48. Ambisi Besar

1.6K 25 0
                                    

Malam sudah larut. 

Hujan mulai turun rintik-rintik. Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini juga tidak berbintang.

Langit gelap berawan. Angin bertiup dengan kencang. Rasanya tidak ada seorang pun yang berminat keluar rumah pada saat seperti itu. Apalagi didalam hujan yang lebat.

Tapi dari kejauhan justru terlihat seekor kuda berpacu dengan kencang menembus kegelapan malam. Dia adalah Wan Fei Yang. Sudah sehari semalam dia melarikan kudanya seperti orang kesetanan. Kadang-kadang dia berhenti sejenak agar kudanya dapat makan dan minum atau beristirahat sekedarnya. Dia sendiri hampir lupa akan keperluan tubuhnya terhadap makanan dan minuman. 

Hanya satu hal yang memenuhi benaknya saat itu. Benarkah cerita yang disebarkan oleh orang she Li di rumah makan itu?

Satu hal lagi yang menjadi masalahnya sekarang. Ketika melarikan diri dari Bu-tong-san tempo hari, dia sama sekali tidak melihat arah yang diambilnya. Sekarang dia jadi agak bingung menentukan arah untuk kembali ke Bu-tong-san. Dia hanya mengambil jurusan selatan. 

Kudanya dilarikan tanpa membelok ke arah yang lain. Sekarang dia berada di tengah hutan. Dia tidak tahu apakah arah yang diambilnya benar atau tidak. Kudanya mulai melemah. Dia tidak ingin sampai kudanya itu jatuh sakit. Bagaimana dia bisa mendapatkan kuda yang lain di tengah hutan seperti ini?

Setelah memacu kudanya kurang lebih dua li. Wan Fei Yang menarik tali kendali kuda tersebut agar jalannya tidak begitu kencang. Matanya menerawang ke sekitar tempat itu. Hanya kegelapan yang ditemuinya. Dikeluarkannya sebuah tabung kecil dari dalam sakunya. Setelah digesekkan beberapa kali, tabung itu menyalakan api yang remang-remang, setidaknya ada sedikit penerangan yang membantu penglihatan matanya. Dengan cara itu dia menjalankan kudanya perlahan-lahan. 

Kurang lebih dua puluh depa kudanya berjalan, dia melihat sederetan lentera yang redup. Hal ini menandakan bahwa di depan sana ada sebuah desa kecil. Wan Fei Yang berjalan terus. 

Akhirnya dia melihat bahwa apa yang diduganya tidak salah memang ada beberapa rumah penduduk yang berjejer di sana.

Rumah penduduk itu kecil-kecil sekali. Kemungkinan kehidupan di desa ini sangat me larat sehingga penghuni yang lainnya sudal mengungsikan diri ke tempat lain. Mungkin tanah di sekitar daerah ini tidak sesuai untuk bercocok tanam.

Sambil menduga-duga Wan Fei Yang terus menjalankan kudanya. Sekarang dia sudah berada di depan deretan rumah penduduk itu. Untuk sesaat dia ragu menentukan rumah mana yang harus di ketuknya. Bagaimanapun juga dia tidak dapat melanjutkan perjalanan malam ini.

Hujan turun semakin deras, kudanya sudah lemas sekali dia harus menemukan rumah yang memungkinkan baginya untuk bermalam.

Tiba-tiba pintu sebuah rumah yang letaknya di tengah-tengah terbuka. Seorang kakek tua menyembulkan kepalanya dan mengangkat lentera di tangannya untuk melihat ke arah Wan
Fei Yang.

Untuk sejenak, Wan Fei Yang masih bimbang, kemudian dia menjalankan kudanya mendekati rumah kakek itu. Setelah itu dia turun dan kudanya. "Lopek, maaf mengganggu, Cayhe ingin menumpang barang semalam. Apakah Lopek keberatan kalau cayhe menumpang di rumah Lopek?"

Kakek tua itu memperhatikannya dengan seksama. Mulutnya yang sudah tidak bergigi lagi tersenyum ramah. "Mari masuk anak muda ... Tambatkan saja kudamu di pinggir sumur itu,"
katanya sambil menunjuk ke dalam.

Wan Fei Yan menganggukkan kepalanya. Cepat dia menarik tali kudanya masuk ke dalam halaman rumah tersebut dan menambatkan kudanya ke sebuah tiang di samping sumur. Kakek tua itu menyodorkan lenteranya ke hadapan anak muda itu agar dia dapat melihat agak jelas.

Pendekar Ulat Sutra (Tian Chan Bian) - Huang YingWhere stories live. Discover now