19. Prajurit Tanpa Nama

1.5K 26 1
                                    

Tanpa sadar Wan Fei-yang menghentikan gerakan kakinya. Tujuh orang tosu itu juga berhenti bergerak. Cahaya pedang perlahan memudar. Tok-ku Hong dan Kongsun Hong saling pandang sekilas. Wajah mereka menyiratkan perasaan tidak mengerti.

Orang lainnya juga sama. Serentak mereka menolehkan kepala. Ci Siong tojin berdiri di atas sebuah batu besar. Angin yang bertiup melambai-lambaikan lengan bajunya. Tubuhnya bagai akan terbang tertiup angin.

"Bubarkan barisan. Lepaskan mereka yang datang dan biarkan mereka turun gunung!" bentaknya menggelegar memekakkan telinga.

Wajah setiap orang menampilkan perasaan kebingungan. Wan Fei-yang hampir tidak dapat menahan dirinya dan ingin berteriak sekeras mungkin. Cang-song langsung mengelus jenggotnya sendiri.

"Biarkan mereka turun gunung?" tanyanya penasaran.

"Melepaskan harimau pulang ke kandang, kelak pasti menimbulkan masalah!" teriak Gi-song kesal.

Wajah Ci Siong tojin sedingin es. Dia mengibaskan lengan bajunya. Sekali melesat, tubuhnya hilang dari pandangan mata bagaikan para dewa di kayangan. Kongsun Hong dan Tok-ku Hong tidak ingin membuang waktu. Mereka menggunakan kesempatan ini untuk menerobos keluar dari barisan Jit-sing-kiam-ceng. Tujuh orang tosu tersebut hanya memandangi mereka dengan mata mendelik.

Kongsun Hong menarik tangan Tok-ku Hong dan menyeretnya meninggalkan tempat itu. "Cepat pergi!" katanya.

Para murid Bu-tong yang berkumpul di luar barisan semuanya tidak puas melihat keadaan itu, namun mereka tidak berani mengambil tindakan apa-apa. Mereka terpaksa memberi jalan kepada kedua orang itu.

Gi-song dan Cang-song hampir muntah darah karena jengkelnya. "Mari kita naik ke atas dan minta penjelasan!" teriaknya mengajak.

Dia mendahului mereka melesat ke atas. Sedangkan para murid Bu-tong lainnya terpaksa mengikuti di belakang.

*****

Suara lonceng berbunyi.

Di dalam ruangan pendopo sunyi mencekam. Yang terdengar hanya kumandang suara lonceng. Selain itu tidak terdengar lagi suara lainnya. Seluruh murid Bu-tong berkumpul di dalam ruangan tersebut. Sinar mata mereka terpusat pada Ci Siong tojin yang duduk di tengah ruangan.

Ci Siong tojin tidak memperlihatkan reaksi apa-apa. Matanya setengah terpejam. Entah berapa lama sudah berlalu, akhirnya Ci Siong tojin membuka matanya. Gi-song tidak dapat menahan kedongkolan hatinya.

"Ciangbun-suheng, kedua murid Bu-ti-bun sudah pasti akan mati dalam barisan Jit-sing-kiam-ceng, mengapa kau malah membubarkan barisan itu dan melepaskan mereka?" tanyanya penasaran.

"Dengan berbuat demikian dan tersebar di luaran, teman-teman di dunia kangouw pasti akan menganggap kita bernyali kecil dan takut urusan. Kelak meskipun orang-orang Bu-ti-bun tidak datang menyerang kita, partai lainnya mungkin akan naik ke Bu-tong dan mencari masalah dengan kita," sambung Cang-song.

"Seandainya kali ini suheng tidak mempunyai alasan yang tepat, para murid Bu-tong pasti tidak mau mengerti," kata Gi-song sengaja membakar-bakar.

"Betul!" lanjut Cang-song sok serius.

Sinar mata Ci Siong tojin bercahaya bagai kilat. Dia menatap tajam kepada Gi-song dan Cang-song.

"Kali ini, toh tidak ada anak murid kita yang mati. Kita sudah memberikan pelajaran yang pahit kepada kedua bocah itu. Sudahlah... tidak usah diperpanjang lagi," sahutnya.

Gi-song mendengus dingin, "Datang seenaknya, pergi sesukanya. Kelak mana ada orang lagi yang akan menghargai Bu-tong-pai kami?

"Orang menghargai Bu-tong-pai bukan hanya karena ilmu silat kita, tapi juga pribadi kita yang bijaksana dan adil dalam mengambil keputusan," sahut Ci Siong tojin tenang.

Pendekar Ulat Sutra (Tian Chan Bian) - Huang YingWhere stories live. Discover now