3. Hikayat Jenderal Han Sing

2.2K 35 1
                                    

Cik-hoat-tong berada di gedung yang lain. Meskipun tempatnya sendiri tidak begitu besar, namun bawaannya sangat angker. Sepanjang hari tercium bau hio yang dibakar. Yang tidak berkepentingan dilarang keluar masuk tempat tersebut.

Di atas tembok yang berwarna putih pucat tertulis sepuluh peraturan Bu-tong-pai yang harus dituruti oleh semua murid di sana. Hanya memandang tulisan itu saja, para murid Bu-tong-pai sudah merasa kebat-kebit hatinya.

Kedua orang Cik-hoat-tianglo juga sangat berwibawa. Mereka adalah sute dari Ciangbunjin Bu-tong-pai. Usia Gi-song lebih tua, hampir mencapai lima puluh tahun. Kewibawaannya juga berada di atas Cang-song. Tubuhnya tidak terlalu tinggi. Namun tidak termasuk pendek juga. Apabila batinnya sedang tenang, maka sepasang matanya bagaikan uang logam yang warnanya sudah pudar. Tapi begitu marah, sinarnya akan mengejutkan siapa pun yang memandangnya. Suaranya pun seperti guntur yang menyambar.

Cang-song lebih pendek sedikit daripada Gi-song. Tubuhnya juga lebih kurus. Matanya sipit. Suaranya jauh lebih lemah. Kalau tertawa seperti kuda meringkik, sama sekali tidak menakutkan, malah sering menjadi bahan pembicaraan murid-murid Bu-tong-pai.

Dia sendiri menyadari kekurangannya itu, karena itulah setiap kali ada masalah di ruangan Cik-hoat-tong, dia selalu membiarkan Gi-song yang berbicara. Apabila terpaksa baru dia mengucapkan sepatah dua kata.

Baru saja kakinya menginjak ruang Cik-hoat-tong, Wan Fei-yang merasa rada menyesal. Melihat kemuraman wajah ketua-tianglo, rasanya dia ingin menendang dirinya sendiri. Tapi Cia Peng sudah melangkahkan kakinya ke dalam ruangan tersebut, terpaksa ia menahan perasaannya mengikuti dari belakang. Para murid Bu-tong-pai yang mengiringi segera berbondong-bondong masuk ke dalam. Namun mereka mendapat teguran seketika.

"Apa yang kalian lakukan?" bentak Gi-song dengan suaranya yang seperti geledek.

Belum sempat satu pun dari mereka menyahut, Cang-song sudah memperdengarkan suara tertawanya yang seperti ringkikan kuda dan berkata, "Tentu saja untuk menyaksikan keramaian."

"Apa yang perlu disaksikan?" bentak Gi-song dengan mata mendelik. "Gelinding keluar semuanya!"

"Hayo! Gelinding keluar!" teriak Cang-song seperti burung beo.

Meskipun dalam hati mereka masing-masing merasa keberatan, namun tidak satu pun yang berani membantah. Dengan kalang kabut mereka keluar dari ruangan tersebut, kemudian memencarkan diri ke kiri dan kanan. Mereka tidak pergi jauh-jauh melainkan bersembunyi di sepanjang koridor panjang tersebut.

Gi-song tidak mempedulikan mereka lagi. Dia membalikkan tubuhnya dan menatap Cia Peng dengan mata bertanya, "Sebetulnya apa yang terjadi?"

Cia Peng mengulurkan tangannya menuding Wan Fei-yang, "Tecu meminta dia memegangi papan kayu agar saudara yang lain dapat berlatih am-gi. Ternyata ada beberapa senjata rahasia yang mengenai tubuhnya," sahutnya.

Sinar mata Gi-song-tianglo beralih kepada Wan Fei-yang, "Oh?" bibirnya mengulum sebuah senyuman mengejek. "Kau lagi?"

"Aku ..." Wan Fei-yang menggaruk-garuk kepalanya tanpa tahu apa yang mau dikatakannya.

"Kau yang bernama Wan Fei-yang, bukan?" mata Gi-song membelalak makin lebar.

Baru saja dia bermaksud menyahut, Gi-song sudah menggebrak meja dengan wajah penuh amarah, "Mengapa kau senang sekali menimbulkan kesulitan bagi kami?" bentaknya.

Wan Fei-yang sampai termangu-mangu mendengar dampratan itu.

"Berlutut!" bentak Gi-song dengan suara semakin keras.

Wan Fei-yang terpaksa menurut.

"Kami sudah cukup repot ..." sahut Cang-song.

"Betul sekali ... betul sekali," kata Cia Peng dengan menahan tawa.

Pendekar Ulat Sutra (Tian Chan Bian) - Huang YingWhere stories live. Discover now