2. Pelayan Perguruan Bu Tong

2.9K 42 0
                                    

Menjelang pagi ... kegelapan belum seluruhnya memudar. 

Kabut masih menebal.

Dua puluh tujuh bangunan besar kecil tertutup kabut. Begitu tebalnya sehingga atap bangunan itu pun tidak dapat terlihat jelas. Seluruh Bu-tong-san (Gunung Bu-tong) tampak bagai nirwana bagi manusia.

Lonceng nyaring berbunyi. 

Kumandangnya bergema melalui gunung yang tinggi. Bagi Bu-tong-san sendiri, suara lonceng itu menandakan bahwa hari yang baru sudah dimulai. Suara lonceng itu terdengar terus. Saling susul-menyusul. Kabut perlahan mulai menipis, seolah terpencar oleh suara lonceng tersebut.

Ketika suara bacaan ayat suci perlahan menghilang dari gedung yang beratap ungu, para murid Bu-tong-pai sudah bersiap di lapangan terbuka. Mereka mulai melatih ilmu yang mereka kuasai. Suara sentakan pasang surut. Sebagian besar murid Bu-tong-pai bertelanjang dada. Mereka adalah murid-murid yang berlatih ilmu tinju. Suara dan gerakan mereka sama teraturnya.

Beberapa depa dari tempat tersebut, di hadapan sebuah tembok tinggi, belasan murid Bu-tong-pai sedang melatih ilmu melemparkan senjata rahasia. Seseorang bertubuh tinggi kurus berdiri di belakang memperhatikan. Tangannya juga kurus sekali. Namun yang mengherankan justru telapak tangannya begitu besar dan jauh berbeda dengan biasanya. Dialah generasi muda dari Bu-tong-pai. Ilmu silat dan senjata rahasianya terlatih dengan baik. Dia bernama Yo Hong.

Di hadapan tembok terdapat sebuah papan kayu berbentuk tubuh manusia. Di sekitarnva sudah terdapat beberapa senjata rahasia yang dilemparkan. Yo Hong berjalan melalui salah seorang murid di situ. Tubuhnya bergerak ke samping. Secepat kilat tangannya diulurkan dan mengibas. Sebatang pisau terbang menancap di tengah dada papan kayu berbentuk tubuh manusia tadi.

Setiap murid Bu-tong-pai yang ada di tempat itu mengangkat wajahnya dan memandang dengan terkejut. Yang paling terkejut justru seseorang yang berdiri beberapa senti di samping papan kayu tersebut.

Pagi hari di atas gunung memang jauh lebih dingin dari pada di kaki gunung. Namun sekarang masih belum saatnya untuk memakai mantel berbulu yang tebal. Orang itu mengenakan beberapa helai mantel yang cukup tebal. Kelihatannya aneh sekali. Bahkan kaki dan lengannya juga tertutup oleh mantel yang tebal dan kepanjangan itu. Begitu pun bagian kepalanya. Hanya sepasang matanya yang kelihatan. Dan yang paling aneh justru di depan dan belakang tubuhnya dilapisi oleh selembar besi yang lebar.

Secara otomatis kepalanya menoleh ke arah suara pisau terbang yang menancap di atas papan kayu tadi. Matanya terbelalak dan ketakutan.

"Berlatih senjata rahasia bukan saja memerlukan kecepatan, tapi juga harus dapat mengukur dengan tepat dan memakai naluri," kata Yo Hong tenang. Matanya mengerling dan terhenti kepada orang yang memakai mantel tebal tersebut. "Sekarang giliranmu."

Tubuh orang itu gemetar.

"Aku?" tanyanya gugup.

"Mengapa bengong-bengong di sana?" sentak Yo Hong.

Mata orang itu bersinar. Akhirnya dia menyandarkan tubuhnya pada sebuah papan kayu berbentuk tubuh manusia dan mengikatnya ke pinggang sendiri.

Yo Hong membalikkan sebagian tubuhnya dan berseru, "Pukul tambur!"

Di bawah pohon di ujung sana ada sebuah tambur yang terbuat dari kulit kerbau. Seorang murid Bu-tong-pai yang bertelanjang dada mendekati tambur tersebut dengan dua buah pentungan kayu di sepasang tangannya. Dia memukul tambur dengan sekuat tenaga. Suaranya yang memekakkan telinga membuat orang itu terkejut. Dia meloncat beberapa kali dan akhirnya berhenti di hadapan para anak murid Bu-tong-pai yang sedang berlatih senjata rahasia.

Pendekar Ulat Sutra (Tian Chan Bian) - Huang YingWhere stories live. Discover now