10. Rahasia Ilmu Iblis Tingkat Delapan

1.7K 30 0
                                    

Tanggal sembilan bulan sembilan.

Matahari belum terbit ...

Thai san tinggi menjulang ...

Tung-gi berada di sisinva ....

*****

Di tengah bukit terdapat daerah yang luas. Untuk naik ke atas bukit tersebut, paling tidak harus menaiki undakan sebanyak enam ribu tujuh ratus tangga batu. Dari kejauhan pemandangan di tempat tersebut sangat indah. Anak tangga yang tinggi itu laksana jalan menuju surga.

Di antara awan-awan putih terlihat sebuah tembok merah. Juga terdapat sebuah pintu besar berwarna kuning. Itulah Lan-tian-bun (pintu langit selatan) yang sangat terkenal. Setelah melewati pintu tersebut kita bisa melihat Giok-hong-teng, karena jaraknya sudah dekat sekali.

*****

Matahari masih belum terbit. Angin bertiup semilir. Seluruh bukit itu diselimuti hawa dingin. Di bawah sebatang pohon siong berdiri tegak seseorang. Bahunya menyandang sebuah kotak persegi panjang. Di atas bukit itu hanya ada dia seorang. Ci Siong tojin dari Bu-tong-pai!

*****

Tiba-tiba angin bertiup dengan kencang. Lengan baju dan pakaian Ci Siong tojin berkibaran. Jenggotnya yang panjang juga melambai-lambai. Tampaknya sebentar lagi dia akan melayang tertiup angin, namun rupanya tidak. Dia tetap berdiri tegak seperti sebuah arca.

Matanya yang setengah terpejam tiba-tiba terbuka. Burung-burung beterbangan dari bawah bukit dengan keadaan panik. Jumlahnya beribu-ribu memenuhi angkasa. Pada saat itu, udara dingin membuyar. Di atas sebuah batu berjarak sepuluh depa dari tempatnya telah berdiri tegak seseorang. Burung-burung masih beterbangan dengan panik. Orang itu membalikkan tubuhnya. Dia adalah Tok-ku Bu-ti!

*****

Dua pasang mata yang bersinar tajam laksana pedang saling bertemu. Ci Siong tojin tidak bergerak, Tok-ku Bu-ti juga berdiri bergeming. Pada saat itu juga, mata dan tubuh kedua orang itu seakan telah membeku menjadi es batu. Sepasang mata Ci Siong tojin dan mata Tok-ku Bu-ti tetap bersinar tajam. Mereka tentu sedang mengukur kekuatan masing-masing melalui pandangan tersebut. Keduanya tidak ada yang saling mengalah.

Awan bergerak di langit di bagian timur. Segaris sinar berwarna keemasan mulai muncul. Sinar yang indah itu perlahan berubah menjadi bulatan. Kemudian berubah menjadi bola api. Bulat dan merah. Bola api itu bergerak perlahan melintasi awan putih dan bukit yang menghijau.

Bola api itu bangkit dengan kemalas-malasan. Warnanya semakin lama semakin terang. Merahnya seperti batu manau. Bulatan yang belum jelas semakin kentara. Menembusi awan putih dan meninggalkan tepian laut. Naik ke atas langit dan memancarkan cahayanya dengan gagah.

Menikmati matahari terbit di atas Thai-san merupakan pemandangan yang demikian memikat hati. Ci Siong tojin dan Tok-ku Bu-ti sama sekali tidak tergerak oleh keindahan tersebut. Angin masih bertiup. Lengan baju mereka melambai-lambai.

Di bawah cahaya sinar mentari, tongkat berkepala naga di tangan kiri Tok-ku Bu-ti seperti benda hidup. Wajahnya menghadap ke timur. Mata dan mentari sama-sama bercahaya. Kelopak matanya bergerak sekilas. Demikian juga ujung bibirnya. Akhirnya dia mengucapkan sepatah kata, "Sepuluh tahun telah berlalu ...."

"Hm ...." Ci Siong tojin menyahut datar. Sepasang mata dan tubuhnya yang bagaikan es tadi nampaknya mulai mencair.

"Sungguh tidak disangka, sepuluh tahun kemudian, hari ini ... pendekar yang namanya masih menonjol di bu-lim masih juga kita berdua." Tok-ku Bu-ti menarik napas panjang. "Setelah hari ini berlalu, aku yakin diriku masih kesepian."

Pendekar Ulat Sutra (Tian Chan Bian) - Huang YingWhere stories live. Discover now