Satu demi satu lentera mulai dinyalakan. Seluruh gedung itu menjadi terang benderang seketika. Hujan sudah mulai reda. Hanya tinggal rintik-rintik kecil yang masih tersisa.
Kadang-kadang masih terdengar geledek bergemuruh. Kilat pun masih menyambar, tapi tidak begitu mengejutkan seperti sebelumnya.
Akhirnya Wan Fei-yang membuka mata. Penampilannya terlihat tenang sekali, namun matanya tetap memperhatikan sorot yang sedih. Perlahan-lahan dia berdiri dan berjalan selangkah demi selangkah.
Sementara itu, Tok-ku Bu-ti juga sudah membuka matanya. Dengan kesigapan yang dibuat-buat dia langsung berdiri.
Sambil berteriak lantang, tubuh Wan Fei-yang berkelebat cepat. Dia yang pertama-tama menerjang ke depan. Tok-ku Bu-ti tidak bersuara sama sekali. Dengan sendirinya dia juga maju menyambut. Empat pasang telapak tangan saling beradu. Suara benturannya memekakkan telinga.
Kaki Tok-ku Bu-ti berubah-ubah gerakannya, kadang-kadang melangkah ke kanan, kadang-kadang ke kiri. Sepasang telapak tangannya membentuk bayangan cepat. Dalam sekejap mala, dia sudah menghantamkan telapak tangannya sebanyak dua puluh tujuh kali.
Setiap serangannya selalu ditujukan ke bagian tubuh Wan Fei-yang yang paling mematikan. Namun perubahan gerakan yang dilakukan oleh Wan Feiyang lebih cepat lagi. Sepasang telapak tangannya bagai roda yang berputar cepat. Mata pun sulit menangkap dengan jelas.
Hantaman demi hantaman saling susul menyusul membalas serangan Tok-ku Bu-ti. Pik lek cang dari Bu-tong-liok-kiat tidak usah diragukan lagi kehebatannya. Apa lagi dipadu dengan tenaga Tian-can sinkang yang dahsyat. Sekali dilancarkan, tidak ada satu pun hadirin yang tidak tercengang.
Serangan telapak tangan Wan Fei-yang semakin gencar. Seratus tujuh puluh kali hantaman telah dilancarkan. Tok-ku Bu-ti terdesak sampai bawah tembok pekarangan Tiba-tiba kakinya melangkah mundur, sepasang telapak ditarik kembali. Hawa murni dihimpun.
Dengan kekuatan yang mengerikan dia menerjang lagi ke depan. Tubuh Tok-ku Bu-ti melesat ke atas. Ilmu Mit-kip sinkang dikerahkan sepenuh tenaga. Dia menyambut datangnya hantaman telapak tangan Wan Fei-yang dengan nekat.
"Blamm!"
Terdengar suara benturan yang bergemuruh. Tubuh Wan Fei-yang terpental mundur tiga langkah. Sedangkan tubuh Tok-ku Bu-ti amblas ke dalam tembok yang hancur seketika.
Debu-debu putih berhamburan ke mana-mana. Tembok pekarangan itu bagai terbelah-belah. Wajah Tok-ku Bu-ti pucat pasi.
Segumpal darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Sepasang tangannya tetap mendekap di depan dada.
Sepasang telapak tangan Wan Fei-yang memutar kembali. Belum sempat dia melancarkan serangan. Di belakang tubuhnya terdengar desiran angin. Segulung tenaga yang cukup kuat menekan dari atas.
"Beraninya hanya membokong!"
Dia mendengar suara bentakan Yan Cong-tian.
Tanpa berpikir panjang lagi Wan Fei-yang menghantam telapak tangannya setelah membalikkan tubuh. Terdengar suara menggelegar terbit dari serangannya.
"Plak!"
Tubuh Wan Fei-yang tidak bergerak. Malah orang yang diam-diam membokongnya terpental sampai jauh.
Orang itu tidak asing lagi. Dia adalah Kongsun Hong. Sepasang telapak tangannya beradu dengan hantaman telapak tangan Wan Fei-yang. Isi perutnya tergetar hebat. Darah segar muncrat dari mulutnya. Dia menggelinding di atas tanah. Dengan menahan sakit dia merangkak bangun dan menerjang lagi ke depan.
"Suhu, cepat lari!" teriaknya kalap.
***
Semua perbuatannya tidak luput dari perhatian Tok-ku Buti. Hatinya tergetar. Sejenak dia merasa ragu.
YOU ARE READING
Pendekar Ulat Sutra (Tian Chan Bian) - Huang Ying
Ficção GeralPertarungan antara ketua Bu Tong dan ketua Perkumpulan Bu Ti Bun yang diadakan setiap 10 tahun sekali di Pintu Langit Selatan berakhir dengan kekalahan dari ketua Bu Tong Pay. Tapi kenapa sampai saat ini Bu Tong Pay belum dihancurkan oleh Bu Ti Bun...