14. Telapak Tangan Darah

1.7K 30 0
                                    

Malam semakin larut, angin semakin dingin.

Di tanah lapang yang terpencil Wan Fei-yang menggerakkan senjatanya seperti orang kalap. Dia berlatih terus tanpa kenal lelah. Matanya menyorotkan kemarahan. Senjatanya yang berbentuk capitan bergerak telengas dan keji.

"Crep!", senjata itu menancap pada sebatang pohon besar, "krek!", pohon itu patah seketika.

Hawa amarah Wan Fei-yang seperti sudah terlampiaskan, dia mencabut senjatanya dan meletakkan di tanah.

"Suhu, sebetulnya ilmu yang bagaimana Bu-tong-liok-kiat tersebut?" tanyanya.

Manusia berpakaian hitam berdiri di samping sambil memeluk kedua tangannya.

"Untuk apa kau menanyakan hal ini?"

"Aku hanya ingin tahu, apakah ilmu yang aku pelajari sekarang setaraf dengan ilmu Bu-tong-liok-kiat?" kata Wan Fei-yang tanpa berpikir panjang.

"Lagi-lagi kau berpikir yang bukan-bukan."

Wan Fei-yang menggelengkan kepalanya, "Ci Siong tojin itu, aku benar-benar tidak mengerti mengapa dia begitu membenci aku?"

Manusia berpakaian hitam itu tidak memberikan reaksi apa-apa.

"Selama ini aku selalu mengira Gi-song dan Cang-song dua orang tua bangka itu yang selalu mencari gara-gara denganku. Tidak tahunya Ci Siong tojin juga."

"Hm ...."

"Kemarin aku mengantarkan makanan untuk Yan Cong-tian. Aku mendengar dengan jelas, Yan Cong-tian sendiri mengatakan bahwa aku anak yang baik, layak diterima sebagai murid. Malah dia bersedia melunakkan hati Gi-song dan Cang-song. Dia menasihati Ci Siong tojin. Siapa kira orang tua itu malah memilih Fu Giok-su!" kata Wan Fei-yang selanjutnya.

Manusia berpakaian hitam itu masih berdiam diri.

"Aku sama sekali tidak membenci Fu Giok-su, hanya tidak puas dengan tindakan Ci Siong tojin!" Wan Fei-yang masih menggerutu panjang lebar.

"Kau tidak perlu sakit hati. Ilmu yang aku ajarkan sama sekali tidak di bawah Bu-tong-liok-kiat. Yang penting kau harus giat berlatih. Suatu hari pasti dapat menonjolkan diri di dunia kangouw," gumam manusia berpakaian hitam tersebut.

Wan Fei-yang memandangi manusia berpakaian hitam itu lekat-lekat. Akhirnya dia dapat mengendalikan perasaannya. Gurunya itu juga tidak berkata apa-apa lagi. Tangannya dikibaskan. Wan Fei-yang menggertakkan giginya erat-erat. Sekali lagi senjatanya yang berbentuk capitan diluncurkan. Suaranya menderu-deru.

*****

Pada hari yang sama, di atas meja pada kantor pusat Bu-ti-bun tergeletak tiga helai panji telapak darah. Mereka mendapatkannya dari tiga tempat yang berbeda. Pertama di rumah sepasang suami istri yang tua, kedua di tempat praktik tabib Mok dan yang terakhir dari rumah makan dan penginapan Cui-sian-lou.

Seorang anak buah Bu-ti-bun mengambil ketiga helai panji itu dan memanteknya di atas dinding sebelah kiri. Di dalam ruangan terdapat empat orang Hu-hoat dari Bu-ti-bun, lima orang tongcu. Mata mereka semua menatap ke arah tiga helai panji yang terpantek di atas dinding. Wajah mereka kelam sekali.

Tiba-tiba Kongsun Hong menggebrak meja dan berdiri dari kursinya.

"Entah orang dari golongan mana yang telah menelan nyali harimau sehingga berani memalsukan telapak tangan darah dari Bu-ti-bun kita!" teriaknya marah.

Tok-ku Bu-ti telah menyebarkan panji telapak darah dan memberi amanat bahwa siapa pun tidak boleh mengganggu Ci Siong tojin. Tentu mereka tidak berani membangkang perintah tersebut.

Pendekar Ulat Sutra (Tian Chan Bian) - Huang YingWhere stories live. Discover now