergi. Kami akan meliput di rumah sakit. Pak Panji baru saja ditembak dan sekarang sedang dioperasi. Ayo, kita harus cepat," seorang wartawan bertubuh gemuk berbicara memimpin teman-temannya yang lain untuk meninggalkan tempat ini.

BETA & GAMMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang