44. Dendam Kesumat

1.6K 24 3
                                    

Di daerah pegunungan angin malah lebih kencang. Hujan juga rasanya lebih deras. Kilat masih menyambar memperlihatkan keperkasaannya. Alam tiba-tiba bercahaya tersorot sinarnya.

Pemandangan di sekeliling dalam sekilas seperti dunia lain. Seperti planet-planet lain di angkasa luar yang asing sama sekali.

Tetes hujan sebesar kacang kedelai jatuh membasahi pepohonan. Tetesan air itu menimbulkan suara seperti musik yang indah, orang yang mendengarkannya tentu akan terlena.

Tapi tidak demikian halnya dengan Wan Fei-yang. Perasaannya sudah hambar sama sekali. Dengan terpaku dia berdiri di hadapan sebatang pohon yang besar. Dia biarkan angin menghembusi dirinya sehingga pakaiannya melambai-lambai.

Dibiarkannya hujan membasahi tubuhnya sehingga basah kuyup. Mungkin dia sendiri tidak tahu di mana dia sekarang berada. Matanya menerawang ke kejauhan. Tapi tak ada pemandangan apa pun yang dilihatnya, hanya bayangan seorang gadis yang masih tetap tergores membekas dalam benaknya. 

"Ternyata Tok-ku Hong adalah adikku sendiri..." gumamnya seorang diri. 

Sejak tadi, entah sudah berapa puluh kali dia menggumamkan kata-kata yang sama. Sampai-sampai Yan Cong-tian yang sudah menemukan dirinya berdiri di sampingnya, Wan Fei-yang masih belum sadar. Dalam otaknya hanya terlintas bayangan Tok-ku Hong.

Bagaimana pertama-tama ia mengenalnya, bagaimana mereka saling bermusuhan kemudian berbaikan kembali.

Bagaimana mereka saling memperhatikan dan merindukan satu dengan lainnya secara diam-diam. 

Bagaimana mereka melewati segala macam rintangan sehingga akhirnya dapat terikat menjadi suami istri.

Suami istri? Apakah mereka sekarang masih dapat dikatakan sebagai suami istri? 

Wan Fei Yang tidak berani membayangkan seandainya semuanya sudah terlanjur terjadi.

Haruskah dia membenci Sen Man-cing yang menggagalkan malam pengantin mereka. Atau dia harus berterima kasih kepadanya? 

Tiba-tiba dia teringat bahwa Sen Man-cing sudah menjadi sesosok mayat di dalam ruangan besar. 

Mayat? Siapa yang membunuhnya? Tok-ku Hong? Tidak! Tidak mungkin... Gadis itu begitu manis, begitu lembut....

Tanpa sadar pikirannya kembali lagi pada diri Tok-ku Hong yang ceria, nakal, keras kepala.

Seharusnya semua itu merupakan kenangan yang manis. Sekarang malah berubah menjadi arak beracun yang menghancurkan hatinya. Rasa perih yang ditimbulkan tidak terkirakan.

Mulutnya yang masih menggumam akhirnya tidak dapat bertahan lagi, dia berteriak sekeras-kerasnya. Tinjunya terkepal erat-erat. Tiba-tiba dia membalikkan tubuh dan meninju batang pohon yang besar itu. Kiri sekali, kanan sekali, terus menerus dia meninju dengan kalap.

Yan Cong-tian tidak mencegah. Melihat keadaan Wan Fei Yang yang mengenaskan itu, tanpa sadar air mata mengalir deras dari matanya yang tua. Peristiwa yang dialami Wan Feiyang seumur hidupnya selalu menyedihkan, namun yang kali ini justru yang paling parah. Meskipun orang yang lebih keras lagi perangainya, tetap saja sulit menerima penderitaan ini.

Yan Cong-tian merasa nasib seakan terus menerus mempermainkan Wan Fei-yang. Tidakkah Thian bersedia memberikan sedikit saja kebahagiaan untuk anak muda yang malang ini?

"Brak!" 

Akhirnya pohon itu tumbang karena tidak kuat menerima pukulan Wan Fei-yang yang terus menerus.

Kepalan tangan anak muda itu masih terus meninju ke depan, hampir saja dia ngusruk karena pohon itu sudah roboh di atas tanah. Saat itulah, dia baru menghentikan gerakannya dan berdiri dengan termangu - mangu.

Pendekar Ulat Sutra (Tian Chan Bian) - Huang YingWhere stories live. Discover now