38. Pertemuan Dua Bidadari

2.2K 31 1
                                    

Kain penutup wajah manusia berpakaian hitam itu sudah dilepas. Ternyata Fu Hiong-kun adanya. Meskipun dia sudah menyamar dengan rapi tapi tetap saja Hujan dapat mengenalinya. Jarum yang diluncurkan oleh Hujan tidak mengenai sasaran. Angin mendahului melesat naik ke atas dinding pekarangan. Thian-ti malah lebih cepat lagi daripada angin.

Dari dinding yang tinggi dia memandang ke bawah. Matanya mengedar ke sekeliling dengan saksama. Kebetulan pada saat yang sama Fu Hiong-kun juga sedang menolehkan kepalanya. Dua pasang mata bertemu pandang. Tanpa dapat menahan diri lagi Thian-ti meraung murka. Hati Fu Hiong-kun tergetar dan sedih. Tanpa disadari, kakinya berhenti melangkah. Wan Fei-yang segera memeluk pinggangnya dan membawanya lari. Dengan demikian mereka dapat melesat lebih cepat dari sebelumnya.

Dengan marah Thian-ti melayang turun. Langkahnya dipercepat. Dia terus mengejar ke depan dengan segenap kemampuannya. Namun jaraknya dengan Wan Fei-yang tetap seperti tadi juga. Sedangkan Wan Fei-yang mencelat lagi ke udara lalu melayang turun kembali. Dengan memeluk pinggang Fu Hiong-kun dia sudah melesat ke dalam sebuah hutan.

Sekali lagi Thian-ti menghentikan kakinya melesat ke depan untuk mengejar. Ketika dia sampai di dalam hutan, bayangan Wan Fei-yang dan Fu Hiong-kun sudah tidak terlihat lagi. Dengan marah dia menghantamkan sepasang telapak tangannya kalang kabut.

"Blam! Blam!" Dua batang pohon besar roboh seketika. Dada Thian-ti seakan hampir meledak. Matanya mencorot bagai kobaran api. Rambutnya yang riap-riap seakan berdiri tegak. Seandainya diri orang tua itu adalah sebuah bom, pasti saat ini dia sudah meledak.

Sebuah kuil tua yang sudah bobrok. Pekarangannya tidak terurus. Dinding pekarangan maupun dalamnya sudah retak dan pecah-pecah. Sarang laba-laba memenuhi seluruh ruangan luar dan dalam. Meja-meja persembahan sudah menjadi kepingan kayu yang hancur dimakan rayap. Entah dewa apa yang disembah di kuil ini sebelumnya. Patung-patungnya saja sebagian besar tidak berkepala atau somplak di sana-sini sehingga bentuknya tidak terlihat lagi.

Senja hari sudah menjelang. Sinar matahari menyorot lewat celah-celah jendela yang tidak berbentuk lagi. Cahayanya tepat menyinari wajah Fu Hiong-kun. Mata gadis itu berkilauan. Bukan karena cahaya matahari, tapi karena air mata yang mengembang. Sekarang dia baru tahu bahwa Wan Fei-yang sama sekali tidak membaca surat yang ditinggalkannya karena basah oleh air sehingga tulisannya luntur. Hal inilah yang menyebabkan Fu Giok-su dapat menjebak Wan Fei-yang datang ke tempat ini. Hatinya semakin tertekan. Dia merasa sedih dan menyesali perbuatan abangnya. Akhirnya ia memberanikan diri dan menceritakan apa yang diketahuinya, sekalipun mungkin Wan Fei-yang akan membencinya. Dia tidak dapat menutupi kenyataan ini berlarut-larut.

Wan Fei-yang mendengarkan keterangannya dengan mata terbelalak dan mulut menganga. Tapi nada suara serta mimik wajah Fu Hiong-kun demikian yakin dan serius. Bahkan cara mengucapkannya pun demikian pilu mengenaskan. Dia tidak ragu mengenai apa yang dikatakan oleh Fu Hiong-kun. Meskipun semuanya benar-benar di luar dugaan. Tapi setelah dia membayangkan kembali, sebetulnya banyak kesalahan yang dilakukan Fu Giok-su tanpa disadarinya.

"Thian membiarkan aku terlahir dalam keluarga yang hanya tahu melakukan berbagai kejahatan. Mengapa tidak sekalian membiarkan aku mempunyai hati yang keji dan kejam?" setelah mengucapkan kata-kata ini, tanpa dapat ditahan lagi air mata Fu Hiong-kun mengalir dengan deras.

"Fu-kouwnio, jangan berkata begitu. Untung saja dalam Siau-yau-kok masih ada manusia yang berhati manis sepertimu. Kalau tidak, malam ini aku pasti mati. Bahkan mungkin sejak tempo hari. Aku tidak menyalahkanmu. Bahkan dalam hati ini, aku berterima kasih tidak terkira. Kau sudah menyelamatkan nyawaku berkali-kali. Bukan salahmu kalau kau terlahir dalam keluarga Siau-yau-kok. Jangan juga menyalahkan Thian. Suatu hari nanti Thian pasti akan memberikan kebahagiaan kepadamu. Aku akan menjagamu baik-baik!" Kata-kata yang diucapkan Wan Fei-yang keluar dari hatinya yang tulus. Dia memapah Fu Hiong-kun duduk di lantai lalu mengusap air mata gadis itu dengan lengan bajunya. Pada saat itu, hatinya kacau sekali. Dia tidak tahu bagaimana caranya menghibur Fu Hiong-kun.

Pendekar Ulat Sutra (Tian Chan Bian) - Huang YingWhere stories live. Discover now