1. Tujuh Senjata Rahasia

6.8K 64 0
                                    

Angin barat menerbangkan dedaunan bagaikan sedang menari-nari. Musim semi hampir berakhir.

Di bawah percikan air terjun, di samping rimba pohon yang lebat. Di atas sebuah batu besar yang terdapat di tengah sungai yang sedang mengalir, berdiri seorang laki-laki berpakaian putih.

Pakaiannya yang putih laksana salju yang menerpa. Rambut orang itu seluruhnya berwarna putih seolah ditutupi salju musim dingin. Bukan hanya rambutnya yang berwarna putih. Alisnya juga berwarna putih. 

Mestinya wajah seperti itu hanya dimiliki orang yang berusia lanjut, namun anehnya tidak ada sedikit pun kerutan pada wajah orang ini. Sulit menerka berapa usia orang itu sebenarnya.

Sepasang alisnya tinggi dan tebal. Mimik wajahnya dingin dan datar. Terasa sekali hawa pembunuhan yang memancar dalam sinar matanya. Warna kulitnya pucat seperti kulit ikan yang sudah mati. Tidak terlihat sedikit pun rona merah sebagaimana manusia yang mempunyai darah. Bibirnya juga demikian. Tidak beda dengan sesosok mayat hidup.

Yang paling mengerikan dan membuat hati bergetar justru sepasang matanya. Bentuknya sipit dan panjang. Bola matanya hanya berwarna putih secara keseluruhan. Tidak ada bola hitam di tengahnya. Di tangan kirinya tergenggam sebatang pedang panjang yang membuat penampilan orang itu semakin angker. Panjang pedang itu kira-kira satu setengah meter.

Nyata sekali pedang yang dibawanya bukan pedang sembarangan. Orang akan berpikir dalam hati, bagaimana cara menggunakan pedang sepanjang itu? Untuk menghunusnya saja pasti akan menemui kesulitan.

Orang ini menggunakan pedang sepanjang itu sebagai senjata. Apabila bukan untuk memamerkan diri, pasti ilmunya sangat tinggi. Kecepatannya juga tentu secepat kilat. Pokoknya semua yang ada pada diri orang ini lain daripada yang lain.

Air sungai yang deras itu bergerak-gerak menghantam batu tersebut. Butiran air memercik ke mana-mana. Angin masih bertiup dengan kencang. Daun-daunan rontok beterbangan dan menimbulkan suara menderu-deru.

Lengan baju orang itu melambai-lambai. Rambutnya yang putih beriap-riap. Benda-benda yang ada antara langit dan bumi seperti sedang berlomba saling bergerak. Hanya manusia berpakaian putih itu yang bergeming sedikit pun. Tubuhnya seolah telah bersatu dengan batu yang dipijaknya. Dari jauh tampaknya seperti gumpalan kabut yang menutupi sebuah arca.

Gumpalan kabut yang membisu ....

Angin bertiup menerpa alam sekeliling. Mata orang itu tiba-tiba terbelalak. Sinar matanya yang sedingin es tidak menampilkan perasaan apa-apa. Siapa pun tidak akan menyangka bola mata yang sedemikian rupa dapat menyorotkan sinar setajam belati. Matanya bergerak, demikian juga tubuhnya. Suasana mencekam jadi riuh seketika. Tubuhnya melesat bagaikan sebatang anak panah. Pedang dan sarungnya ikut berkelebat.

Sarung pedang itu patah dibuatnva. Hanya melesak ke dalam batu yang dipijaknya. Tubuh manusia berpakaian putih itu meloncat di udara. Pedangnya telah terhunus. Keduanya berkelebat di udara bagai sebaris pelangi dan mengarah ke sehelai daun yang sedang terbang ditiup angin.

Panjang pedang tersebut satu setengah meter. Dengan kecepatan yang sulit dijelaskan, dia menusuk ke arah daun merah yang sedang melayang itu.

"Crep!" pedang itu menembus daun tersebut. Mengagumkan! Daun itu sama seperti daun yang sering terlihat. Gerakan pedang yang kuat ternyata tidak membuat daun itu terempas. Hanya satu hal yang dapat dijelaskan dari keadaan itu. Gerakan pedang itu terlalu cepat. Melebihi kecepatan daun tersebut. Belum sempat daun terempas oleh deruan angin yang ditimbulkan, pedang sudah menusuknya.

Tiba-tiba pedang itu ditarik kembali. Daun itu terlepas dan melayang kembali. Sebelum sempat mencapai tanah, manusia berpakaian putih itu sudah berdiri tegak di tempatnya semula. Kedua kakinya bergeming sedikit pun. Tangan kanannya masih menggenggam pedang seperti sebelumnya. Dan pedang itu juga masuk kembali ke dalam sarungnya. Matanya tetap bersinar tajam. Tubuhnya tidak bergerak juga, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Pendekar Ulat Sutra (Tian Chan Bian) - Huang YingWhere stories live. Discover now