5. Ketua Bu Tong, Ci Siong tojin

1.8K 29 0
                                    

Senja hari. 

Lentera-lentera telah dinyalakan. Asap hio wangi bergumpal-gumpal membuat suasana yang memang sudah mencekam menjadi lebih angker. 

Di tengah ruangan yang menghadap pintu keluar, terdapat sebuah meja pemujaan. Di bagian kiri kanannya, masing-masing berdiri dua orang tosu. Usianya pasti sudah memasuki kepala tujuh. Rambut dan jenggotnya sudah memutih. Mereka adalah keempat Hu-Hoat-tianglo (semacam penasihat hukum).

Di sudut ruangan berdiri Gi-song dan Cang-song. Enam orang itu tidak ada satu pun yang bersuara. Apabila Gi-Song tidak mengucapkan apa-apa, Cang-song pun seperti tiba-tiba menjadi bisu. Tampang mereka semua serius sekali.

Di dalam ruangan pendopo tersebut hanya terdapat enam orang ini. Sedangkan di luar berkumpul banyak sekali murid-murid Bu-tong-pai. Mereka berpencar menjadi dua bagian. Ada yang berbaris di sebelah kiri. dan ada pula yang menjaga di sebelah kanan. Meskipun begitu banyak orang yang berkumpul, tapi tidak terdengar sedikit suara pun. Hal ini membuktikan betapa gentingnya suasana. Mulut mereka tertutup rapat-rapat.

Kongsun Hong berjalan melewati barisan orang-orang ramai. Mata setiap orang terpusat kepadanya. Melihat keadaan itu, tampaknya apabila ada perintah ketua, maka Kongsun Hong akan dikeroyok secara ramai-ramai. Namun laki-laki itu sama sekali tidak menunjukkan kegentaran sedikit pun. Wajahnya tidak berubah. Dengan tenang dia melangkah, dadanya membusung, seakan berada di kandang sendiri.

Pek Ciok masih berjalan di muka. Penampilannya tidak berbeda dengan tosu lainnya. Wajahnya berbentuk persegi. Dahinya tinggi dan bercahaya. Seperti sebuah batu yang digosok sampai licin. Dia mengantar Kongsun Hong sampai di depan pintu pendopo. Tangannya dikembangkan.

"Silakan!" katanya.

"Apakah Ci Siong menunggu aku di dalam ruangan ini?" tanya Kongsun Hong dengan keangkuhan yang tidak berubah.

Wajah Pek Ciok rada berubah mendengar kata-katanya. "Silakan!" ujarnya sekali lagi

Kongsun Hong mendongakkan wajahnya dan tertawa terbahak-bahak. Dia melangkah ke dalam ruangan dengan tenang. Di dalam masih berdiri enam orang yang sama. Kursi kebesaran yang berada di depan meja pemujaan masih kosong. Begitu melihat kehadiran Kongsun Hong, dua belas mata dari enam orang itu menyorot tajam.

Kongsun Hong seperti tidak merasakan apa-apa. Matanya menatap ke arah kursi tinggi yang masih kosong itu.

"Di mana Ci Siong?" tanyanya sinis.

"Bo-liang-sou-hud (kasih Buddha tiada batasnya)!" ujar keempat Hu-Hoat-tianglo.

Gi-song mendelik matanya lebar-lebar. "Kurang ajar!" bentaknya dengan suara berat.

Kongsun Hong tertawa terbahak-bahak sekali lagi.

"Tamu sudah masuk ke dalam ruangan. Tuan rumah masih belum keluar menyambut. Siapa yang lebih kurang ajar dan tidak tahu sopan santun?" katanya tenang.

Cang-song mengernyitkan keningnya, matanya juga mendelik. "Kau anggap apa Ciangbunjin kami? Beliau bersedia menerimamu, sudah boleh dikatakan bahwa rezekimu sedang terang," sindirnya tajam.

Kembali Kongsun Hong tertawa tergelak-gelak. Suaranya bergema di seluruh ruangan. Getarannya membuat abu dari hio yang sedang dinyalakan berhamburan ke mana-mana. Wajah Ci-song menampilkan kemurkaan. Begitu pula Cang-song. Sedangkan keempat Hu-Hoat-tianglo sekali lagi menyebut, "Bo-liang-sou-hud!"

Suara tawa yang bergema tadi ternyata surut dan tertekan oleh sebutan "Bo-liang-sou-hud" itu. Kongsun Hong rada terkejut mengetahui dalamnya lwekang keempat Hu-Hoat-tianglo tersebut.

Tepat pada saat itu, dari luar pendopo terdengar kumandang suara yang lain, "Ciangbunjin tiba ...!"

Dua orang tosu cilik yang berteriak segera muncul dan berpencar di kiri dan kanan. Kemudian terdengar suara langkah kaki. Yang terdengar adalah suara langkah kaki dua orang, tapi ternyata yang muncul berjumlah tiga.

Pendekar Ulat Sutra (Tian Chan Bian) - Huang YingWhere stories live. Discover now