16. Ilmu Pedang Matahari Tenggelam

1.6K 23 0
                                    

Wan Fei-yang melewati tempat latihan itu. Mendengar suara teriakan, langkah kakinya segera diperingan. Dia seperti terpesona. Tanpa sadar langkah kakinya semakin mendekati tempat keenam orang itu berlatih.

Dua orang murid Bu-tong menjaga di luar. Wan Fei-yang yang melihat mereka, segera menyadari apa yang akan terjadi apabila dia meneruskan langkahnya. Namun dia tetap nekat. Dia menghampiri kedua murid Bu tong yang sedang menjaga itu. Tiba-tiba salah satunya mengadang di depan Wan Fei-yang, "Berhenti!"

"Untuk apa kau datang ke tempat ini?" tanya yang satunya lagi.

"Mengantarkan minuman untuk para suheng yang sedang berlatih." Hal ini memang benar. "Suheng berdua menjaga di sini sekian lama, tentu kalian juga sudah lelah dan haus."

"Oleh karena itu, jangan lupakan bagian kami," sahut salah satunya.

"Tentu saja ...." sahut Wan Fei-yang sambil meletakkan teko teh dan beberapa cawan di lantai. Dia menuangkan secawan teh untuk masing-masing orang itu.

Warna teh sangat pekat, harumnya semerbak. Sekali lihat saja, kedua murid Bu-tong itu segera tahu bahwa teh yang disuguhkan diseduh dari daun teh yang baik. Apa lagi setelah menghirup wanginya. Kerongkongan mereka semakin kering saja rasanya.

"Harum sekali," kata salah satu orang itu tanpa sadar.

"Ini adalah teh Lung-cing sebelum musim hujan. Para suhu biasanya menyuguhkan tamu dengan teh sejenis ini," kata Wan Fei sembari mengangkat kembali bakinya dari lantai.

"Tidak heran ..." setelah meminum tanpa sadar kedua murid Bu-tong itu menghirupnya dalam-dalam. "Teh Lung-cing sebelum musim hujan memang paling bagus. Dapat menghilangkan dahaga dan menurunkan demam badan. Lain dengan teh umumnya," kata salah satu penjaga tersebut.

Wan Fei-yang tidak ingin kehilangan kesempatan baik. "Suheng berdua silakan menikmati perlahan-lahan. Aku akan mengantarkan teh ini ke dalam," sahutnya buru-buru.

"Baik!" kata penjaga itu sambil terus memuji tiada hentinya.

Wan Fei-yang membawa baki berjalan ke depan. Mereka sama sekali tidak mempedulikannya. Hatinya gembira sekali. Belum sempat dia mendorong pintu ruangan itu, salah seorang murid Bu-tong sudah berdiri dan memalingkan wajahnya.

"Berdiri di tempat!" bentaknya.

Wan Fei-yang terpana. Orang itu mengulurkan tangannya dan mencengkeram, leher baju anak muda itu. "Mau ngintip? Tidak begitu mudah!"

Penjaga yang satunya segera menghampiri. "Kau bermaksud menyuap kami dengan secangkir teh Lung-cing sebelum musim hujan? Kau kira kami tidak tahu apa maksudmu?" bentaknya marah.

"Kelihatannya kau cukup jujur, siapa tahu hatimu demikian licik. Sayang sekali kau bertemu dengan kami."

"Jangan mempunyai pikiran yang bukan-bukan. Kami yang akan membawa teh ini ke dalam. Kau kembali dan teruskan pekerjaanmu."

Kedua orang itu saling sahut-menyahut mengatasinya. Kemudian salah seorang penjaga itu mengambil baki dari tangan Wan Fei-yang. Sedangkan rekannya yang lain mencengkeram leher baju anak muda itu dan melemparkannya keluar dari tempat tersebut.

*****

Air kolam sangat jernih. Memandangi bayangan sendiri di dalam kolam, perasaan Wan Fei yang sangat tertekan. Dia benar-benar tidak mengerti. Mengapa Ci Siong tojin tampaknya begitu sentimen kepadanya.

Angin malam membawa keharuman dedaunan dari pegunungan. Di dalam kolam yang jernih terlihat seekor ikan lele sedang berenang ke tepian. Mata Wan Fei-yang mengedar. Tiba-tiba dia mengembangkan sebuah senyum. Tidak ada orang di sekitarnya. Dia mengulurkan tangan secepat kilat dan menangkap ikan lele itu.

Pendekar Ulat Sutra (Tian Chan Bian) - Huang YingWhere stories live. Discover now