12. Pengorbanan Keluarga Fu

1.6K 25 0
                                    

Tempat praktik Mok Put-ciu terletak di sebelah timur kota. Adanya di samping sebuah sungai kecil. Kalau dilihat dari luar, tempat itu sudah agak reyot. 

Papan mereknya bergelantungan tertiup angin dan tampaknya sebentar lagi copot. Ti Ciok memicingkan matanya melihat keadaan tempat itu. "Rasanya usaha tabib sakti ini kurang laris," katanya tanpa sadar.

Fu Giok-su tertawa lebar, "Tabib Mok orang yang berhati luhur. Setiap kali mengobati orang miskin, bukan saja tidak menerima bayaran malah memberikan obatnya sekalian dengan percuma. Maka dari itu, mana mungkin dia mempunyai banyak uang untuk memperbaiki rumahnya ini?" sahutnya menjelaskan.

Wajah Ti Ciok merah padam mendengar keterangan itu. Dia segera mengalihkan pokok pembicaraan, "Apakah Fu-kongcu mempunyai hubungan yang baik dengan tabib Mok?"

Fu Giok-su menggelengkan kepalanya, "Sejak kecil aku belajar ilmu silat. Tubuhku menjadi sehat. Tapi para pembantu di rumah sering meminta pertolongan tabib Mok apabila ada keluarga mereka yang sakit."

"Ternyata Fu-kongcu juga mengerti ilmu silat. Entah aliran partai mana yang dipelajari oleh Fu-kongcu?"

"Aku tidak memilih-milih. Setiap aliran aku pelajari," sahut Fu Giok-su.

"Mana boleh begitu?" tanya Ti Ciok heran.

"Ilmu silat cayhe diajarkan oleh para pengawal di rumah. Mereka terdiri dari murid berbagai partai di bu-lim."

"Oh ... rupanya begitu."

Pada saat itu, mereka sudah masuk ke dalam ruangan praktik tabib Mok. Sejak masuk halaman tadi, mereka tidak bertemu dengan satu orang pun. Fu Giok-su merasa heran melihat keadaan itu.

"Menurut para pelayan di rumah, usaha tabib Mok selalu ramai. Mengapa hari ini tidak terlihat seorang pasien pun?" tanyanya dengan mimik curiga.

"Kan tidak tiap hari ada orang sakit. Malah kebetulan, dengan demikian Suhu tak usah menunggu lama-lama," sahut Ti Ciok.

Ketika Ti Ciok berbicara, kaki mereka sudah melangkah ke dalam sebuah pendopo kecil. Di depannya ada beberapa undakan tangga. Pintu pendopo tersebut setengah terbuka. Ti Ciok mengendus-endus dengan hidungnya. "Hm ... bau amis darah ..." katanya.

Wajah Fu Giok-su segera berubah. Dia bersama Ti Ciok segera masuk ke dalam. Begitu pintu didorong, Ci Siong tojin ikut masuk sambil dipapah oleh Bok Ciok. Mereka belum pernah menemui masalah dengan indera penciuman. Apa yang diduga oleh Ti Ciok memang benar. Bau amis darah semakin menusuk hidung ketika mereka masuk ke dalam. Di dalam pendopo itu terdapat belasan mayat. Ditilik dari pakaiannya, mereka pasti penduduk desa yang miskin.

Ternyata Mok Put-ciu memang orang yang berhati mulia. Dari para pasien yang mengunjunginya hari ini, dapat dibuktikan bahwa apa yang dikatakan Fu Giok-su memang kenyataan. Tapi dia tidak bisa menolong orang-orang itu lagi. Mereka sudah menjadi orang mati.

Mok Put-ciu sendiri juga sudah menjadi sesosok mayat. Dia telentang di depan sebuah dipan yang pasti biasa digunakan untuk memeriksa pasien. Tangan kanannya masih memijit urat nadi seseorang. Matanya mendelik. Jenggotnya yang putih sudah bersimbah darah. Lehernya hampir putus oleh tebasan pedang. Tangan kirinya bertumpu pada dipan. Dia menggenggam sehelai kain putih yang atasnya terdapat gambar telapak tangan berdarah!

"Telapak tangan darah!" Ti Ciok menggertakkan giginya.

Tampaknya Fu Giok-su terkejut sehingga terpana. Bok Ciok juga termangu-mangu. Melihat begitu banyaknya mayat yang berserakan, wajahnya berubah hebat. Wajah Ci Siong tojin lebih kelam lagi. Napasnya tersengal-sengal Seluruh tubuhnya gemetar.

"Tok ... ku Bu-ti ... kau benar-benar terlalu menghina!" serunya menahan amarah. Suaranya bergetar. Langkahnya terhuyung-huyung, kemudian segumpal darah kental muncrat dari mulutnya. Matanya berkunang-kunang. Sejenak kemudian tidak ingat apa-apa lagi.

Pendekar Ulat Sutra (Tian Chan Bian) - Huang YingWhere stories live. Discover now